Saturday, October 27, 2007

Sumpah Pemuda Setelah Kebangsaan


Jakob Sumardjo

Tanah airku adalah dunia. Kebangsaanku adalah umat manusia. Bahasaku Inggris-Amerika. Dan agamaku berbuat baik. Barangkali itulah bunyi Sumpah Pemuda pascanasionalisme. Nasionalisme sudah mati. Hidup kosmopolitanisme.

Mengapa timbul pikiran demikian? Pernyataan bahwa nasionalisme tak membawa Indonesia ke mana-mana sering tercetus dalam diskusi di kalangan generasi muda akhir-akhir ini. Maka, nasionalisme harus ditinggalkan. Sumpah Pemuda 80 tahun lalu kehilangan maknanya.

Benarkah kebangsaan tidak lagi diperlukan? Gagalkah Sumpah Pemuda: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa? Namun, setiap tahun kita memperingati Sumpah Pemuda.

Maksud Sumpah Pemuda

Apa maksud Sumpah Pemuda tahun 1928? Untuk sekadar merdeka dari penjajahan? Untuk menegakkan demokrasi? Untuk membentuk negara? Dulu tidak ada sumpah untuk satu negara, Indonesia. Yang ada sumpah membentuk kesatuan bangsa dan tanah air. Tidak ada sumpah membentuk satu pemerintahan, yang mungkin akan segera dituduh sebagai pemberontakan.

Kekecewaan terhadap negara kebangsaan mungkin justru setelah terbentuk kesatuan pemerintahan atau terbentuknya negara Indonesia. Sumpah Pemuda diwujudkan melalui pembentukan negara kesatuan. Itu sebabnya kaum republik dan gerilyawan disebut Belanda sebagai pemberontakan atau ekstremis.

Bukti suhu tinggi nasionalisme terjadi pada perang kemerdekaan, 1945-1949. Saat negara kesatuan Indonesia yang baru lahir terancam direbut kembali oleh Belanda, semangat "merdeka demi tanah air dan bangsa" menggelora. Merdeka atau mati. Satu bangsa, satu tanah air, dan satu negara menjadi masalah hidup dan mati bagi rakyat. Ancaman kehilangan tanah air memperkuat persatuan bangsa.

Namun, saat tanah air dikuasai setelah 1950, terjadi krisis kesatuan atau krisis kebangsaan. Dalam masa demokrasi-liberal (1950-1959) berbagai pemberontakan daerah atau perebutan kekuasaan pusat mengancam bubarnya kesatuan negara. Dasar demokrasi-liberal itulah yang memerosotkan nasionalisme sehingga muncul dugaan nasionalisme musuh demokrasi.

Dugaan itu menjadi kenyataan saat demokrasi terpimpin diberlakukan Bung Karno tahun 1959-1966. Apa yang disebut demokrasi terpimpin tak lain kepemimpinan otoriter. Justru penyingkiran demokrasi semacam itu membuat nasionalisme bangkit kembali. Perebutan Irian Barat dan pengganyangan Malaysia menjadi agenda nasionalisme. Seperti pada masa perang kemerdekaan, rakyat mau mati demi nasionalisme. Mereka tanpa diminta menyatakan diri sebagai sukarelawan yang siap gugur di medan laga. Demi nasionalisme!

Memasuki masa Orde Baru, otoriterian dilanjutkan atas nama demokrasi-Pancasila. Predikat "demokrasi" harus ada, agar diterima rakyat. Pada masa ini nasionalisme dipompa lewat indoktrinasi. Kesatuan bangsa dan negara mengebiri demokrasi-liberal. Berbeda dengan masa Bung Karno yang mengebiri demokrasi, tetapi berhasil menempa jiwa nasionalisme rakyat. Orde Baru (Orba) justru merusak keduanya, demokrasi ataupun nasionalisme. Puncak kekecewaan generasi muda atas makna nasionalisme muncul dari masa Orba ini.

Otoritarian Orba jelas anti demokrasi (diktator militer), namun nasionalisme juga semakin buruk dengan munculnya gerakan-gerakan pemisahan dari negara kesatuan. Padahal makna kebangsaan digembar-gemborkan setiap hari. Ini disebabkan tidak adanya ancaman kehilangan tanah air seperti terjadi pada masa Orde Lama dengan peristiwa Irian Barat dan Malaysia (proyek Nekolim).

