Wednesday, June 13, 2007

Gatra Ekonomi Pembangunan Demokrasi

Malik Ruslan

Faktor ekonomi merupakan batu ujian bagi demokrasi. Di banyak negara Amerika Latin, krisis ekonomi menghambat konsolidasi demokrasi (Remmer, 1990).

Sementara mayoritas warga di negara-negara bekas blok komunis mengatakan, hidup mereka kini tak lebih baik dibanding tahun 1989 (Kompas, 21/5/ 2007).

Kompleksitas persoalan

Pembangunan demokrasi di Indonesia memiliki tingkat kompleksitas paling tinggi.

Pertama, karena elite politik dan pemimpin pada era reformasi gagal mempraktikkan disiplin dan pengendalian diri guna membawa Indonesia menuju masa depan lebih baik dan demokratis (Philpott, 2003). Ini dicirikan dengan maraknya korupsi.

Kedua, krisis ekonomi menghambat pembangunan demokrasi. Pada saat sama, sebagian elite Orde Baru (Orba) kembali membentuk diri dalam format politik baru (Hadiz, 2005). Hal ini mementahkan kompromi yang dibutuhkan dalam mengawal transisi politik menuju demokrasi yang berkualitas (Marks dan Diamond, 1992). Akibatnya, momentum untuk memperjuangkan kepentingan rakyat direnggut pertarungan antarelite politik dalam mengejar kuasa dan materi demi diri dan kelompok.

Ketiga, kurangnya perhatian elite politik pada ekonomi melahirkan persepsi, demokrasi hanya soal politik dan partai politik. Kebebasan politik menjadi indikator tunggal. Hakikat demokrasi didistorsi seolah hanya terkait urusan politik semata.

Keempat, di satu sisi, homo democraticus Indonesia keliru menangkap pesan perjalanan demokrasi di Barat. Di sana, kelas pekerja menjadi agen demokratisasi terpenting dan konsisten. Namun, ini tidak sepenuhnya mencerminkan gejala di Indonesia. Meski demokratisasi di Indonesia banyak didesakkan kelas pekerja atau LSM, tetapi gerakan mereka sering terjebak ambisi untuk mendesakkan kebebasan politik (logika politik). Padahal, dalam kondisi perekonomian yang sakit, rakyat lebih memerlukan kesejahteraan dan keamanan ekonomi (logika ekonomi).

Di lain sisi, homo democraticus tidak belajar dari pengalaman negara-negara yang gagal melakukan konsolidasi demokrasi seperti di Afganistan, Angola, Bolivia, Kenya, Liberia, dan Myanmar. Kegagalan mereka disebabkan krisis ekonomi dan politik (Casper dan Taylor, 1996), perubahan radikal politik tidak diikuti perbaikan kesejahteraan rakyat.

Ekonomi sebagai batu ujian

Runtuhnya Orba menggiring Indonesia masuk fase terpenting sekaligus genting. Penting, karena perubahan politik yang didambakan mahasiswa dan kaum reformis mendapat peluang. Namun, proses itu berlangsung bersamaan dengan krisis ekonomi.

Isu ekonomi menjadi batu ujian rezim-rezim mendatang. Kegagalan pemerintah mengatasi krisis dan mengembalikan kondisi ekonomi, minimal seperti sebelum krisis, membuat legitimasi mereka digugat.

Logika ekonomi

Demokrasi selalu berperan ganda terhadap demokrasi. Ekonomi yang stabil menjadi lahan subur bagi berkembangnya nilai-nilai demokrasi. Akan tetapi, krisis ekonomi juga sering berubah wujud menjadi rayap yang menggerogoti pilar-pilar demokrasi. Kerinduan terhadap Orba, yang belakangan sering disuarakan, menunjukkan prestasi ekonomi Orba tidak dapat ditukar guling dengan kebebasan politik.

Reformasi telah melahirkan perubahan politik secara fundamental. Elite politik amat menikmatinya, tetapi tidak dengan rakyat. Pasalnya, kebebasan politik bukan satu-satunya yang dibutuhkan rakyat. Itu sebabnya siasat menukar kebebasan politik dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi—kontras dengan yang dilakukan rezim Orba—tidak mendapat dukungan. Sebaliknya, rakyat kian sulit memenuhi kebutuhan ekonomi. Ini membuat rezim demokratis ragu dan melahirkan tanda tanya bagi rakyat akan manfaat demokrasi.

Maka, perlu dibangun kesamaan persepsi, pemulihan ekonomi merupakan cara terbaik merawat anak kandung reformasi. Pertama, pengalaman negara-negara yang kini dikenal demokratis membuktikan, demokrat sejati hanya terlahir dari kondisi perekonomian yang stabil. Sebaliknya, demokrasi yang dipaksakan dalam situasi karut-marut melahirkan—meminjam Gregg—tragedi demokrasi.

Kedua, kegagalan pemerintah melindungi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara niscaya memerosotkan legitimasi lembaga-lembaga demokrasi di mata publik (Beetham, 1999).

Malik Ruslan Penulis dan associate editor Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta

No comments:

A r s i p