Tuesday, April 1, 2008

Kontestasi di Senayan




Oleh SUKARDI RINAKIT

Proses perubahan UUD 1945 yang berlangsung antara 1999 dan 2002 mengundang perdebatan yang sengit. Di dalam gedung lembaga perwakilan rakyat, amandemen konstitusi tersebut menjadikan warna ideologis dan kepentingan politik terbelah pada dua arus utama: reformis progresif dan reformis moderat.

Lelaki tua itu masih kelihatan bugar. Dia bertanya tegas, ”Apa pendapat Bung terhadap amandemen UUD 1945?” Saya menjawab pelan bahwa meskipun bersetuju, amandemen tersebut membingungkan. Mata bapak itu berbinar sembari menyelidik. Mungkin ragu dengan jawaban itu.

Lalu kami berbincang pendek. Penulis katakan jika namanya amandemen, maka pasal-pasal maupun ayat-ayat tambahan seharusnya masuk dalam adendum. Tidak terintegrasi seperti sekarang. Kalau bentuknya seperti sekarang, konstitusi kita bukan lagi UUD 1945, tetapi UUD 2002. Dalam hal isi, secara ideologi, hasil amandemen juga tidak jelas. Pasal 33, misalnya, tiga ayat pertama berat pada paradigma sosialisme Indonesia. Tapi dua ayat terakhir jelas meniti sistem ekonomi liberal.

Kekaburan ideologi seperti itu merefleksikan kentalnya kepentingan politik masing-masing pihak pada proses amandemen mulai dari yang pertama sampai keempat. Meski demikian, tidak banyak orang tahu mengenai substansi persoalan dan realitas kontestasi yang terjadi antarkekuatan politik dalam Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP MPR) ketika itu.

Progresif vs moderat

Panasnya perdebatan atas dasar pembelahan ideologis dan kepentingan politik dalam rentang waktu empat tahun tersebut sepertinya teredam oleh dinding-dinding kokoh gedung DPR/MPR sehingga suasana di sekitar Senayan pada waktu itu tetap tenang seperti embun yang belum disentuh matahari.

Simpul sejarah yang begitu penting tersebut—karena menjadi landasan utama arah Republik—mungkin akan terlupakan begitu saja jika Valina Singka Subekti tidak menulis buku ini. Sebuah karya yang dengan jeli melihat keseluruhan proses amandemen mulai dari interaksi politik dan power interplay antaraktor sampai dengan substansi perdebatan yang diberati oleh latar belakang ideologi dan kepentingan partai.

Harus jujur diakui, sejauh ini tidak ada karya ilmiah yang membeberkan secara komprehensif fenomena kontestasi antarkekuatan politik dalam amandemen UUD 1945 kecuali hasil penelitian Valina. Dari buku ini, kita bukan saja bisa mengetahui mekanisme dan proses perubahan konstitusi, tetapi juga keteguhan sikap masing-masing kekuatan politik, termasuk kecenderungan untuk bersikap kompromistis dan oportunis.

Karena sulitnya membelah secara hitam putih kekuatan politik yang bertarung pada amandemen UUD 1945 tersebut, saya sepakat dengan Valina ketika dia menyebut kelompok yang menghendaki amandemen luas sebagai kelompok ”reformis progresif”. Sebaliknya, kelompok yang menghendaki amandemen terbatas sebagai ”reformis moderat”. Sejatinya, kedua kelompok ini memang sama-sama reformis, hanya skalanya saja berbeda, sehingga aneh juga kalau kelompok reformis moderat disebut sebagai kelompok konservatif. Rasanya sebutan moderat terasa lebih enak.

