Saturday, June 2, 2007

Mempertegas Identitas PAN Cetak E-mail

Partai Amanat Nasional (PAN) akan menggelar Rakernas pada 1-3 Juni 2007 di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam momen sejarah penting ini, barangkali perlu dibahas mengenai identitas PAN yang selama ini dinilai kurang tegas.

Pada dasarnya PAN jelas merupakan partai nasionalis. Namun, karena dalam pemilu lebih banyak dipilih oleh kalangan dengan identitas agama, terutama Muhammadiyah, PAN sering menamakan dirinya sebagai partai nasionalis religius. Kondisi itulah yang kemudian memunculkan dua konsep yang membedakan antara asas dan dasar yang sejatinya tidak memiliki perbedaan makna signifikan.

Dalam statuta resmi, partai ini berdasarkan Pancasila (AD Bab II,Pasal 3 [1]), namun di ayat lain disebutkan juga berasaskan "Akhlak Politik Berlandaskan Agama yang Membawa Rahmat bagi Sekalian Alam"(AD Bab II,Pasal 3 [2]). Tak bisa dimungkiri, pengertian Pancasila mengandung konotasi pluralisme sejalan dengan realitas objektif bangsa Indonesia (mencakup di dalamnya semua keyakinan agama yang diakui di Indonesia).

Sementara pengertian "agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam" berkonotasi pada keyakinan agama tertentu (Islam), karena sejauh ini hanya Islam yang secara eksplisit menegaskan diri sebagai agama yang rahmatan lil-�alamin (membawa rahmat bagi sekalian alam). Dengan rumusan ini,banyak kalangan menilai identitas PAN tidak te-gas: nasionalis bukan, agamais juga bukan. Padahal, yang diinginkan PAN adalah mencakup kedua-duanya.Ya nasionalis, ya agamais. (Secara faktual, antara keduanya memang tak bisa dibedakan).

Masalahnya,menurut sejumlah hasil survei (yang memenuhi kriteria akademis), para pemilih PAN mayoritas berasal dari kalangan umat Islam, khususnya Muhammadiyah. Amat sedikit yang berasal dari warga NU dan nonmuslim. Realitas inilah yang membuat para analis politik menempatkan PAN sebagai partai Islam modernis, meskipun jelas asasnya Pancasila (bukan partai Islam). Bahkan, ada yang menegaskan bahwa direkayasa dengan cara apa pun, segmentasi pemilih PAN tidak akan lari dari Islam modernis.

Bisa kita bayangkan, betapa sulitnya memenangkan PAN jika tidak mampu keluar dari belenggu segmentasi ini. Umat Islam memang mayoritas di negeri ini, tapi segmen Islam modernis hanya sebagian kecil saja dari seluruh umat Islam. Pada saat yang sama, di segmen ini, selain PAN,masih ada yang memilih PKS,PBB, bahkan tidak sedikit yang memilih Golkar,Partai Demokrat, dan PDIP.

Sebagai partai yang lahir dari semangat reformasi, mestinya PAN bisa meraih kursi lebih banyak dalam pemilu. Karena partai ini diformat sebagai partai majemuk, tujuan utamanya untuk meraih suara mayoritas. Ada asumsi, karena Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat istiadat, maka partai majemuklah yang sesuai dengan karakter sosiokultural bangsa kita.

Hal ini sudah dibuktikan oleh Golkar pada era Orde Baru dan era kini, serta PNI pada era Demokrasi Liberal. Faktanya,PAN yang mengusung identitas kemajemukan itu tetap saja dipilih oleh mayoritas muslim modernis dan karenanya masuk dalam "kerangkeng" segmentasi politik Islam modernis. Identitas PAN terbukti belum mampu membawa partai ini menjadi pemenang pemilu, dan belum bisa mengantarkan Amien Rais ke kursi kepresidenan.

Partai Orang Biasa?

