Wednesday, October 17, 2007

Becermin pada Biksu Myanmar


YF La Kahija

Pemenang menyuburkan kebencian, pecundang hidup dalam kesengsaraan. Orang kalah hidup bahagia dan damai.

Kasus yang menimpa Myanmar hingga kini masih belum terselesaikan. Dampak protes para biksu dan rakyat akibat kenaikan BBM 500 persen, dan merupakan aksi terbesar selama 10 tahun terakhir, masih terasa hingga kini.

Terasa ada yang janggal di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha itu. Nilai utama Buddhisme lepas dari sikap dan tindakan pemerintah junta yang otoriter. Tindakan memukul, menembaki adalah kesewenang-wenangan.

Menjadi cermin

Dalam psikologi politik, pemimpin otoriter setidaknya menunjukkan tiga ciri, mengontrol semua institusi, membatasi komunikasi dengan dunia luar, dan hanya mendelegasikan tugas kepada bawahan. Karena itu, kecil kemungkinan gerakan sosial yang dimotori pemimpin agama dapat menjatuhkan rezim berkuasa.

Maka, gejolak di Myanmar bisa dimengerti sebagai konflik kemanusiaan versus kekuasaan.

Dalam tradisi Buddhistis dan Timur umumnya, baik-buruknya pemerintah bergantung pada pemimpinnya. Buddha, misalnya, mengajarkan, saat penguasa negara bertindak adil dan bijak, perilakunya akan turun ke menteri, pejabat, hingga rakyat. Namun, ketika melihat protes para biksu diredam secara represif, muncul pertanyaan: apakah ahimsâ bisa merekonstruksi tatanan politik?

Apa yang dilakukan para biksu sebenarnya upaya netral mengajak junta becermin. Dari becermin, diharapkan ada perubahan lebih baik. Cermin adalah simbol dari kesempatan untuk membenarkan kekeliruan. Cermin tidak punya daya untuk memaksa perubahan, ia hanya menampilkan kenyataan.

Seperti umum dijumpai dalam dimensi esoteris, meditatif, atau kontemplatif agama, kemajuan spiritual tercapai jika seseorang telah melampaui kesibukan emosi, pikiran, kata-kata, atau gambaran mental apa pun. Pergulatan yang sulit ini akan memuluskan jalan menuju samâdhi (kekhusyukan) atau dalam tradisi Barat disebut kelengangan mistis.

Secara negatif, gaya hidup seperti ini terkesan egois. Dalam salah satu teks meditasi, Theravada, Buddha berpesan, "Biarawan yang ingin bermeditasi sebaiknya pergi ke hutan, ke bawah pohon, duduk bersila, menjaga kelurusan badan, dan menjaga pikiran tetap awas." Aktivitas ini ditemui dalam komunitas biarawan/wati (sangha).

Dengan fokus kepada jalan spiritual, biksu menjalani tugas yang dihindari banyak orang. Dengan masuk ke dalam diri, orang menjadi peka dengan kemerosotan moral. Karena itu, meditasi tetap memiliki manfaat sosial. Lewat protes damai, para biksu menunjukkan apa itu meditasi di keramaian.

Masih dalam persepsi negatif. Para biksu terkesan lekat dengan eskapisme (pengasingan) diri dari situasi sosial. Itulah yang membuat mereka disebut biksu (Sanskerta) atau bhikku (Pâli): orang tergantung pada orang lain. Melalui meditasi, manusia belajar mengenal dan mengontrol pikiran, emosi, perasan, dan hasrat pribadi. Dengan turun ke jalan, para biksu mengajak pemerintah melakukan hal serupa, tetapi direspons dengan kekerasan.

Kekitaan

Terlepas dari kompleksitas masalah ekonomi dan politis di Myanmar, para biksu menunjukkan pentingnya memperjuangkan perdamaian dan ahimsâ dalam menghadapi kesewenangan dan kekerasan. Efek logis perjuangan ini adalah demokrasi harus terus diperjuangkan. Demokrasi masih menjadi sistem pemerintahan yang humanistik, tiap orang belajar menanggalkan keegoisan, membuka diri bagi orang lain. Meminjam istilah Martin Buber, demokrasi adalah cermin relasi Ich-Du (Aku-Engkau) yang merupakan antitesis dari relasi Ich-Es (Aku-benda).

Relasi Ich-Du itu memanusiakan orang lain; sementara relasi Ich-Es membendakan, mengobjektivasi orang lain. Dari relasi Ich-Du mengalir inti demokrasi dengan nilai-nilai kemanusiaan menjadi pijakan dasar. Dengan begitu, kita terhindar dari hiperdemokrasi, sistem politik yang menanggalkan semua nilai, kecuali kebebasan dan persamaan.

Dalam bahasa Indonesia, ada beda tegas antara kami dan kita yang dalam bahasa Inggris disatukan menjadi we. Kekitaan bisa diparalelkan dengan relasi Ich-Du. Dalam kekitaan, tidak ada menang atau kalah. Menghayati kekitaan adalah menghayati ahimsâ, menghayati demokrasi adalah menghayati bhinneka tunggal ika.

YF La Kahija Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang

No comments:

A r s i p