Kelompok reformis progresif menghendaki peninjauan ulang sistem kenegaraan Indonesia, termasuk di dalamnya mengenai pembatasan kekuasaan presiden, sistem pemilihan presiden, penguatan DPR, sistem bikameral, dan kewenangan MPR. Kelompok ini mencakup enam fraksi, antara lain Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Reformasi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Sebaliknya, kelompok reformis moderat menginginkan penegasan bagian-bagian yang kurang jelas seperti masalah kewenangan DPR/MPR dan pembatasan masa jabatan presiden. Termasuk dalam kelompok moderat ini adalah Fraksi PDI-P, TNI/Polri, dan Kesatuan Kebangsaan Indonesia.

Secara substansial, Valina mengawali pembahasan amandemen UUD 1945 dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia. Lengsernya Soeharto adalah titik pijak awal untuk mendorong terjadinya pembaruan politik di Republik. Di sini, dorongan publik terhadap perlunya perubahan UUD 1945 tak bisa dibendung. Kesakralan UUD 1945 bukan lagi terletak pada konteks historis dan klaim politiknya, tetapi pada substansinya, sehingga bisa menjadi konstitusi yang hidup (a living constitution). Reformasi politik memang telah membuka katup- katup politik yang selama Orde Baru tertutup.

Meski demikian, amandemen tersebut juga tidak boleh membunuh roh UUD 1945. Oleh sebab itu batasannya tegas, yaitu perubahan tersebut tidak boleh mengubah Pembukaan, menegaskan sistem presidensial, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tiga kontestasi

Suatu konstitusi yang hidup, yang bergerak lentur mengikuti perubahan dan tantangan zaman, memang harus berbasis kokoh pada dasar negara dan agama. Oleh sebab itu, dalam pergumulan amandemen UUD 1945, kontestasi mengenai dasar negara dan agama ditempatkan pada urutan teratas (kontestasi pertama).

Dalam hal dasar negara, meskipun terjadi dinamika dan pergeseran sikap fraksi-fraksi, secara umum kelompok reformis moderat menghendaki agar Pancasila sebagai dasar negara masuk dalam pasal-pasal di batang tubuh. Ide ini tentu saja ditentang oleh kekuatan reformis progresif. Mereka bersikukuh agar Pancasila hanya ada di dalam preambule. Langkah ini mereka tempuh agar peran Islam dalam penyusunan UUD 1945, utamanya menyangkut tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu kewajiban menjalankan syariah Islam bagi para pemeluknya, tidak terhapus begitu saja.

Dengan alasan agar tidak rentan terhadap perubahan, perdebatan sengit antardua kelompok tersebut akhirnya mencapai kata sepakat. Pancasila tetap hanya ada di Pembukaan. Selain itu, sebagai ideologi negara, Pancasila dianggap sudah final.

Namun, perdebatan sengit pecah lagi ketika pembahasan Pasal 29 tentang Agama dilakukan. Fraksi-fraksi yang berbasis ideologi Islam, secara progresif mengusung kembali ide untuk memasukkan tujuh kata ke dalam Pasal 29. Alasan yang mereka gunakan adalah untuk memasyarakatkan Islam kultural dan menegaskan kembali peran historis umat Islam dalam menegakkan NKRI.

Tentu, fraksi nasionalis sekuler seperti PDI-P gerah dengan tekanan fraksi-fraksi Islam tersebut. Untuk mengimbangi manuver fraksi-fraksi Islam, fraksi nasionalis sekuler mengangkat kembali ide memasukkan Pancasila dalam batang tubuh. Akibatnya, tidak ada pilihan lain, jalan tengah harus ditempuh.

Kekuatan Islam politik tidak memaksakan kehendak untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler menerima ide kekuatan politik Islam agar kata-kata ”iman, takwa, dan akhlak” masuk dalam pasal tentang Pendidikan. Selain itu, mereka juga tidak memaksa untuk memasukkan Pancasila dalam batang tubuh. Dalam tingkat tertentu, sebuah kompromi manis telah tercapai.