Melihat kenyataan di atas,kiranya diperlukan terobosan untuk merealisasikan cita-cita reformasi politik PAN. Caranya bukan dengan mengubah asas atau identitas yang menjadi rujukan dalam setiap langkah politik PAN. Identitasnya sudah cukup ideal. Yang diperlukan adalah bagaimana mengontekstualisasikannya sesuai perkembangan zaman dan kondisi objektif masyarakat yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya PAN.

Langkah PAN selama ini mungkin, pada batas-batas tertentu, sudah melakukan kontekstualisasi, misalnya dengan memasukkan unsur-unsur budaya daerah dalam setiap kampanye PAN. Namun harus jujur diakui, sejauh ini belum ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis bahwa upaya-upaya kontekstualisasi tersebut berkorelasi positif dengan peningkatan perolehan suara PAN.

Artinya, dibutuhkan terobosan kontekstualisasi yang lebih radikal.Pada periode kepemimpinan PAN pasca-Kongres II (2005-2010), upaya-upaya radikal ini sudah dilakukan, misalnya dengan memperkenalkan semboyan "PAN partai orang biasa".Semboyan ini bukan jargon kosong tanpa makna, melainkan sebagai hasil kajian reflektif terhadap berbagai kelemahan PAN di masa lalu.

Salah satu kelemahan PAN, selama periode 1998-2005 partai ini diidentikkan dengan para intelektual yang elitis. Untuk keperluan pengembangan konsep-konsep pembangunan bangsa ke depan, barangkali PAN memiliki kelebihan karena para aktivis dan pimpinannya terdiri dari para akademisi bergelar master dan doktor, bahkan tak sedikit yang bergelar profesor.

Namun, untuk membesarkan partai, intelektualisme, apalagi yang elitis, tidak begitu berpengaruh,atau malah kurang menguntungkan karena hal itu bisa menjauhkan PAN dari "masyarakat kebanyakan".Mereka yang merasa dirinya "biasa-biasa saja", para medioker yang kurang pintar, atau menganggap diri kurang intelek, merasa tidak cocok dengan PAN. Padahal, mereka itulah mayoritas rakyat Indonesia.

Dengan demikian, semboyan "PAN partai orang biasa" terasa urgen untuk disosialisasikan guna mendekatkan atau bahkan meleburkan PAN ke dalam semangat hidup "masyarakat kebanyakan". Meminjam modus eksistensi Eric Fromm, PAN harus "menjadi" mereka, bukan sekadar "memiliki" mereka.

Kontekstualisasi

Semboyan "PAN partai orang biasa" merupakan kebijakan nasional yang secara umum bisa dimanifestasikan di mana saja dan kapan saja. Untuk lebih mempertajam, pada tataran yang sangat praktis, semboyan ini perlu dibreakdown lebih lanjut ke dalam rumusan-rumusan strategi politik praktis yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Dengan kata lain, identitas PAN, dalam tataran implementasinya, bisa berbeda secara signifikan antara satu wilayah/ daerah dengan daerah/wilayah lain.

Implementasi identitas harus disesuaikan dengan karakter ideologi dan bu-daya masyarakat setempat. Dengan alasan adanya kebutuhan lokal yang bisa berbeda dengan kebutuhan nasional (pusat), atau kebutuhan wilayah/daerah yang satu bisa berbeda dengan kebutuhan wilayah/daerah lain, maka di sinilah perlunya kebijakan otonomi partai di tingkat lokal, terutama dalam kebijakan aktualisasi dan kontekstualisasi identitas PAN.

Pimpinan partai di tingkat lokal seyogianya diberi keleluasaan untuk mengaktualisasikan identitas PAN sesuai dengan konteks kebutuhan lokal tanpa dihantui bayang-bayang sanksi indisipliner karena dianggap melanggar identitas partai. Dengan kebijakan strategis semacam ini, ada harapan PAN bisa lebih besar dan maju sesuai harapan. Wallahu'alam bishshawab!

* Penasihat The Indonesian Institute Pengawas The Indonesian Research Institute (TIRI)

Abd Rohim Ghazali

No comments:

A r s i p