Saturday, June 2, 2007

Tetap Bapak Reformasi, Kalau… Cetak E-mail

Oleh: Moh Mahfud MD

Sehabis salat subuh, Selasa (29 Mei) kemarin, antara tidur dan tidak, saya bermimpi melihat Presiden Soehato tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan tersengal-sengal.

”Mana itu reformasi? Ternyata sama saja. Ketika menjabat, para reformis itu juga makan uang haram seperti yang dulu dijadikan alasan untuk menjatuhkan saya. Mereka sama juga dengan saya, tak mau dan takut masuk penjara,” kata Soeharto. Mimpi saya itu mungkin dipengaruhi oleh iklan Republik Mimpi yang berbarengan dengan rentetan berita pertemuan 12 menit Amien Rais-Yudhoyono.

Meski menurut sebagian orang pertemuan itu meredakan ketegangan politik nasional, tetapi banyak yang melihat justru hasil pertemuan itu melemahkan ”momentum politik” yang baik untuk menegakkan hukum. Memang aneh, Bapak Reformasi Amien Rais yang biasa ceplas-ceplos dan blak-blakan itu tiba-tiba melunak. Running text sebuah stasiun televisi hari Rabu pagi menulis bahwa Pak Amien bilang SBY adalah pemimpin yang arif, sesuatu yang tak biasa dilakukan Pak Amien.

Apalagi, beberapa hari sebelumnya, dalam talkshow SSS di Q-Channel, Pak Amien mengatakan pemerintahan sekarang lebih buruk daripada zaman Orde Baru. Para pencinta hukum di negeri ini sebenarnya sangat berharap Pak Amien tetap menjadi idola sebagai Bapak Reformasi. Caranya, dia terus berteriak untuk membongkar kasus DKP yang sedang diributkan dan bukan hanya ”siap” dipenjara, melainkan proaktif ”minta” dihukum. Dan penegak hukum takkan bisa menolak permintaan Amien untuk dihukum atau diproses pidana karena tindak pidananya sudah jelas.

Jelas Gratifikasi

Dengan pengakuan Amien yang kemudian dikonfirmasi oleh Rokhmin Dahuri, maka sekurang-kurangnya Amien telah menerima uang gratifikasi (pemberian tanpa syarat) sebagai pejabat negara. Harus diingat bahwa pada saat menerima dana itu Pak Amien adalah Ketua MPR atau pejabat negara yang jelas-jelas dilarang oleh Pasal 12 UU No 20/2001 untuk menerima gratifikasi. Apa pun putusan pengadilan atas kasus Rokhmin itu nanti, yang telah dilakukan oleh Pak Amien adalah gratifikasi. Penerima yang bukan pejabat negara masih mungkin tidak dipidanakan, tergantung pada jenis uang apa yang diterima dari DKP.

Akan tetapi, tindak pidana yang lebih berat daripada gratifikasi bisa dikenakan sebagai tindak pidana korupsi (tipikor) jika nanti pengadilan memutus bahwa uang yang dibagi-bagi oleh Rokhmin adalah hasil korupsi atau merupakan uang negara yang seharusnya disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, dan merugikan uang negara menjadi terbukti dengan sendirinya.

Penegak hukum tak bisa mengatakan bahwa ini hanya soal UU Pemilu karena jika ada vonis seperti itu masalah ini menjadi urusan UU Tipikor. Jika Pak Amien minta dihukum atas perbuatan yang ”telanjur” dilakukan itu, bola salju penegakan hukum terhadap ”orang kuat” akan lebih mudah menggelinding. Kalau Pak Amien dihukum karena itu, maka yang lain pun akan sulit mengelak. Dan Pak Amien akan tetap dikenang sebagai Bapak Reformasi.

Kalau dulu jadi Bapak Reformasi karena menjadi lokomotif penjatuhan rezim Orba yang sarat KKN, sekarang tetap bisa jadi Bapak Reformasi kalau mau menjadi martir atau lokomotif pemberantasan korupsi yang selalu ditelikung oleh politik. Selama ini, penanganan kasus korupsi sangat sulit menyentuh orang-orang yang punya kendaraan dan payung politik. Yang dihukum hanyalah mereka yang kebetulan ”apes”, bukan karena penegakan hukum yang serius. Yang dihukum adalah mereka yang tak (lagi) punya back-up politik atau tak punya uang untuk ”membeli” perkara sehingga menjadi sangat apes.

Kalau tokoh politik sekaliber Pak Amien dengan pengaruh dan payung politik yang dimilikinya mau mengorbankan diri, minta dihukum, maka pemilik payung politik yang lain akan lebih mudah ditangani. Kalau tidak begitu, Pak Amien bisa dicatat sebagai bekas Bapak Reformasi yang lolos dari hukuman karena politisasi atas hukum.

Soal Mudarat

Saya sulit menerima pendapat Prof Harun Alrasyid agar kasus DKP ditutup saja karena mudaratnya akan lebih besar daripada manfaatnya. Selama ini banyak kasus KKN macet dengan alasan demi kepentingan yang lebih besar. Dengan alasan agar tak terjadi gejolak, padahal sebenarnya karena kolusi politik, banyak kasus didiamkan begitu saja, bahkan di SP3-kan dengan alasan hukum yang dicari-cari. Kenyataannya mudarat makin besar, rakyat makin sengsara, KKN terus menular.Pertanyaannya, menghindari mudarat atau menambah mudarat?

Dulu, kita berani menjatuhkan Orde Baru meski selalu dibujuk agar tak melakukan sesuatu yang menimbulkan mudarat dan kesusahan bagi rakyat.Kalau sekarang, alasan mudarat mau dipakai lagi demi asas oportunitas,maka kita tak berhak berbicara penegakan hukum, tak berhak mendorong-dorong agar Soeharto dan kroni-kroninya dituntut. Sebab kita pun telah melakukan hal yang sama seperti Soeharto.Kita dulu menjatuhkan Soeharto karena kita tak kebagian saja. Sebab itu, kalau kasus dana nonbujeter DKP mau ditutup hanya sampai pada Rokhmin dengan memolitisasi hukum, maka kita tak berhak bicara penegakan hukum, tak berhak mempersoalkan KKN-nya Soeharto dan kasus Soeharto harus ditutup.

Bisa saja kita menutup semua kasus untuk memulai hidup baru dengan penuh kerukunan, demi kepentingan rakyat. Tapi sungguh tidak fair kalau ini dilakukan hanya karena kita sendiri belepotan dengan kasus. Padahal, sebelum terkena kasus, kita gencar menyerang Pak Harto. Malulah kita pada Pak Harto,meski dia hanya hadir dalam mimpi dan parodi Republik Mimpi. (*)

Moh Mahfud MD
Pakar Hukum Tata Negara

No comments:

A r s i p