Selanjutnya, arena kontestasi kedua antara kelompok reformis progresif dan moderat di Senayan adalah masalah kelembagaan MPR, DPD, dan DPR. Berbeda dengan masalah dasar negara dan agama, persoalan kelembagaan ini tidak kontroversial. Hampir semua kekuatan politik yang ada secara umum setuju dengan penguatan DPR dan penghapusan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Jadi, yang menjadi masalah di sini hanya pada kelembagaan DPD.

Kekuatan reformasi progresif, dalam hal ini aktor utamanya adalah Fraksi Golkar, menyetujui peran DPD yang sejajar dengan DPR. Bagi mereka, kesejajaran ini menjadikan sistem bikameral bisa bekerja sempurna. Ini akan memperkuat NKRI karena aspirasi dari bawah bisa tersalur secara optimal.

Sebaliknya, kelompok reformasi moderat, dipimpin oleh Fraksi PDI-P tidak setuju argumen kelompok progresif. Bagi mereka, kesejajaran fungsi DPD dengan DPR tersebut justru akan mengancam NKRI. DPD yang kuat dikhawatirkan akan memicu kemunculan negara federal. Ini mempersulit kontrol pemerintah pusat kepada daerah.

Sekali lagi, kompromi manis terjadi meskipun kelembagaan DPD dikorbankan. Kedua kekuatan politik sepakat untuk membangun sistem kelembagaan yang soft-bicameral.

Terakhir, persoalan yang menjadi ranah kontestasi antarkekuatan politik di Senayan adalah Sistem Pemilihan Presiden Langsung. Karena masalah sistem pemilihan presiden terkait erat dengan persoalan-persoalan sebelumnya, terutama menyangkut masalah susunan, kedudukan, dan kewenangan MPR. Tetapi, setelah masalah itu selesai, tentu urusan sistem pemilihan presiden langsung tersebut menjadi lebih mudah.

Awalnya, kelompok moderat, terutama PDI-P, tidak mau menerima sistem pemilihan presiden langsung. Mereka khawatir kewenangan MPR akan terlucuti secara drastis. Padahal, di mata PDI-P, lembaga ini adalah warisan para Bapak Bangsa. Sebaliknya, dari awal Fraksi Partai Golkar setuju pemilihan presiden langsung.

Tetapi, sentimen historis PDI-P sehubungan dengan kelembagaan MPR tersebut akhirnya tertolong setelah ada kepastian bahwa MPR tetap mempunyai kewenangan untuk menetapkan dan mengubah UUD 1945 serta melantik dan memberhentikan presiden dan wakil presiden. Pendeknya, masalah sistem pemilihan presiden langsung yang awalnya bertele-tele karena terkait dengan kelembagaan MPR akhirnya bisa diselesaikan dengan baik.

Catatan penutup

Saya percaya, baik kelompok reformis progresif maupun moderat hatinya merasa lapang ketika kontestasi di antara mereka akhirnya dicapai titik temu. Saya yakin mereka lalu saling tersenyum, duduk bersama, ngobrol, sembari minum kopi. Meskipun deskripsi itu (tentu saja tidak dibahas dalam buku ini), tapi dengan alur deskripsi dan analisis yang dibangun Valina, tidak salah jika kita membayangkan suasana hangat tersebut memang terjadi.

Buku Valina ini boleh disebut nyaris sempurna. Kalaupun ada kelemahan, saya ingin sambil tersenyum mengatakannya, yaitu terlalu banyaknya sambutan dan testimoni dari para tokoh. Ada 8 sambutan dan 13 testimoni. Meski demikian, karena Valina terlibat langsung sebagai pelaku dalam kontestasi di Senayan itu, buku ini wajib dibaca siapa pun, terutama mereka yang ingin paham mengenai salah satu simpul sejarah perjalanan republik: Amandemen UUD 1945.

SUKARDI RINAKIT Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

1 comment:

Arman Efendi said...

Berita tentang sejarah peminpin kita. Web yang bagus
translator-xp.blogspot.com

A r s i p