Tuesday, April 1, 2008

Gonjang-ganjing Politik PKB

Senin, 31 Maret 2008 | 00:34 WIB

Oleh M Alfan Alfian

Gonjang-ganjing politik melanda Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB saat mayoritas peserta Rapat Pleno Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz PKB meminta Muhaimin Iskandar mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua umum. Keputusan itu diambil melalui voting tertutup. (Kompas, 28/3/2008)

Apakah nasib politik Muhaimin akan seperti pendahulunya, Matori Abdul Djalil dan Alwi Shihab, yang terpental dari PKB? Salah satu jawabannya terletak pada bagaimana sikap politik KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Dewan Syuro partai itu.

Partai ini memang unik dalam memosisikan Gus Dur sehingga sering mengingatkan posisi Pak Harto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar di masa Orde Baru. Tampaknya Gus Dur ”berkuasa penuh” di PKB.

Gus Dur menegaskan, proses penyelesaian konflik di tubuh DPP PKB dengan meminta mundur Muhaimin sudah melalui prosedur yang benar dan tidak melanggar AD/ART partai (Kompas, 28/3/2008). Hal itu membuat posisi politik Muhaimin di PKB kian terjepit, kecuali jika ada perubahan sikap politik Gus Dur.

Gus Dur menjadi faktor amat dominan di tubuh PKB sejak kelahirannya. Sebuah pertanyaan kerap mengemuka, bagaimana jadinya jika PKB tanpa Gus Dur? Ada dua jawaban. PKB akan ditinggalkan konstituennya, alias cepat atau lambat akan bubar, seiring munculnya kompetitor sejenis. Atau sebaliknya, PKB akan semakin eksis dan tumbuh menjadi partai politik yang modern, yang tidak bergantung pada otoritas Dewan Syuro.

Permintaan pengunduran diri Muhaimin setidaknya dapat dibaca sebagai puncak konflik internal PKB, yang ada kaitannya dengan faktor loyalitasnya kepada Gus Dur. Loyalitas dalam menyokong Gus Dur sebagai kandidat presiden pun dianggap belum cukup.

Pencalonan Gus Dur

Gus Dur mencalonkan diri kembali sebagai kandidat presiden? Pertanyaan itu banyak terlontar. Biasanya, pertanyaan itu disusul pertanyaan kedua yang kontradikif: apa tidak keliru?

Secara kalkulatif-rasional, pencalonan Gus Dur susah. Pertama, jika persyaratan pencalonan presiden diperketat, belum tentu PKB dapat mencalonkan sendiri jagonya.

Kedua, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa jadi tidak meloloskannya karena alasan tafsir atas persyaratan ”sehat jasmani dan rohani”.

Ketiga, kalaupun Gus Dur lolos, akan sulit merebut dukungan pemilih di tengah ketatnya persaingan antarkandidat.

Sebagian besar pengamat berpendapat pencalonan kembali Gus Dur kurang masuk akal. Gus Dur pernah menjadi presiden dan dilengserkan akibat reputasi dan sepak terjangnya. Gus Dur juga memiliki keterbatasan fisik. Publik sudah punya penilaian tersendiri. Namun, bagi Gus Dur, masalahnya bukan menang atau kalah. Ia ingin memperjuangkan hak politiknya sebagai warga negara yang seharusnya tidak didiskriminasi dalam berpolitik.

Gus Dur memang mempunyai keterbatasan fisik. Namun, apakah itu yang menjadi alasan penolakan pencalonannya? Kalau ya, itulah yang paling ditentang Gus Dur. Perjuangan untuk itulah yang banyak tidak dipahami orang, termasuk sementara kalangan PKB. Kalau bukan untuk menang, mengapa harus memaksakan mencalonkan Gus Dur? Namun, karena supremasi politik Gus Dur demikian kuat di PKB, seolah tak ada pilihan lain.

Konflik politik PKB secara umum memetakan sebuah pola atas terbelahnya dua kelompok, yakni yang terkategorikan loyal kepada Gus Dur dan yang kritis. Lokomotif baru kalangan loyalis mengerucut pada putri Gus Dur, Yenny Wahid. Yang kritis alias yang mengedepankan ”logika-logika politik” jauh-jauh sudah terpental karena berbenturan oleh ”apa maunya” Gus Dur. Dalam percaturan politik, Gus Dur memiliki sikap, pendapat, dan sepak terjang yang kerap susah dipahami orang.

Oleh pendukungnya, Gus Dur ialah sosok politisi yang berprinsip. Namun, pengkritiknya menilai Gus Dur merupakan politisi yang ”semau gue”.

Demokrasi internal

Apa yang sedang terjadi dalam konflik internal PKB membuat publik bertanya, sejauh mana demokrasi internal partai berjalan. Isu itu telah hadir seiring terbentuknya partai-partai politik. Isu itu pernah melanda Golkar yang direspons dengan ”paradigma baru” dan dipangkasnya struktur Dewan Pembina, pasca-Musyawarah Nasional Luar Biasa 1998.

Namun, langkah mendemokratisasikan diri itu ternyata tidak segera diikuti partai-partai politik lain. Memang tidak ada klausul yang mengatur keharusan demokratisasi internal partai secara rinci dalam UU Partai Politik, meski sebenarnya semangatnya sudah terlihat. Sayang, partai-partai politik kita cenderung menghambat kemurnian proses demokratisasi internal dengan membuat aturan atau mekanisme tidak demokratis.

Keberadaan struktur Dewan Syuro atau Dewan Pembina justru kerap menghambat demokratisasi internal partai. Partai, dalam banyak kasus, terlihat seperti perusahaan, milik orang- orang tertentu. Oligarki politik terasa sekali. Nepotisme dalam perekrutan kader-kader partai pun menjadi kecenderungan. Hal sedemikian sesungguhnya berbahaya bagi masa depan partai itu sendiri.

Bagaimanapun, kasus konflik di tubuh PKB dan dominannya Gus Dur merupakan suatu potret, apakah partai yang bergantung pada figur atau sosok akan lebih efektif ketimbang yang mengembangkan sistem.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta; Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

No comments:

A r s i p