Tuesday, April 1, 2008

Tantangan Seksualitas terhadap Demokrasi

Senin, 31 Maret 2008 | 01:29 WIB

Ketika masyarakat masih tergagap-gagap memaknai demokrasi melalui pengalaman politik memilih presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan kepala daerah secara langsung, demokrasi mendapat tantangan baru ketika memasuki wilayah seksualitas.

Seksualitas dan tubuh bukan hal baru dalam sejarah manusia, juga orientasi seksual. Hanya saja, selama ini orientasi seksual yang dianut kelompok mayoritas dianggap sebagai yang ”benar” dan tidak memberi tempat kepada yang minoritas.

Di situlah tantangan terhadap demokrasi seperti diungkap Rocky Gerung, pengajar filsafat di Universitas Indonesia, dalam diskusi ”Demokrasi dan Hak- hak Seksual” yang diadakan Yayasan Jurnal Perempuan, Kamis (27/3) di Jakarta.

Rocky menyebut, demokrasi selama ini didefinisikan begitu rupa sehingga tidak mengenal ”desire” (hasrat), keintiman, dan hal-hal yang menyangkut seksualitas.

”Tetapi, dalam dunia yang bergerak cepat, demokrasi diuji oleh hal-hal yang bersifat konkret. Ujian pertamanya adalah feminisme dan kemudian queer politics, sekumpulan persoalan yang berhubungan dengan orientasi seksual,” papar Rocky.

Bila sebelumnya demokrasi mampu mengakomodasi tuntutan politics of recognition yang berisi tuntutan minoritas (etnis, jender, dan kelompok minoritas lain) terhadap keterbukaan institusi sosial untuk diakses bersama berdasarkan isu keadilan sosial, tuntutan queer politics lebih spesifik, yaitu pengakuan atas pilihan orientasi seksual.

Dalam hal ini, queer politics menantang radikalisasi konsep pluralisme dalam demokrasi. Bila demokrasi adalah ruang yang memberi fasilitas menolak semua klaim identitas yang final, baik berdasar budaya, agama, ideologi, biologi, atau seksualitas, maka semua dikotomi sosial dan seksual juga harus dibatalkan agar tidak menimbulkan hierarki nilai yang akhirnya menimbulkan hierarki kuasa.

Menurut Rocky, di belakang pemikiran ini adalah gugatan terhadap klaim tentang pengetahuan yang ”benar” karena pengetahuan hanyalah hasil cara pandang manusia, sementara manusia tidak tahu bagaimana cara pandang itu menyusun pengetahuan.

Dengan demikian, semua klaim tentang pengetahuan yang ”benar” dapat menjadi tindakan politik yang memaksa bila berubah menjadi kebencian terhadap cara pandang lain.

Dalam dunia yang terus berubah, ketegangan yang menyangkut nilai-bilai baru terus berlanjut dan datang dari pengalaman komunikasi global- virtual.

Seksualitas, demikian Rocky, tidak lagi didefinisikan dalam keadaan alamiahnya sebagai stabil, universal, reproduktif dan esensial, melainkan kategori yang dapat fleksibel, dapat dipilih, bersifat konsensual, interpretatif, dan terus melalui proses pemaknaan.

Di sini queer politics mengkritik feminisme yang dipandang masih bekerja atas dasar esensialisme, yaitu bertumpu pada pemikiran heteroseksual. Queer politics juga mengkritik homoseksualitas/lesbianisme yang dianggap masih menyisakan esensialisme karena memperlakukan lesbianisme seolah- olah kategori yang berlaku konstan dalam sejarah.

Paham konvensional demokrasi membatasi partisipasi politik pada nilai-nilai mayoritas. Di sini, demokrasi tidak mengakomodir keintiman sebagai nilai yang memerlukan perlindungan hukum.

Namun, teori demokrasi terus mengalami koreksi dengan memerhatikan pikiran-pikiran minoritas dan isu-isu ketidakadilan.

Meski demikian, seperti dikutip Rocky dari Audre Lorde, bukan perbedaan yang membuat kita tak berdaya, tetapi kebungkaman. Dan ada banyak kebungkaman yang harus dipatahkan.

Pengalaman konkret

Sementara itu, Nursyahbani Katjasungkana yang merupakan pendiri Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam diskusi ini memaparkan berbagai pengalaman konkret perempuan Indonesia yang didiskriminasi oleh budaya, termasuk oleh peraturan perundang-undangan.

Diskriminasi terhadap perempuan yang masih terjadi itu juga diungkap dalam seminar oleh Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia bertema ”Demokrasi dan Kesetaraan Gender”.

Koordinator CEDAW Working Group Rena Herdiyani AKS, Deputi I Bidang Pengarusutamaan Jender Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Dra Sri Danti MA, dan pengajar Departemen Filsafat UI LG Saraswati Dewi SHum memperlihatkan bagaimana konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang dilahirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 sampai sekarang implementasinya belum memuaskan. Banyak peraturan yang mengatur hak ekonomi, sosial, dan politik perempuan masih bias jender.

Dalam hal seksualitas, menurut Nursyahbani, ekspresinya ditentukan oleh yang mengatur, yang berarti adalah pihak yang mayoritas. Meskipun demikian, dialog bukannya tidak mungkin dilakukan. Tahun 1994, Indonesia mendukung hadirnya wakil kelompok lesbian dalam konferensi perempuan di Beijing. Pada saat kelahirannya pada tahun 1998, KPI pun memasukkan lesbian ke dalam satu dari 15 sektor yang diperjuangkan hak- haknya. (Ninuk Mardiana Pambudy)

No comments:

A r s i p