Saturday, June 2, 2007

Sosok dan Pemikiran
Jalan Panjang "Mr Ambassador"

Wisnu Dewabrata

Sebenarnya apa ada yang salah dengan menggelar sebuah diskusi akademis di dalam kampus? Jawabannya, tergantung pertanyaan itu kapan diajukan. Jika pertanyaan macam itu dilontarkan sekarang, boleh jadi nyaris tidak ada persoalan. Silakan saja berdiskusi, bahkan sampai berbusa-busa. Tidak ada masalah.

Akan tetapi, jika pertanyaan itu dilontarkan ketika sebuah pemerintahan otoriter Orde Baru masih sangat berkuasa, jawabannya boleh jadi akan sangat mengejutkan. Malah sama sekali tidak terbayang bakal terjadi di era Reformasi sekarang.

Adalah seorang Rafendi Djamin, mantan aktivis senat mahasiswa era ’80-an asal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang terpaksa sempat merasakan bagaimana sebuah kekuasaan rezim otoriter telah menginjak-injak hak asasinya.

"Karena nekat bersama teman-teman di senat menggelar diskusi dengan pembicara Pramoedya Ananta Toer, saya dikeluarkan dari kampus. Padahal, waktu itu saya tinggal (menyusun) skripsi," ujar Rafendi, yang sekarang menjabat Koordinator Human Rights Working Groups.

Tidak hanya itu, bersama ketiga rekan kampusnya, Rafendi juga sempat ditahan dan diinterogasi berkali-kali di kantor Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Jaya di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat, dan di Jalan Guntur, Jakarta Pusat (sekarang Pomdam Jaya).

"Selama dua minggu nonstop 24 jam kami ditahan dan diinterogasi. Setelah dua minggu saya dilepas dan tidak lama kemudian ditangkap dan ditahan lagi di Guntur. Saya dimasukkan ke dalam satu sel, bercampur dengan para tahanan militer lainnya," ujar Rafendi.

Akibat diskusi yang digelar bersama rekan-rekan senat fakultasnya itu, Laksusda Jaya mengecapnya sebagai penganut paham komunis, yang juga mencoba menyebarkan paham tersebut. Sebuah "vonis" yang sangat "mematikan" kala itu.

Sekadar latar belakang, institusi Laksusda adalah semacam badan underbouw militer bentukan Orde Baru, yang dikenal punya rentang tugas dan kewenangan yang sangat luas. Tidak hanya soal keamanan, tetapi juga urusan tetek bengek macam kriminalitas, lalu lintas, kelangkaan semen, pementasan kesenian, dan sekali waktu sampai nama yang pantas untuk sebuah grup sandiwara. Sebuah institusi yang menjadi bukti absurditas kebijakan politik pemerintah otoriter Orde Baru, di mana Rafendi menjadi salah satu korbannya.

"Waktu itu hak saya untuk mendapat pendidikan dicabut. Saya dikeluarkan karena dicap kader komunis. Saya juga tidak bisa melanjutkan studi ke mana-mana karena tidak ada universitas swasta, apalagi negeri, yang berani menerima," ujarnya.

Dia lalu memutuskan bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pembangunan sambil terus mencoba mencari peluang melanjutkan studinya. Dua tahun kemudian, dia berhasil mendapat beasiswa ke Belanda, di Institute of Social Studies, Den Haag, jurusan studi pembangunan. Meski begitu, pengalaman buruk masa lalu telanjur membulatkan tekadnya terus bergelut dalam aktivitas menegakkan HAM.

Selama di Belanda, semangat perlawanan semakin kuat. Untuk melawan segala bentuk pelanggaran HAM terus berlanjut. Walau berjauhan, dia tetap mencoba membangun hubungan dengan sesama rekan aktivis HAM, seperti almarhum Munir, Rachland Nashidik, Bambang Widjojanto, dan banyak lagi.

Kebebasan yang dia dapat di Belanda membuat Rafendi semakin keras dan intens menyuarakan desakan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Di negeri kincir angin itulah pemahaman dan kesadarannya soal perlunya memanfaatkan berbagai mekanisme HAM yang ada di Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) semakin berkembang. Berbagai isu pelanggaran HAM di Tanah Air pun dia suarakan, mulai dari peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 sampai pelanggaran HAM di Dili, Timor Timur, tahun 1991.

"Pascaperistiwa Dili, mekanisme subkomisi HAM dan Sidang HAM PBB mengagendakan kembali rencana resolusi pelanggaran HAM terhadap Indonesia. Saya kaget, kok bisa seperti itu. Ternyata memang ada kelompok yang intens melobi dan memperjuangkan isu itu ke mekanisme HAM PBB di Jenewa. Dari sana saya lalu kenal teman-teman aktivis HAM Timor Timur di Eropa, yang dipimpin Ramos Horta. Banyak hal saya pelajari dari mereka, terutama soal pentingnya sebuah tekanan internasional dalam perjuangan menegakkan HAM di Tanah Air," ujar Rafendi.

