Wednesday, June 13, 2007

Kejujuran Selektif dan Penyesatan Informasi

Makmur Keliat

Ada dua misi dasar yang selalu melekat dalam hukum. Misi pertama terkait pertanyaan: bagaimana hukum dapat menarik jarak dari politik (baca kekuasaan)? Misi kedua, terumus dalam pertanyaan, bagaimana membuat hukum menjadi sesuatu yang nyata dalam kehidupan?

Misi pertama dianggap penting untuk menjamin moralitas alamiah yang terdapat dalam hukum. Untuk itu, kehadiran hukum dikonstruksikan tidak memiliki baku kait dengan kehadiran politik. Misi kedua juga dianggap sama pentingnya.

Hukum diyakini tidak hanya sekadar sebagai suatu penanda normatif yang tertutup (a closed code normative) yang tidak mampu mengikat perilaku. Hukum, karena itu, diharuskan untuk tidak menarik jarak dari politik. Asumsinya, hanya dengan melalui kekuasaan, hukum dapat menjadi instrumen untuk mengikat perilaku.

Meminjam pemikiran Marti Koskenniemi (2005), dua misi yang bertolak belakang ini dapat menghasilkan dua jebakan berbahaya bagi penegakan hukum. Yang pertama disebut sebagai jebakan khayalan (utopian trap) dan yang kedua dinamai jebakan pembelaan (apologizing trap).

Jebakan pertama ditujukan bagi kelompok yang meyakini bahwa hukum harus menarik jarak dari politik. Sedangkan jebakan kedua diarahkan bagi orang-orang yang sangat percaya bahwa aparat hukum tidak dapat menafikan kepentingan politik.

Ungkapan populer

Ungkapan yang populer yang sering kita dengar untuk menggambarkan jebakan pertama, misalnya, melalui kalimat berikut: "hukum harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh". Pernyataan seperti ini tentu saja utopis karena kita tahu langit tidak akan pernah runtuh walaupun hukum tidak ditegakkan.

Sedangkan untuk jebakan kedua tersimbol dari ungkapan "hukum berjalan ketika politik selesai bekerja". Pernyataan seperti ini tentu saja dapat diberi label sebagai pembelaan terhadap hukum.

Penjelasan mengapa penegakan hukum tidak berjalan disebutkan harus dicari atau karena tidak adanya konsensus politik. Dengan kata lain, kerja politik harus mendahului kerja hukum. Namun, kita tahu benar bahwa politik tidak pernah berhenti bekerja.

Politik memiliki hakikat yang sangat dinamis, sedangkan hakikat hukum cenderung statis. Karena itu, jika kita menyatakan "hukum berjalan ketika politik selesai bekerja", maka sesungguhnya kita mungkin tidak pernah bisa berharap bahwa hukum akan dapat berjalan sepenuhnya.

Idealnya, dinamika politik atau kekuasaan jangan sampai menentukan dinamika hukum. Jika ini yang terjadi, hukum sebagai peraturan permainan (rule of game) akan mengubah dirinya menjadi permainan aturan (game of rules).

Bagaimana menghindarkan diri dari dua jebakan hukum ekstrem ini? Apakah kita harus masuk pada jebakan utopis atau kita harus masuk pada jebakan apologis? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu diajukan mengingat di satu sisi kita dapat merasakan adanya harapan yang sangat besar untuk menegakkan aturan hukum.

Semangat itu intinya terletak pada keinginan untuk mengendalikan politik melalui penciptaan aturan hukum baru. Amendemen-amandemen konstitusi yang telah dilakukan setelah diluncurkannya reformasi dan juga kehadiran Komisi Konstitusi.

Kesemuanya menunjukkan semangat pengendalian kekuasaan politik itu. Semangat yang sama juga, misalnya, dapat dilihat dari keinginan untuk memberantas korupsi melalui pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun, di sisi lain, seiring dengan semangat itu kita juga bisa merasakan pesimisme publik yang sangat besar. Ketidakberdayaan hukum ketika berhadapan dengan politik itu, misalnya, dapat dilihat dari berlarutnya penyelesaian kasus lumpur Sidoardjo ataupun dari komunikasi politik informal yang baru-baru ini dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono dan Amien Rais menyangkut aliran dana korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan.

Contoh-contoh seperti ini tampaknya telah menegaskan fakta yang sukar dibantah bahwa bandul penegakan hukum di negeri ini tengah bergerak secara ekstrem ke arah jebakan apologis. Politik menjadi penjuru penegakan hukum dan bukan sebaliknya.

Kejujuran selektif

Ada dua akibat nyata dari situasi seperti ini bagi penegakan hukum di Indonesia. Akibat pertama, lembaga penegakan hukum hanya mampu untuk menghasilkan kejujuran selektif (selective honesty). Artinya, kasus-kasus pelanggaran hukum hanya akan diproses secara tuntas sejauh kasus-kasus itu tidak menggoncangkan keseimbangan politik, baik yang ada di legislatif maupun eksekutif.

Tidaklah mengherankan pula jika kemudian mekanisme penyelesaian hukum akan berjalan sangat lambat jika pelaku pelanggaran hukumnya merupakan elite politik. Atau jika pun dilakukan, maka prosesnya melalui mekanisme "tebang pilih".

Akibat kedua, terjadinya proses penyesatan informasi (deception) terhadap publik. Penyesatan ini menjadi sesuatu yang tidak terelakkan karena dalam situasi kejujuran selektif, pencitraan menjadi sangat penting.

Suatu negeri yang terlanda sindrom kejujuran selektif tidak menyatakan penegakan hukum tidak penting, tetapi memilih kasus-kasus yang dapat memainkan fantasi publik. Citra menjadi lebih penting daripada substansi.

Dalam kaitan ini, barangkali menarik untuk memaparkan secara sekelumit kisah perjalanan Francesco Giuseppe Borri yang hidup di sekitar pertengahan abad ke-17. Seperti yang diungkapkan oleh Robert Greene (2000), Francesco merupakan tokoh yang sangat piawai untuk melakukan kejujuran selektif, penyesatan informasi dan permainan citra.

Berasal dari Milan, namun kemudian diberi jabatan publik di Amesterdam dan diberi gelar Medico Universale, Fransesco pada masa awal jabatannya sangat terkenal di mata publik karena kekayaannya dan perilakunya yang banyak memberikan bantuan bagi orang-orang miskin. Namun, ia kemudian menghilang secara tiba-tiba dari Amsterdam dengan membawa uang dan berlian yang berada di bawah otoritas pengelolaannya.

Secara normatif tentu saja kita tidak menginginkan adanya tokoh seperti Francesco Giuseppe Borri di negeri ini. Namun, jika kita tidak peduli terhadap bahaya dari kejujuran selektif dan penyesatan informasi, negeri ini mungkin segera akan menjadi lahan yang sangat subur untuk menghasilkan figur-figur seperti Francesco Giuseppe Borri itu.

Ringkasnya, kita memang tidak harus mendukung pandangan jebakan utopis yang menyatakan bahwa "hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh". Tetapi kita mungkin harus percaya bahwa "hukum yang tunduk pada politik merupakan awal dari proses keruntuhan negara"!

MAKMUR KELIAT Research Fellow pada Center for East Asian Cooperation Studies, (CEACoS), Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia

No comments:

A r s i p