Saturday, June 2, 2007

Pancasila, Mitos, dan Realitas

M Dawam Rahardjo

Dewasa ini banyak kalangan dan perorangan yang mempertanyakan Pancasila, apakah masih sebagai ideologi negara, falsafah, atau cara hidup bangsa Indonesia. Apakah Pancasila merupakan kenyataan hidup di Indonesia (living reality) ataukah hanya merupakan mitos belaka.

Dalam kenyataan, hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945, masih terus diperingati dengan upacara-upacara khidmat, pernyataan kebulatan tekad, disertai diskusi dan seminar. Para pejabat pemerintah atau para tokoh pergerakan selalu mengutipnya. Namun, pihak lain menilai, sebenarnya Pancasila sudah ditinggalkan, bahkan telah dilanggar, diselewengkan, atau dikhianati.

Puncak pemikiran ideologis

Meski dikritik oleh beberapa kalangan bahwa Pancasila telah disakralkan karena dianggap keramat atau sakti—apa pun maknanya—sekalipun atau justru dipakai sebagai mantra yang sakti dan kuat daya legitimasinya. Melihat pudarnya Pancasila, pihak lain menghubungkannya dengan teori Daniel Bell mengenai the end of ideology, berakhirnya peran ideologi pada pertengahan abad ke-20. Ini berkebalikan dengan keyakinan yang sebagaimana diyakini Mubyarto, Sri-Edi Swasono, dan Sritua Arief bahwa Pancasila adalah the end of history sebagai puncak atau final perkembangan pemikiran ideologis bangsa Indonesia meminjam tesis Francis Fukuyama untuk faham demokrasi liberal.

Melihat kenyataan itu, orang tidak lagi peduli dengan Pancasila. Dengan kata lain, ada dan tiadanya ideologi itu bukan merupakan persoalan atau dengan istilah fikih, wujuduhu ka adamuhu.

Bukankah banyak negara maju di dunia tidak memiliki ideologi seperti Pancasila? Tanpa ideologi mereka bisa lebih maju karena tidak terikat doktrin yang totaliter yang membatasi kebebasan berpikir dan bertindak. Tanpa ideologi mereka lebih bebas mengembangkan dan menggunakan ilmu pengetahuan yang sudah menggantikan peran ideologi itu.

Jika demikian, persoalannya adalah dalam landasan dan kerangka nilai apa kita membangun masyarakat dan negara? Karena, ilmu pengetahuan dan peradaban apa pun memerlukan landasan nilai. Tanpa Pancasila sebagai sistem nilai, apa pun yang sentrifugal sifatnya bisa timbul. Dalam anomali, negara seolah tak punya penjaga gawang, pagar, atau rambu-rambu moral.

Dalam keadaan demikian, bisa marak lagi wacana atau bahkan gerakan negara federal. Masyarakat yang terdiri dari suku, ras, agama, dan golongan akan kehilangan tali pengikat. Dengan kata lain, solidaritas yang oleh Ibn Khaldun dianggap sebagai fondasi masyarakat dan peradaban akan cair. Nasionalisme dan wawasan atau kebangsaan akan pudar. Bisa timbul sektarianisme dan primordialisme baru.

Indonesia sebagai bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi. Bahkan dalam masyarakat akan timbul anomali, masyarakat yang tanpa pegangan nilai. Banyak orang sangsi, apakah Pancasila sendiri mengandung pegangan nilai yang benar terurai rinci.

Pada masa Orde Baru kita mempunyai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tetapi, P4 itu sudah dihapus bersamaan ditolaknya program indoktrinasi. Betapapun, Pancasila pernah ada rinciannya. Hanya saja penafsirannya saat itu dianggap sebagai penafsiran tunggal yang dibingkai totalitarianisme.

Kini, gagasan untuk memberikan tafsir resmi kepada Pancasila telah ditolak sehingga masyarakat diberi kebebasan untuk memberi penafsiran dari berbagai sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Hasilnya tentu beragam penafsiran yang saling berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain, tetapi hal ini justru membuat wacana menjadi dinamis.

Nurcholish Madjid pernah berkata, Pancasila adalah ideologi terbuka yang memungkinkan berubah dan berkembang, sebab sebagaimana dalam epistemologi Marxis, kondisi itu memengaruhi kesadaran. Dengan kata lain, perkembangan nilai itu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Karena itu, Pancasila tak bisa menjadi ideologi tertutup, yaitu tertutup dari pengaruh luar.

Tafsir Pancasila

Berbicara dalam konteks teori mutakhir Colemen dan Fukuyama, Pancasila yang menjadi jaminan saling percaya antar- anak bangsa, gotong-royong atau solidaritas ini dapat ditafsirkan sebagai nilai trust, yakni suatu modal sosial yang menjadi faktor kemajuan suatu bangsa, seperti telah dicapai Jerman, Jepang, dan Amerika.

Di lain pihak dipertanyakan, mengapa Indonesia masih menjadi bangsa dan negara terbelakang yang diganggu berbagai persoalan, seperti korupsi, konflik, terorisme, dan tindak kekerasan atas nama agama dan berbagai gejala disintegrasi?

Ada beberapa jawaban hipotesis dalam hal ini. Tiadanya keteladanan elite, terutama pejabat pemerintahan dan politisi. Bahkan, mereka menjadi contoh buruk dalam korupsi yang memalukan.

Kedua, Pancasila belum dipahami, terutama di kalangan elite dan kelas menengah, meski sebagian antropolog mengatakan, Pancasila justru hidup di kalangan rakyat pedesaan. Jika pedesaan juga dinilai rusak, itu adalah pengaruh kota melalui politik dan pemerintahan.

Ketiga, masyarakat dipengaruhi budaya asing yang dibawa kapitalisme dan globalisasi. Ketahanan itu tampak rawan karena masyarakat Indonesia kurang pendidikan dan miskin. Karena itu, solusi untuk menegakkan Pancasila adalah pemberantasan kebodohan dan kemiskinan.

Pancasila bertolak dari gagasan Bhinneka Tunggal Ika, yakni keragaman dalam persatuan sebagai ciri masyarakat Indonesia. Menurut Dyenis Lombart, Indonesia dibangun dalam geologi kebudayaan berlapis-lapis yang menghasilkan masyarakat yang plural dan multikultural yang mengandung potensi konflik, karena itu harus ada ideologi yang mampu mengendalikannya, yaitu pluralisme.

Pancasila juga dibangun berdasarkan geologi kebudayaan sejak agama Buddha, Hindu, Islam, Konghucu, dan Kristen. Maka, Pancasila juga merupakan jawaban terhadap tantangan masyarakat yang makin kompleks dan majemuk dewasa ini.

M Dawam Rahardjo Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat

No comments:

A r s i p