Nasionalisme Indonesia

Nasionalisme Indonesia itu nasionalisme-kehilangan. Sebelum memiliki dan muncul ancaman terhadap hak miliknya, yakni tanah air, nasionalisme kuat. Namun, ketika tanah air ini aman-aman saja, nasionalisme mulai luntur, bahkan tidak diperlukan demi perwujudan demokrasi. Nasionalisme tidak membentuk demokrasi, kebebasan individu, dan persamaan baik. Apakah demokrasi mampu membentuk nasionalisme?

Di negara-negara otoriter-sosialis, demokrasi justru membentuk nasionalisme. Pecahnya Uni Soviet dan munculnya nasionalisme Taiwan adalah akibat demokrasi ini. Demokrasi melawan otoritarisme dan melepaskan diri dengan membentuk negara dan bangsa sendiri. Demokrasi menjadi dasar nasionalisme mereka.

Searah nasionalisme Indonesia juga ingin melepaskan diri dari "otoritarisme kolonial", tetapi tidak didasari oleh minat menegakkan demokrasi, semata demi kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa. Artinya, Sumpah Pemuda terpenting adalah tekad menyatukan yang berbangsa-bangsa menjadi satu bangsa dan menyatukan yang berbahasa-bahasa menjadi satu bahasa. Kesatuan tanah air dan kesatuan bahasa adalah proses sejarah yang tanpa Sumpah Pemuda sudah terwujud. Kesatuan tanah air akibat penjajahan Belanda, sedangkan kesatuan bahasa akibat lingua franca bahasa Melayu dan dalam komunikasi maritim di Nusantara. Karya besar Sumpah Pemuda terletak pada tekad membentuk suatu bangsa dari berbagai bangsa-bangsa di Indonesia yang ditengarai oleh berbagai-bagai bahasanya.

Nasionalisme vs demokrasi

Nasionalisme dan demokrasi merupakan pasangan oposisioner. Tidak ada demokrasi tanpa nasionalisme. Pun tidak ada nasionalisme tanpa demokrasi. Namun, kenyataan di Indonesia, nasionalisme dan demokrasi konflik secara permanen. Kalau nasionalisme kuat, demokrasi surut.

Kalau demokrasi menguat, nasionalisme meluntur. Gejala ini tampak menonjol setelah reformasi. Setelah masa tekanan panjang kekerasan nasionalisme selama Orde Baru, gerakan reformasi demokrasi bagai kuda liar lepas dari kandang. Eforia demokrasi membuahkan hasil dengan niat pemisahan diri dari negara kesatuan, seperti terjadi di Timor Timur, Papua, Aceh, RMS. Sektarianisme dirayakan dengan munculnya lebih dari seratus partai politik mirip gejala tahun 1950-an, demokrasi liberal.

Potret nasionalisme versus demokrasi terwujud dalam ekspresi seni. Di zaman kolonial dan revolusi, karya seni sastra, rupa, film, dan musik penuh pujaan tanah air dan heroisme. Namun, mulai demokrasi liberal tokoh-tokoh heroik tanah air lenyap, diganti kritik pedas pemerintahan dan manusia-manusianya. Nasionalisme dan pahlawan tenggelam di bawah caci maki satu sama lain. Perang kebenaran lebih penting dari sekadar kebangsaan.

Tidak mengherankan jika generasi muda menyatakan Sumpah Pemuda kedua: tanah airnya adalah dunia, kebangsaannya umat manusia, dan bahasanya Inggris. Nasionalisme telah gagal menyediakan kebebasan yang mengembangkan potensi kaum muda. Batas-batas bangsa, bahasa, dan negara tak ada lagi. Kewarganegaraan mereka adalah umat manusia. Para pahlawan nasional itu tak ada artinya di bawah pahlawan-pahlawan umat manusia. Mereka mungkin terheran-heran orang masih membikin patung-patung raksasa Jenderal Sudirman dan dwitunggal Soekarno-Hatta. Mereka ini siapa?

Demokrasi tidak menuntun nasionalisme di Indonesia karena nasionalisme Indonesia selalu nasionalisme jalur kanan. Demokrasi menjadi dasar nasionalisme di lingkungan negara yang menganut nasionalisme jalur kiri. Gerakan demokrasi menuntut lepasnya suatu bangsa dan bahasa dari otoritarianisme sosialis. Nasionalisme jalur kanan mengajarkan, semakin Anda bersatu semakin banyak pengorbanan kebebasan Anda. Semakin Anda menikmati kebebasan, kesatuan semakin surut.

Jakob Sumardjo Esais

No comments:

A r s i p