Saturday, October 20, 2007

Kejujuran dan Keutamaan

Triyono Lukmantoro

Kejujuran adalah unsur yang menentukan dalam peristiwa komunikasi. Kejujuran tidak saja menjadikan proses komunikasi berjalan lancar, tetapi lebih dari itu, kejujuran mampu menciptakan pemahaman yang baik di antara partisipan komunikasi.

Pesan yang dilandasi kejujuran mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi. Apalagi jika momentum komunikasi itu terjadi dalam ranah politik, nilai kejujuran menjadi mutlak dipenuhi. Politik dalam hal ini tidak dipahami sebagai muslihat untuk mengeruk kekuasaan, tetapi tujuan meraih kebaikan bersama.

Melalui cara pandang inilah kasus terpilihnya Prof Dr Syamsulbahri sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat diuraikan dengan cermat. Dalam uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi II DPR, Syamsulbahri menyatakan, dia hanya berstatus sebagai saksi dalam sebuah kasus korupsi di Jawa Timur.

Namun, perjalanan berikutnya menunjukkan, statusnya sebagai tersangka. Pihak DPR terkesan memberi pembelaan secara maksimal kepadanya agar dapat dilantik menjadi salah satu dari tujuh anggota KPU. Sementara itu, publik menghendaki agar kasus hukum ini diusut tuntas.

Peristiwa ini dapat dihindarkan jika semua pihak yang terlibat dalam proses seleksi melandaskan diri pada kejujuran. Uji kelayakan dan kepatutan memang tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya mekanisme untuk memilih figur komisioner yang berintegritas. Bukankah sejumlah komisioner yang lolos dari uji kelayakan dan kepatutan ternyata setelah menjalankan tugasnya terlibat korupsi dan harus meringkuk dalam jeruji besi?

Uji kelayakan boleh jadi mampu menjaring orang-orang yang secara administratif dan akademis pantas menduduki jabatan publik bergengsi. Namun, dalam uji kepatutan yang mempersoalkan integritas yang terkait moralitas, berbagai lapis teknik atau metode seleksi ternyata relatif mudah dibobol.

Etika keutamaan

Hal ini disebabkan kejujuran telah lenyap sebagai salah satu aspek pokok dalam berpolitik. Bahkan, dapat diberikan penegasan, kejujuran sebagai suatu bukti diterapkannya etika keutamaan (virtue ethics) dengan sengaja telah dibuang dari arena perpolitikan. Padahal, etika keutamaan menekankan pada arti penting karakter moral yang selama ini dirindukan kehadirannya dalam kehidupan politik kita yang sedemikian karut-marut.

Hal itu bermakna, figur terpilih, yang dianggap memenuhi kualifikasi moralitas, tidak dilihat dari apakah tindakannya memperhitungkan segi konsekuensi (akibat) yang akan ditimbulkannya. Bukan pula dipandang dari apakah tindakannya telah memenuhi kewajiban yang seharusnya dilakukan.

Kejujuran menjadi perwujudan etika keutamaan karena tidak dilandaskan aspek tindakan. Fenomena itulah yang menjadikan etika keutamaan dipandang mampu melampaui dua aliran etika yang mendominasi dalam diskusi moralitas, yakni etika teleologis (bertujuan) dan etika deontologis (kewajiban).

Pada etika teleologis, problem yang menjadi perhitungan pokok adalah dampak yang akan ditimbulkan oleh tindakan seseorang. Misalnya, kejujuran dapat digusur oleh kebohongan jika sang aktor mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dengan kebohongannya itu.

Sementara itu, pada etika deontologis, kejujuran hanya dijalankan untuk memenuhi aspek kewajiban yang rentan terpeleset pada unsur legalitas ketimbang moralitas.

Apabila diberikan kesimpulan, baik etika teleologis maupun etika deontologis, kejujuran ditempatkan sebagai prinsip tindakan yang memberi panduan bagi seorang aktor untuk berperilaku dalam situasi tertentu. Sebaliknya, dalam etika keutamaan, kejujuran dapat membedakan antara karakteristik figur politik yang satu dan yang lain.

Dalam rumusan lain, etika secara dominan selalu berujung pada kelaziman-kelaziman pertanyaan, seperti "Apa yang seharusnya Aku lakukan?" atau "Bagaimana seharusnya Aku bertindak?". Pertanyaan itu bergeser dalam etika keutamaan menjadi "Aku harus menjadi orang yang bagaimana?". Etika keutamaan berporos pada bagaimana menjadi orang baik ketimbang bagaimana bertindak baik.

