Wednesday, June 13, 2007

Kejujuran, Riwayatmu Dulu

Dede Azwar Nurmanysah

Sejak dulu kejujuran dipandang sebagai kualitas manusiawi dalam praktik-moral sehari-hari. Di hadapan kepentingan sesaat, ia acap berperan sebagai sikap protes.

Kejujuran dan kepentingan (apalagi politis) selalu bertubrukan dan saling meniadakan. Kemenangan salah satunya lebih ditentukan kadar idealisme individu. Makin tipis, rapuh, dan pragmatis, pilihannya pasti jatuh pada kepentingan, vice versa. Namun, faktanya, kejujuran sering dikalahkan oleh kepentingan.

Pada masa kini, tak mudah menemukan model kejujuran dalam arti penuh dan total. Kecuali figur the chosen one dan diberkahi Tuhan. Manusia selalu dicederai ketidakjujuran dalam hidupnya. Terlepas dari konteks metafisisnya, ketidakjujuran muncul sepanjang proses pengalaman, koeksistensi, dan interaksi antarindividu.

Fenomena ini umumnya berbentuk reaksi (biasanya refleks) atas stimulasi dan kondisi yang melingkupi dan mengimpit. Sejenis mekanisme pertahanan diri dalam bahasa psikologi.

Ketidakjujuran adalah sikap mengaburkan (atau kabur dari) kenyataan demi mengelak dari tekanan dan mengubur rasa cemas. Dalam bahasa Heideggerian, sikap ini tergolong tidak otentik. M Scott Peck dalam People of the Lie menunjukkan salah satu gejala ketidakjujuran, yakni menyerang dan mengorbankan lainnya ketimbang menghadapi kekeliruan dan kegagalannya sendiri. Kecenderungan ini muncul dari hasrat melindungi citra kesempurnaan dirinya.

Sementara kejujuran adalah eidos (spirit, esensi) yang menyembul, lalu meresapi, sekujur jiwa seseorang sebagai produk beragam faktor (pendidikan, lingkungan, dan olah batin). Istilah Arabnya, malakah. Karena itu, dikotomi aksi-reaksi tidak relevan dalam pemaknaan ini.

Saat kejujuran dipasung

Secara filosofis, kejujuran merupakan nilai moral-transendental yang selalu mendahului sekaligus menyertai pengalaman. Di sini, ketidakjujuran dimaknai sebagai absennya kejujuran. Saat kejujuran dipasung, saat itu pula ketidakjujuran menggejala. Keduanya ibarat malam dan siang hari yang tak pernah bertemu di satu titik cakrawala. Ketidakjujuran nihil, tak punya hakikat pada dirinya (non-esensial).

Kejujuran sebagai agathon-kalon (baik-luhur) adalah mekanisme rohani yang spontan berfungsi mengendalikan dan mencegah dilakukannya kekeliruan moral. Tindakan amoral tak lain musuh abadi yang terus menggoda. Orang yang dikuasai kejujuran akan antipati dan jijik terhadap polah amoral, serta tak pernah sempat berfantasi tentangnya. Jadi, tanpa kejujuran, berperilaku sesuai bisikan moral (maxim) hanya fantasmagoria.

Namun, kejujuran, seperti sikap moral lain, juga bisa "disalahgunakan", dimungkinkan oleh agresi rasio yang mencerabut kejujuran dari ketertanamannya dalam keseharian yang dihayati (lebenswelt) bersama.

Oleh rasio, kejujuran diabstraksi, diverbalisasi, dan diobyektivasi habis-habisan demi penjelasan dan pemahaman positivistik. Akibatnya, kejujuran bukan lagi seni kehidupan yang praksis dan hangat, melainkan sudah menjadi bagian rezim teori dan wacana rasional. Immanuel Kant agaknya bisa disebut pelopor proyek ini.

Oleh rasio, reproduksi kejujuran menciptakan alienasi. Ia berupa formula saintifik yang sistematis dan berjarak, bukan pengalaman pra-kognitif yang akrab dan bersahaja. Sejenis saintisme kejujuran yang dibungkus rumus-rumus pikir. Konsekuensi proses diskursif ini, individu berangsur-angsur terasing.

Rasionalisasi kejujuran

Kejujuran versi pengetahuan (bukan primordial) ibarat sisi terang bola Bumi yang dibayangi sisi gelapnya. Pengetahuan yang punya kesiapan mengagumkan untuk menjelajahi kerumitan dan detail objeknya, mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejujuran.

Namun, penjelasan itu tak kurang menggiring kita dalam situasi "keretakan" ontologis. Pengetahuan memungkinkan kita mencerap makna dan logika kejujuran. Namun, pada saat yang sama, kemampuan kita untuk mengalami dan menghayatinya kian aus.

Dampak rasionalisasi kejujuran dalam kehidupan kolektif ternyata bukan cuma bersifat fenomenologis, tetapi juga teknologis. Bagi orang "pintar", terlebih "berkuasa", fenomena ini memberi peluang untuk melegitimasi tindakan melawan hukum atau kode moral.

Kejujuran yang berubah statusnya dari primordial, intensional, dan pra-kognitif menjadi wicara dan kode pengetahuan— yang dikembangbiakkan di ranah publik—rentan dijadikan "teknik" atau kedok ketidakjujuran.

Dalam konteks itu, perbedaan empiris antara ketidakjujuran dan kejujuran menjadi absurd, setidaknya tak bermakna. Tolok ukurnya hanya satu: keduanya bernilai (pragmatis) sejauh melayani kepentingan (kuasa) sesaat.

Mulanya "apa itu kejujuran", lalu "apa dan bagi siapa makna, fungsi, dan manfaatnya". Kejujuran yang sudah didespontanisasi dan dikosongkan makna hayatinya ujung-ujungnya sama belaka dengan ketidakjujuran.

Dede Azwar Nurmanysah Peminat Masalah Humaniora

No comments:

A r s i p