Wednesday, August 8, 2007

Pemerintahan yang Terbelah


Bara Hasibuan

Pernyataan Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew bahwa multipartai menyulitkan pemerintah mengingatkan kita kepada masalah mendasar yang terus menghantui setelah hampir tiga tahun hidup dalam sistem politik seperti ini.

Itulah realitas politik yang sering tidak bisa dihindarkan dalam sistem presidensial, dikenal sebagai divided government atau pemerintahan yang terbelah. Yang dimaksud bukan ada pembelahan dalam pemerintahan, melainkan situasi ketika dua cabang utama dalam sistem politik—eksekutif dan legislatif—masing-masing dikuasai partai berbeda.

Dalam sistem presidensial, divided government sering tidak bisa dihindarkan karena karakteristik pemisahan kekuasaan absolut antara legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, esensinya ada checks and balances, masing-masing pihak mengontrol kekuasaan lain, tidak ada satu pihak yang dominan. Tidak adanya keharusan bahwa pemerintahan harus didukung kekuasaan mayoritas di parlemen—seperti layaknya dalam sistem parlementer—juga menyebabkan divided government sering terjadi dalam sistem presidensial.

Benar, divided government biasanya dikaitkan dengan Amerika Serikat. Berlakunya sistem presidensial dengan dua partai dominan menyebabkan sering terjadi situasi, presiden dari Partai Republik tetapi Kongres dikuasai Partai Demokrat (situasi ini terlihat setelah Partai Demokrat menang pada midterm elections November 2006).

Tidak ada mayoritas

Namun, bagi profesor politik dari Dublin University, Rober Eglie, divided government secara umum harus dimengerti dengan menggunakan definisi arithmetical, dengan kekuasaan mayoritas dikuasai oleh lebih dari satu partai dan tidak ada kekuasaan mayoritas di legislatif. Dengan begitu, lanjut Eglie, divided government juga berlaku dalam sistem lain seperti semipresidensial dan presidensial multipartai seperti di Indonesia kini.

Mengingat kemungkinan terjadinya divided government lebih besar pada sistem presidensial multipartai, maka masalah ini menjadi penting dibicarakan. Apalagi, meski ada usaha dari partai-partai besar untuk menaikkan electoral threshold, perkawinan antara presidensialisme dan multipartaisme sulit dihentikan untuk beberapa waktu ke depan. Apalagi kebebasan politik belum terlalu lama dinikmati, sehingga tidak mungkin jumlah partai di parlemen dikurangi secara drastis.

Konsekuensinya, di kemudian hari situasi di mana presiden terpilih dengan basis politik lemah di parlemen—seperti dialami Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004—kemungkinan akan terulang. Peluang itu besar karena tak ada kekuatan politik yang dominan.

Masalahnya, divided government di Indonesia secara umum dianggap sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari dengan segala cara. Jika pemerintah tidak didukung kekuatan mayoritas di parlemen, dikhawatirkan governability (kemampuan pemerintah untuk memerintah) amat terbatas atau—yang lebih parah—terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik saat Yudhoyono terpilih sebagai presiden tahun 2004 yang mendorongnya untuk melakukan hal yang bersifat anti-tesis terhadap presidensialisme, yaitu dengan membagi-bagi posisi di kabinet kepada partai-partai.

Menimbulkan kehancuran?

Namun, betulkah divided government otomatis menimbulkan kehancuran pemerintah? Jika melihat pengalaman beberapa negara, tidaklah demikian. Di AS, selama 50 tahun lebih, hampir semua pemerintahan hidup dalam divided government. Ternyata mereka mampu bekerja sama dengan Kongres yang dikuasai partai oposisi untuk menghasilkan berbagai agenda penting.

Presiden Bill Clinton (Partai Demokrat), misalnya, bersama Kongres yang mutlak dikuasai Partai Republik berhasil melahirkan UU untuk besar-besaran mereformasi welfare system. Presiden Ronald Reagan (Republikan) bersama Kongres yang dikuasai Partai Demokrat mampu menghasilkan sistem perpajakan yang dipakai hingga kini. UU Udara Bersih, yang didorong Presiden Richard Nixon (Republikan) juga dihasilkan ketika Kongres dikuasai Partai Demokrat.

Benar, manajemen atas divided government di AS lebih mudah karena hanya ada dua partai besar yang dominan. Namun, jika melihat pengalaman Meksiko—yang menganut sistem presidensial multipartai seperti Indonesia—divided government ternyata tidak selalu berdampak buruk.

Suatu penelitian yang dilakukan Joseph Klesner (profesor di Kenyon College, Ohio, AS) atas divided government pada periode Kepresidenan Ernesto Zedillo (1997-2000) menunjukkan, pemerintah dapat membangun koalisi temporer dengan partai-partai oposisi berdasar isu-isu tertentu. Penelitian lain yang dilakukan Benito Nacif, peneliti di lembaga think thank di Meksiko bernama CIDE, atas periode kepresidenan Vincente Fox 2000-2003 juga menunjukkan pemerintah dan partai yang berseberangan tetap bisa bekerja sama dan membangun koalisi berdasar isu-isu.

Tidak selalu berjalan mulus

Namun, dengan contoh-contoh itu bukan berarti dalam divided government segala sesuatu berjalan mulus. Tentu ada kasus ketika pemerintah mengalami kesulitan untuk mendorong inisiatif atau kebijakan. Namun, yang penting, sikap negara-negara itu dalam menghadapi divided government adalah bukan dengan menghindari, melainkan menerima dan hidup di dalamnya sebagai realitas politik. Kuncinya, bagaimana mereka make the best out of it dengan negosiasi dan consensus building, dua hal esensi demokrasi.

Kenyataan, divided government merupakan konsekuensi logis penerapan sistem presidensial—yang kemungkinannya lebih besar karena multipartaisme—yang sering tidak disadari. Betul yang dikatakan Lee Kuan Yew, multipartai menyulitkan. Jika kita tidak berani memangkas jumlah partai secara drastis, kita harus konsekuen dengan segala akibat sistem ini.

Bara Hasibuan Congressional Fellow 2002-2003

No comments:

A r s i p