Wednesday, October 31, 2007

Agama Harus Menoleransi Demokrasi


Jakarta, Kompas - Harus ada wilayah tempat agama menoleransi demokrasi untuk berkembang dan sebaliknya bagi demokrasi menghormati hak pemeluk agama untuk berorganisasi serta mengekspresikan diri.

Demikian diingatkan guru besar ilmu politik Universitas Columbia New York, Amerika Serikat, Alfred Stepan, dalam diskusi bertemakan "Democracy and Secularism in the Muslims World: Challenges and Opportunities" di Yayasan Paramadina, Jakarta, Selasa (30/10). Diskusi itu diprakarsai International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Yayasan Paramadina.

Stepan juga menolak definisi sekularisme klasik yang mengatakan agama harus dijauhkan dan tidak diberikan peran sama sekali dalam urusan politik-kenegaraan. Definisi itu tidak relevan lagi dengan kondisi zaman dan pada dasarnya semua agama besar di dunia memiliki komponen dalam ajarannya yang berguna bagi pengembangan demokrasi.

Stepan juga mengakui, terjadi miskonsepsi di dunia Barat, termasuk di kalangan intelektual, yang menilai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam itu tak demokratis. "Ini terjadi karena mereka mencampuradukkan antara Islam dan Arab. Padahal, Arab hanya mencakup 22 persen dari keseluruhan Muslim di dunia," ujar Stepan.

Stepan juga menilai Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk Muslim sejak reformasi 1998 secara konsisten, meski tak selalu mulus, menjalankan hubungan yang harmonis antara demokrasi dan agama. Ini tak lepas dari kehadiran aktor penting, seperti organisasi keagamaan Islam yang besar dan berpengaruh, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Namun, Stepan mengingatkan pula, demokratisasi di negara yang mayoritas warganya beragama Islam bisa menjadi jebakan bagi demokrasi. Kelompok fundamental yang cenderung kurang demokratis bisa memenangi pemilu yang demokratis dan menyebarkan ideologi mereka.

Jika kelompok fundamentalis ini menguasai pemerintahan, mereka dapat saja menghancurkan demokrasi. (a13/mzw)

No comments:

A r s i p