Secara bertahap, Rafendi pun "berguru" soal bagaimana melobi, mekanisme apa saja yang bisa dilakukan, siapa saja yang harus atau bisa dihubungi atau dilobi, bagaimana mengumpulkan dan mengolah data temuan, sampai soal menentukan waktu yang tepat untuk melakukan tekanan. Tekanan internasional terbukti mampu memaksa pemerintahan mantan Presiden Soeharto membentuk Komisi Nasional HAM. Hal itu dilakukan untuk menghindari ancaman resolusi.

Setelah itu berturut-turut pemerintah lalu bersedia meratifikasi berbagai konvensi, mulai dari konvensi terkait hak anak, hak perempuan, penghapusan diskriminasi, sampai konvensi antipenyiksaan.

"Saat itu memang masih jarang LSM atau aktivis HAM Indonesia memanfaatkan mekanisme HAM internasional. Kalaupun ada hanya satu dua orang dan itu pun tidak berlanjut. Saya lalu coba mengajak dan memperkenalkan teman-teman aktivis Tanah Air dengan mekanisme yang telah saya pelajari. Memang tidak mudah karena kita harus membangun kepercayaan dan kredibilitas mulai dari awal," ujar Rafendi.

Intensitas kegiatan dan peranan Rafendi itulah yang lalu membuatnya akrab disapa dengan julukan "Mister Ambassador", terutama di kalangan rekan-rekannya sesama aktivis HAM. Setelah sering bolak-balik Eropa-Indonesia, tahun 2003 Rafendi memutuskan pulang dan menetap di Tanah Air, setelah sekitar 19 tahun dia berdomisili di Belanda.

Pembuat laporan alternatif

Selain dikenal dan berperan besar sebagai "duta besar"-nya para LSM Tanah Air, kredibilitas Rafendi kemudian membawanya dipercaya menyusun laporan alternatif (alternative report) perkembangan dan evaluasi kemajuan HAM Pemerintah Indonesia, terutama terkait konvensi yang telah diratifikasi Indonesia. Pascameratifikasi sebuah konvensi, sebuah negara wajib melapor secara berkala tentang berbagai kemajuan yang dicapainya. Laporan itu lalu dievaluasi oleh komite, yang memang khusus mengawasi setiap konvensi.

Bukan suatu hal yang aneh jika suatu negara peratifikasi konvensi cenderung menyusun laporan yang "baik-baik" saja. Dalam konteks itulah laporan alternatif dibutuhkan sebagai pembanding. Mekanisme pelaporan alternatif itu menurut Rafendi pertama kali disusun dan dilakukan sejumlah elemen masyarakat sipil Indonesia pada tahun 2001, terkait Konvensi Anti Penyiksaan. Masukan dari LSM, yang biasanya berhubungan langsung dengan para korban maupun pengawasan pelaksanaan suatu konvensi di dalam negeri, menjadi sangat penting.

Selain membuat laporan alternatif, dalam persidangan Rafendi pun secara aktif melobi, khususnya untuk melakukan tekanan dan perbaikan.

"Kegiatan seperti itulah yang lantas banyak dinilai orang secara negatif. Dari sanalah lalu muncul berbagai tuduhan miring pada kami, yang dikatakan sebagai pengkhianat bangsa, mata-mata asing, penjual penderitaan bangsa ke luar negeri demi mendapat uang, atau sebagai kelompok anti-Indonesia. Padahal, kalau mau fair, berbagai langkah yang dilakukan itu justru bertujuan memperbaiki kesalahan yang terjadi. Tidak bisa lalu dikatakan ’right or wrong is my country’. Kalau salah, ya harus dibenarkan," tukas Rafendi.

Walau begitu, Rafendi menilai saat ini pemerintah sudah sedikit lebih berubah. Jika dahulu tidak satu diplomat Indonesia pun mau berhubungan, terutama karena kebanyakan mereka berasal dari militer, sekarang Deplu dinilai telah lebih menerapkan pola hubungan yang jauh lebih luwes dan terbuka.

Dengan kondisi seperti itu, Rafendi menyarankan agar LSM pun melakukan perubahan strategi, dari yang sebelumnya terkesan selalu memosisikan diri berhadap-hadapan dengan pemerintah menjadi pola hubungan kemitraan yang strategis.

"Semua LSM harus mampu membangun komunikasi dan dialog dengan berbagai elemen positif yang ada di dalam negara. Tujuannya, ketika secara ideal negara berubah dan lebih mampu memenuhi prinsip transparansi serta akuntabilitas, pemerintah dan LSM akan bisa menjadi mitra strategis. Kalaupun kita bekerja sama, kan bukan berarti LSM telah dikooptasi oleh pemerintah," katanya.

Untuk itu, sekarang, tinggal dilihat sejauh mana pemerintah sanggup terus memperbaiki diri dan berkomitmen menegakkan serta menghargai HAM.

No comments:

A r s i p