Tuesday, April 1, 2008

Pluralisme dan Retorika Politik

Senin, 31 Maret 2008 | 00:36 WIB

Oleh Eko Harry Susanto

Menjelang Pemilu 2009, isu pluralisme seolah menjadi senjata ampuh bagi sejumlah partai politik yang selama ini dikenal memiliki massa yang cenderung homogen dari aspek ideologi.

Pertanyaannya, sejauh mana pluralisme menjadi orientasi total, dalam arti bukan sekadar retorika, tetapi ada kesungguhan mengaplikasikan konsep keanekaragaman dari sudut universal. Sebab, gencarnya perbincangan tentang pluralisme dari elite politik akhir-akhir ini ternyata belum merasuk ke massa di akar rumput, yang sebenarnya sebagai sasaran agar menyadari betapa pentingnya semangat kebhinnekaan dalam kehidupan bernegara.

Konflik antar atau intra kelompok di berbagai wilayah Tanah Air, prasangka terhadap komunitas lain yang berbeda dalam nilai, sikap, dan pandangan dunia (worldview), dan tindakan mengatasnamakan kebenaran sepihak, merupakan bukti kesediaan hidup dalam keragaman yang harmonis menjadi barang mahal.

Dalam penelaahan tentang keanekaragaman masyarakat, Diana L+ Eck (2007) menyatakan, pluralisme merupakan keterlibatan secara energetik dengan keragaman, bukan toleransi, tetapi pencarian secara aktif guna memahami aneka perbedaan. Pluralisme juga bukan relativisme, tetapi komitmen, berbasis kesediaan untuk berdialog- mengkritik dan mau dikritik.

Dari pernyataan itu, ada beberapa masalah yang harus dihadapi partai politik yang gencar menyuarakan pluralisme. Mereka harus mau menempatkan orang-orang dari luar garis ideologi utamanya, dalam jabatan politik strategis, demi menciptakan sinergi partai. Menyinkronkan kekuatan dari kelompok beragam dalam sebuah semangat pluralisme adalah achievment positif partai sehingga akan berpengaruh besar di masyarakat.

Kampanye toleransi

Eksistensi di masyarakat yang heterogen adalah tujuan utama. Maka, sebaiknya partai politik mengampanyekan perlunya toleransi. Hal ini tampak sederhana bagi politisi atau elite, tetapi tidak dimungkiri, prasangka kelompok terus hidup di komunitas. Karena itu, partai harus mencari perbedaan yang ada di masyarakat dan memanfaatkannya sebagai salah satu landasan dalam membangun partai yang kuat.

Prinsipnya, partai politik mengemas dan mendiseminasi perbedaan bukan sebagai ancaman bagi konstituen mayoritas partai, sebaliknya, bisa membentuk sebuah komunitas dalam tubuh partai plural yang kuat. Masalahnya, masih terlalu banyak diferensiasi di masyarakat justru diorganisasikan untuk membangkitkan semangat kelompok.

Jika konsisten berpijak pada ide keanekaragaman, alangkah baiknya jika partai politik tidak selalu mengunggulkan keyakinan dasar secara sepihak sebab partai plural adalah sebuah komitmen ”kebersamaan” terhadap perbedaan. Meski sebenarnya orientasi terhadap pluralisme, tidak perlu menanggalkan maupun mengisolasi identitas ideologisnya. Justru keberagaman adalah kekuatan sejati dalam demokrasi bernegara.

Namun, jalan menuju kondisi itu memerlukan proses panjang. Partai politik tidak boleh bosan untuk terus memfasilitasi dialog integratif antarkelompok di akar rumput sebagai basis konstituen, bukan dalam seminar dan diskusi elite yang tidak membumi. Harus diakui, betapa langkanya kini dialog antarkelompok yang langsung melibatkan rakyat kebanyakan demi memperkuat semangat kebhinnekaan.

Jika partai politik gencar menyuarakan pluralitas, tetapi pemaparan Elizabeth Fuller Collins, dalam tulisan tentang Indonesia: Sebuah Budaya Kekerasan? (Asian Survey, Juli 2002) bisa membuat pesimis. Dikemukakan, kekerasan muncul karena kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum menyediakan aturan bagi penyelesaian konflik, mengatasi keluhan penguatan identitas komunal guna mengendalikan sumber ekonomi dan penggunaan kekerasan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan konflik.

Meski banyak dibantah elite politik dan pemerintah dengan aneka dalih, secara substansial konflik dan kekerasan di Indonesia sering dipicu oleh berbagai perbedaan terkait karakteristik etnik maupun keyakinan dasar sebuah kelompok. Ini jelas berpotensi mengganggu semangat keanekaragaman dalam berpolitik di masyarakat heterogen.

Dengan kata lain, pluralisme yang disuarakan parpol bisa hanya dianggap retorika dan tidak berpengaruh dalam menangguk konstituen pada Pemilu 2009.

Eko Harry Susanto Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta; Fasilitator Komunikasi Publik

No comments:

A r s i p