Tuesday, October 30, 2007

"Elite" Narsistik


Limas Sutanto

Elite" Indonesia menampilkan keruwetan perilaku. Dengan kacamata psikodinamik, kita melihat corak-corak narsisme (cinta diri berlebih) pada mereka.

Corak narsisme itu antara lain berupa tindakan menyodorkan diri sebagai calon presiden, lewat deklarasi ataupun rangkaian aktivitas penonjolan diri berselubung keramahan dan tebar senyum, dengan pretensi mendapatkan simpati.

Demokrasi dipakai sebagai peranti rasionalisasi perilaku narsistik. Para "pakar" dan "pengamat" memperkuat rasionalisasi dengan mengatakan, semua itu "wajar, sah, bahkan baik".

Namun, kacamata psikodinamik tidak disilaukan aneka rasionalisasi itu dan tampilan "elite", yang merasa nyaman bersibuk diri dengan omong-omong tentang pemilihan presiden, tampak terang sebagai kesibukan tak henti meraih kekuasaan dari satu pemilu ke pemilu berikut.

Enam masalah besar

Narsisme "elite" perlu diguncang dengan pertanyaan terapeutik: Benarkah masalah bangsa Indonesia di sini dan kini adalah "memilih presiden baru"?

"Elite" menjawab iya, tetapi kita menegaskan, bangsa Indonesia di sini dan kini masih dibelit enam masalah besar, yaitu kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan (termasuk korupsi), dan rendahnya kualitas pendidikan.

Siapa pun yang menjadi Presiden RI memanggul tugas besar mengatasi enam masalah itu. Keenam masalah terbesar itu akan dapat diatasi hanya oleh kepemimpinan yang berkonsentrasi penuh dan menggelar upaya sistematik dalam kurun waktu bersinambung untuk mengatasinya.

Keenam masalah terbesar bangsa Indonesia bukan seperti penyakit flu yang akan sembuh dalam waktu singkat. Lalu apa yang terjadi jika pemegang kekuasaan terus sibuk dengan tetek bengek aktivitas meraih kembali kekuasaan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya? Tidak pelak lagi, bangsa Indonesia akan terus dibelit enam masalah terbesar, terus semrawut, dan kehidupannya kian tidak bermutu.

Sebenarnya di bahu elite Indonesia terbebankan tiga tugas terpenting, yaitu merancang upaya sistematik panjang bersinambung untuk mengatasi enam masalah besar itu, melaksanakan rancangan yang dihasilkan, dan mengawal pelaksanaan rancangan hingga mencapai tujuannya.

Ketiga tugas terpenting itu sekaligus merupakan tugas amat besar karena tidak akan pernah dapat dipikul hanya oleh segelintir insan Indonesia. Ketiga tugas itu harus dipikul semua pemimpin bangsa, elite, dan warga yang bersinergi dan berkonsentrasi penuh mengatasi kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan rendahnya kualitas pendidikan.

Inilah gerakan kontekstual pembebasan bangsa Indonesia. Gerakan itulah yang sebenarnya ada dalam khazanah pengharapan dan penantian bangsa Indonesia. Di lubuk hati rakyat Indonesia bergema ungkapan, "Kapan gerakan pembebasan bangsa Indonesia akan lahir dan bertumbuh kembang?" Ungkapan itulah yang sebenarnya tersuarakan mewakili makna aktual "pengalaman dunia dalam" (inner world experience) bangsa Indonesia di sini dan kini.

Sibuk sendiri

"Elite" yang narsistik tidak mampu menangkap makna aktual pengalaman dunia dalam bangsanya. Mengapa? Karena "elite" sibuk dengan suaranya sendiri, yang merangkum kepentingan, keinginan, dan tenaga narsistiknya sendiri yang begitu sentral dan dominan.

Masalah penting "elite" Indonesia adalah kesukaannya yang berlebih untuk menikmati suaranya sendiri sekaligus kekurangmampuan untuk mendengarkan suara keras makna aktual pengalaman dunia-dalam rakyat. "Elite" tidak mampu membiarkan diri ditembus suara keras yang berasal dari pihak lain (rakyat). Maka tidak heran jika sehari-hari "elite" mengisi ruang-ruang media dengan omong mereka sendiri yang terus dirasionalkan sebagai "pembelaan kepentingan rakyat". Salah satu contoh mutakhir adalah omong-omong "elite" soal pencalonan presiden.

Diharapkan, narsisme mulai rontok saat manusia narsistik mulai berani menderita karena membuka diri terhadap kepentingan dan realitas penderitaan pihak lain, memberi ruang bagi pihak lain dalam diri sendiri, dan menerima serta menjalani kehidupan sebagai kebersamaan dan pengalaman berbagi antara diri dan pihak lain.

"Elite; di negeri ini masih jauh dari itu. Mereka hidup sendiri dan untuk diri sendiri. Meski demikian, melalui tulisan ini, kita dapat berharap "elite" merontokkan narsismenya.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Tinggal di Malang

No comments:

A r s i p