Tidak pernah berbohong?

Namun, dunia politik kita lebih menyukai "orang yang berbuat baik" daripada orang baik. Itu pun dengan catatan "perbuatan baik" itu mampu memberi keuntungan bagi kelompoknya sendiri.

Menjadi orang baik dianggap sebagai profil yang melawan kebakuan tata nilai politik. Karena itu, tidak mengherankan jika perpolitikan kita selalu diwarnai berbagai kebohongan. Praktik-praktik kebohongan dijalankan secara kolektif dan sistematik yang pada titik kulminasinya melahirkan kebenaran palsu.

Masalahnya, apakah orang baik yang selalu menempatkan kejujuran sebagai keutamaan dalam berpolitik berarti orang bersangkutan tidak pernah berbohong? Adakah sosok suci yang selalu berkata jujur semacam ini?

Benar, kejujuran mensyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak pernah melakukan dusta. Hanya, sosok demikian pasti tidak pernah ditemukan dalam kehidupan politik yang nyata kecuali dalam utopia yang tidak pernah tergapai. Orang yang dinilai paling jujur sekalipun pasti pernah melakukan kebohongan, tetapi itu dilakukan dalam kondisi yang sedemikian mendesak.

Filosof perempuan Sissela Bok, dalam buku Lying (1978) menegaskan, kebohongan boleh dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan dilakukan untuk mendapat kekuasaan, ia merupakan perbuatan yang tidak dapat dipermaklumkan.

Pertanyaannya, benarkah perpolitikan kita selalu didedikasikan untuk kehidupan manusia tidak berdosa? Jawabannya, tidak! Kebohongan acapkali dilakukan hanya untuk meraih kekuasaan dan menumpuk keuntungan finansial. Manusia-manusia yang tanpa dosa justru semakin mengalami keterpurukan dalam gelombang kebohongan. Mengharapkan kehadiran figur berintegritas yang memosisikan kejujuran sebagai keutamaan berpolitik pasti berhadapan dengan intrik.

Triyono Lukmantoro Dosen Etika Profesi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP- Universitas Diponegoro, Semarang

Triyono Lukmantoro

Kejujuran adalah unsur yang menentukan dalam peristiwa komunikasi. Kejujuran tidak saja menjadikan proses komunikasi berjalan lancar, tetapi lebih dari itu, kejujuran mampu menciptakan pemahaman yang baik di antara partisipan komunikasi.

Pesan yang dilandasi kejujuran mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi. Apalagi jika momentum komunikasi itu terjadi dalam ranah politik, nilai kejujuran menjadi mutlak dipenuhi. Politik dalam hal ini tidak dipahami sebagai muslihat untuk mengeruk kekuasaan, tetapi tujuan meraih kebaikan bersama.

Melalui cara pandang inilah kasus terpilihnya Prof Dr Syamsulbahri sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat diuraikan dengan cermat. Dalam uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi II DPR, Syamsulbahri menyatakan, dia hanya berstatus sebagai saksi dalam sebuah kasus korupsi di Jawa Timur.

Namun, perjalanan berikutnya menunjukkan, statusnya sebagai tersangka. Pihak DPR terkesan memberi pembelaan secara maksimal kepadanya agar dapat dilantik menjadi salah satu dari tujuh anggota KPU. Sementara itu, publik menghendaki agar kasus hukum ini diusut tuntas.

Peristiwa ini dapat dihindarkan jika semua pihak yang terlibat dalam proses seleksi melandaskan diri pada kejujuran. Uji kelayakan dan kepatutan memang tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya mekanisme untuk memilih figur komisioner yang berintegritas. Bukankah sejumlah komisioner yang lolos dari uji kelayakan dan kepatutan ternyata setelah menjalankan tugasnya terlibat korupsi dan harus meringkuk dalam jeruji besi?

Uji kelayakan boleh jadi mampu menjaring orang-orang yang secara administratif dan akademis pantas menduduki jabatan publik bergengsi. Namun, dalam uji kepatutan yang mempersoalkan integritas yang terkait moralitas, berbagai lapis teknik atau metode seleksi ternyata relatif mudah dibobol.

