Wednesday, August 8, 2007

Pilkada dan Delegitimasi Partai Politik

Rachmad Bahari

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah ibarat pedang bermata dua.

Pembolehan calon perserorangan dinilai banyak kalangan sebagai pemenuhan hak konstitusional warga negara. Sebagian persyaratan calon peserta pilkada, seperti diatur UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah, dinilai Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 Ayat (4), karena hanya memberi kesempatan bagi pasang calon yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik.

Dari sisi kelembagaan demokrasi perwakilan, putusan MK itu dinilai sebagai penghambat pengembangan sistem (system building). Hampir semua orang sepakat bahwa kinerja partai politik di Indonesia kini jauh dari memuaskan. Kinerja wakil rakyat yang buruk di DPR dan DPRD ikut menambah rapor merah partai politik. Masalahnya, hingga kini peran partai politik tidak tergantikan oleh institusi lain dalam sistem negara demokrasi.

Partai vs massa

Putusan MK yang membatalkan ketentuan beberapa pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 telah melegalkan delegitimasi dan degradasi partai politik.

Selanjutnya, dalam pencalonan pilkada, kedudukan partai politik menjadi sejajar dengan massa atau kerumunan (crowd). Artinya, tanpa melalui mekanisme partai politik, calon bisa mengikuti pilkada dengan membawa bukti dukungan 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di wilayahnya. Meski pengumpulan dukungan bukan hal mudah, tetapi pencalonannya jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan melalui partai politik.

Pembukaan kesempatan bagi pasang calon perseorangan dalam pilkada memuluskan jalan mereka yang ingin menjadi kontestan tanpa memeras keringat. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pasangan calon murni dari kalangan nonpartai, tetapi juga bagi mereka yang gagal mencalonkan diri melalui partai politik.

Pembukaan kesempatan calon perseorangan dalam pilkada di Aceh, sebagaimana diatur UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebetulnya hanya berlangsung satu kali sebelum partai lokal terbentuk. Ketentuan UU No 11/2006 Pasal 67 Ayat (1) Huruf f itu selaras MOU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM yang mengisyaratkan diizinkannya pembentukan partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan kata lain, keistimewaan Aceh tetap sejalan dengan pengembangan sistem penataan kelembagaan demokrasi, terutama mengenai partai politik. Artinya yurisprudensi berdasarkan UU No 11/2006 sebenarnya kurang tepat.

Bagaimana dengan pilkada di daerah dengan status khusus, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, kelak? Beberapa kalangan telah mendesak panitia perancang RUU Keistimewaan Yogyakarta untuk memuat ketentuan penetapan kepala daerah dari pemangku monarki yang ada tanpa melalui pemilu. Jika ketentuan itu diberlakukan, apakah tidak bertentangan dengan hakikat demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat?

Putusan MK tentang calon perseorangan dalam pilkada seolah merupakan kemenangan bagi upaya perwujudan demokrasi dengan melepas hak sipil warga negara dari kungkungan dan belenggu partai politik. Sebenarnya hal itu hanya merupakan panacea sesaat karena dalam jangka panjang akan mengganggu pengembangan sistem penataan kelembagaan demokrasi, utamanya mengenai peranan partai politik.

Delegitimasi dan degradasi partai politik berlangsung bertubi-tubi dan kini sudah mencapai titik nadir. Hal itu bisa menjadi pelajaran amat berharga bagi partai politik untuk berintrospeksi dan membenahi diri agar rapornya tidak lagi merah.

Kini saatnya kalangan partai politik memperbaiki platform dan kinerjanya, terutama dalam mengembangkan demokrasi internal dan pengaderan. Dengan demikian, jual-beli kursi pencalonan yang rawan dengan politik uang tidak terjadi lagi. Keberhasilan demokrasi internal dan pengembangan kader tentu dapat menghasilkan politisi berkualitas yang layak jual dalam pemilu lembaga legislatif dan eksekutif. Keberhasilan itu akan meminimalkan upaya pemanfaatan partai sekadar menjadi kendaraan mereka yang memiliki dukungan finansial kuat saja.

Putusan MK itu mengingatkan kita untuk lebih mawas diri. Delegitimasi dan degradasi terhadap partai politik pada akhir dasawarsa 1960-an telah melahirkan dominasi tentara dalam politik dan pemerintahan otoritarian Orde Baru selama 30 tahun lebih. Tentu saja menjadi relevan apabila timbul pertanyaan, delegitimasi dan degradasi terhadap partai politik pascareformasi akan bermuara ke mana?

Rachmad Bahari Peneliti Institute for Policy and Community Development Studies (Ipcos), Jakarta

No comments:

A r s i p