Sunday, October 7, 2007

Tajuk Rencana

Masa Penantian Rakyat Pakistan

Pemilihan presiden di Pakistan masih satu pekan lagi. Akan tetapi, suhu politik di negeri itu sudah demikian panas. Pemilu kali ini dinilai sebagai sangat penting.

Pertanyaan yang muncul di kalangan banyak pihak, termasuk rakyat Pakistan sendiri, adalah apakah setelah pemilu dan terpilih presiden baru, Pakistan akan kembali ke pemerintahan sipil?

Sejak delapan tahun lalu, 1999, Pakistan ada di bawah pemerintahan militer, setelah Jenderal Pervez Musharraf mengambil alih kekuasaan lewat kudeta tak berdarah. Ia menyingkirkan Perdana Menteri Nawaz Sharif yang kini ada di pengasingan.

Status Musharraf yang masih aktif dalam dinas militer menjadi masalah ketika ia mendaftarkan diri lagi sebagai calon presiden. Berbagai kalangan, terutama oposisi dan juga para pengacara, memprotes hal itu. Walau banyak protes, para pejabat Komisi Pemilihan Umum menerima dan mengesahkan pencalonan Musharraf itu.

Memang, Musharraf berjanji akan melepaskan seragam militer jika nanti ia terpilih lagi sebagai presiden. Ia juga berjanji pensiun dari dinas militer pada tanggal 15 Oktober mendatang.

Meski ia sudah berjanji, masih banyak yang meragukan. Apakah ia akan memenuhi janjinya itu. Bukankah kekuasaan itu memabukkan. Dulu, tak lama setelah mengambil alih kekuasaan, ia juga berjanji akan segera menyerahkan kekuasaan ke tangan sipil. Ia juga pernah berjanji akan melepaskan jabatannya di militer pada Desember 2004, tetapi kenyataannya kekuasaan militer berjalan delapan tahun.

Akankah posisinya melemah kalau ia pensiun dari militer? Sekarang ia menjabat sebagai presiden sekaligus panglima angkatan bersenjata. Ia jenderal aktif, yang sejak tragedi 11 September 2001 menjadi sekutu dekat AS dan menjadi ujung tombak dalam memerangi terorisme.

Sebagai jenderal aktif, menjadi panglima angkatan bersenjata sekaligus presiden, ia menikmati kekuasaan yang begitu besar. Konstitusi memang masih menjamin bahwa presiden punya hak untuk menunjuk para pemimpin di jajaran militer, gubernur, atau membubarkan pemerintah dan parlemen. Akan tetapi, tanpa pangkat jenderal aktif di pundaknya, pengaruhnya akan berkurang. Siapkah akan hal itu?

Namun, seorang pemimpin harus bisa dipegang janji dan ucapannya. Sekali sebuah ucapan kata terlontar, maka sulit untuk ditarik kembali. Bagi seorang pemimpin, apa yang dikatakan, itulah yang harus dilakukan.

Tentu rakyat Pakistan kini berharap kekuasaan dan kedaulatan rakyat akan segera dipulihkan.

***

Perihal Demokrasi Prosedural

anggota KPU non-aktif Mulyana W Kusumah menamakan demokrasi kita pada fase ini demokrasi prosedural. Itu pengerdilan dari demokrasi konstitusional.

Parameternya pemilihan umum yang makan biaya tinggi. Baik pemilu legislatif maupun eksekutif baru sebatas pengurasan keuangan negara dan energi politik rakyat. Buahnya untuk kesejahteraan rakyat belum ada. Yang dilahirkan barulah elite politik yang teralienasi dan lupa memperjuangkan kepentingan rakyat (Kompas, halaman 2, Rabu, 26 September 2007).

Lebih serius pengamatan dan penilaian itu karena kiranya merupakan bagian dari hasil refleksinya selama menjalani penahanan. Ia kaitkan pendapat itu juga dalam konteks telah satu dasawarsa kita melaksanakan reformasi. Jika lingkungan dan suasana negatif yang akan ditegaskan, bermanfaat sebagai bahan pengalaman untuk menyertakan kerusuhan dan kekerasan yang menyertai pemilu di berbagai daerah. Tentu bisa pula segera dinetralkan pengamatan itu dengan argumen 10 tahun untuk reformasi belumlah waktu yang cukup lama.

Kita termasuk yang cenderung sependapat dengan analisis anggota KPU pada Pemilu 2004. Kerisauan serupa sering kita lontarkan, bahkan kita bandingkan dengan pengalaman berdemokrasi parlementer dalam tahun lima puluhan. Prosedural dalam karya nyata demokrasi berlaku tidak saja dalam pemilu, juga dalam kerja lembaga-lembaga perwakilan. Prosedur membuat undang-undang, prosedur menyusun anggaran belanja bersama pemerintah, prosedur orasi-orasi dalam sidang. Turun secara periodik di tengah rakyat dengan menghasilkan buah belum tampak. Juga sering dipertanyakan apa persepsi, pengertian, dan praktik yang diberikan kepada tugasnya sebagai wakil rakyat.

Sampai batas tertentu, pengalaman dan jangka waktu 10 tahun bisa merupakan alasan yang sah. Namun, jika melihat gejalanya yang tidak berkurang, justru biasa- biasa saja atau merosot, peringatan itu kita perlukan. Demokrasi prosedural berkembang penuh sebagai demokrasi konstitusional. Posisi dan fungsi wakil rakyat agar semakin bermakna setia kawan dengan kondisi rakyat yang diwakili serta bekerja keras untuk memperbaiki kondisi keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan itu. Acap kali tampak dan terkesan lebih kuat, orientasinya mendahulukan kepentingan sendiri. Penghasilan cenderung naik, sementara sidang pleno sampai hati dibiarkan kosong.

Demokrasi bermakna substansial, kekuasaan berada di tangan rakyat, tetapi lewat pemilu kekuasaan itu didelegasikan atau diwakilkan kepada para anggota DPR dan DPRD serta yang mewakili partai duduk dalam eksekutif. Makna perwakilan bahkan berlaku bagi siapa pun yang dalam sistem dan perangkat itu memegang kekuasaan, legislatif maupun eksekutif. Kita pun ikut prihatin karena pengamatan kita juga sampai pada kesimpulan, kekuasaan dalam demokrasi belum diterjemahkan sebagai pengabdian dan pengorbanan. Kekuasaan masih kental berbudaya feodal. Reformasi harus dibuat lebih efektif. Demokrasi presidensial, masakan akan bertambah lagi dengan 74 partai baru.

No comments:

A r s i p