Etika keutamaan

Hal ini disebabkan kejujuran telah lenyap sebagai salah satu aspek pokok dalam berpolitik. Bahkan, dapat diberikan penegasan, kejujuran sebagai suatu bukti diterapkannya etika keutamaan (virtue ethics) dengan sengaja telah dibuang dari arena perpolitikan. Padahal, etika keutamaan menekankan pada arti penting karakter moral yang selama ini dirindukan kehadirannya dalam kehidupan politik kita yang sedemikian karut-marut.

Hal itu bermakna, figur terpilih, yang dianggap memenuhi kualifikasi moralitas, tidak dilihat dari apakah tindakannya memperhitungkan segi konsekuensi (akibat) yang akan ditimbulkannya. Bukan pula dipandang dari apakah tindakannya telah memenuhi kewajiban yang seharusnya dilakukan.

Kejujuran menjadi perwujudan etika keutamaan karena tidak dilandaskan aspek tindakan. Fenomena itulah yang menjadikan etika keutamaan dipandang mampu melampaui dua aliran etika yang mendominasi dalam diskusi moralitas, yakni etika teleologis (bertujuan) dan etika deontologis (kewajiban).

Pada etika teleologis, problem yang menjadi perhitungan pokok adalah dampak yang akan ditimbulkan oleh tindakan seseorang. Misalnya, kejujuran dapat digusur oleh kebohongan jika sang aktor mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dengan kebohongannya itu.

Sementara itu, pada etika deontologis, kejujuran hanya dijalankan untuk memenuhi aspek kewajiban yang rentan terpeleset pada unsur legalitas ketimbang moralitas.

Apabila diberikan kesimpulan, baik etika teleologis maupun etika deontologis, kejujuran ditempatkan sebagai prinsip tindakan yang memberi panduan bagi seorang aktor untuk berperilaku dalam situasi tertentu. Sebaliknya, dalam etika keutamaan, kejujuran dapat membedakan antara karakteristik figur politik yang satu dan yang lain.

Dalam rumusan lain, etika secara dominan selalu berujung pada kelaziman-kelaziman pertanyaan, seperti "Apa yang seharusnya Aku lakukan?" atau "Bagaimana seharusnya Aku bertindak?". Pertanyaan itu bergeser dalam etika keutamaan menjadi "Aku harus menjadi orang yang bagaimana?". Etika keutamaan berporos pada bagaimana menjadi orang baik ketimbang bagaimana bertindak baik.

Tidak pernah berbohong?

Namun, dunia politik kita lebih menyukai "orang yang berbuat baik" daripada orang baik. Itu pun dengan catatan "perbuatan baik" itu mampu memberi keuntungan bagi kelompoknya sendiri.

Menjadi orang baik dianggap sebagai profil yang melawan kebakuan tata nilai politik. Karena itu, tidak mengherankan jika perpolitikan kita selalu diwarnai berbagai kebohongan. Praktik-praktik kebohongan dijalankan secara kolektif dan sistematik yang pada titik kulminasinya melahirkan kebenaran palsu.

Masalahnya, apakah orang baik yang selalu menempatkan kejujuran sebagai keutamaan dalam berpolitik berarti orang bersangkutan tidak pernah berbohong? Adakah sosok suci yang selalu berkata jujur semacam ini?

Benar, kejujuran mensyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak pernah melakukan dusta. Hanya, sosok demikian pasti tidak pernah ditemukan dalam kehidupan politik yang nyata kecuali dalam utopia yang tidak pernah tergapai. Orang yang dinilai paling jujur sekalipun pasti pernah melakukan kebohongan, tetapi itu dilakukan dalam kondisi yang sedemikian mendesak.

Filosof perempuan Sissela Bok, dalam buku Lying (1978) menegaskan, kebohongan boleh dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan dilakukan untuk mendapat kekuasaan, ia merupakan perbuatan yang tidak dapat dipermaklumkan.

Pertanyaannya, benarkah perpolitikan kita selalu didedikasikan untuk kehidupan manusia tidak berdosa? Jawabannya, tidak! Kebohongan acapkali dilakukan hanya untuk meraih kekuasaan dan menumpuk keuntungan finansial. Manusia-manusia yang tanpa dosa justru semakin mengalami keterpurukan dalam gelombang kebohongan. Mengharapkan kehadiran figur berintegritas yang memosisikan kejujuran sebagai keutamaan berpolitik pasti berhadapan dengan intrik.

Triyono Lukmantoro Dosen Etika Profesi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP- Universitas Diponegoro, Semarang

No comments:

A r s i p