Sunday, October 7, 2007

Sosok dan pemikiran
Pemekaran Daerah, Pilihan Rasional

Bambang Sigap Sumantri

Tahun ini sudah terbentuk 173 daerah otonom baru, terdiri dari 7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota. Sebuah pemekaran digagas untuk mendekatkan institusi negara dengan rakyat serta memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dari evaluasi yang dilakukan, sejumlah tujuan pemekaran belum tercapai.

Guna memperjelas soal pemekaran daerah yang marak sejalan dengan menguatnya otonomi daerah tersebut, Kompas menemui dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada yang juga menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Dr Pratikno. Berikut wawancaranya:

Pemekaran daerah yang dilakukan selama ini dinilai belum banyak memberikan kemajuan dan kesejahteraan rakyat, apa yang sebenarnya terjadi?

Kebijakan pemerintah melalui pemekaran yang dilakukan sejak tahun 2001 itu dari suatu daerah yang tidak ada menjadi ada, dari nol menjadi satu, namun tak ada transisi. Kalau dulu pembentukan daerah otonom melalui proses transisi teknokratis, sebelum menjadi kotamadya ada kota. Bahkan kabupaten pun diberi ruang, dulu ada kawedanan dan di tingkat provinsi kita mengenal karesidenan. Dulu ada mekanisme teknokratis untuk menyiapkan pembentukan daerah otonom, disiapkan administrasi birokrasinya, infrastruktur, gedung kantor.

Tetapi itu kan sangat elitis?

Elitis dan juga sentralistis, bedanya ada proses teknokratis tadi. Jadi, pemerintah mendorong penyiapan infrastruktur birokrasi, bukan politik, ada penyiapan dan latihan lama sebelum menjadi daerah otonom. Setelah dirasa siap, tinggal menempeli lembaga demokratisnya, yaitu DPRD. Oleh karena itu, jika sekarang proses teknokratis itu tak ada dan orang tetap berharap seperti dulu, maka akan ada gap. Masyarakat berharap pembentukan daerah baru tak mengalami gejolak pelayanan, kalau seperti dulu ya bisa, tetapi sekarang ini regulasinya berbeda. Dulu memang karakternya sangat sentralistis, pembentukan daerah lebih banyak menjadi inisiatif nasional, tidak bersifat partisipatif dari bawah.

Mengapa pemekaran jalan terus?

Ini bisa dijelaskan melalui dua hal, mekanisme lokal dan mekanisme nasional. Mengapa usul pemekaran terus berdatangan, ini harus dibaca dari kepentingan elite lokal. Kalau lolos terus, ini harus dilihat dari mekanisme di tingkat nasional. Mengapa usul terus, kita harus ingat peta usulan kebanyakan dari Indonesia timur, mayoritas dari daerah yang kaya sumber daya alam, di tengah ekonomi yang stagnan. Jika program pendidikan sudah menghasilkan tenaga kerja terdidik, ke mana mereka akan pergi, wong ekonomi macet, ke mana mereka mencari pekerjaan, ke mana mereka akan mengalami proses promosi. Yang tersedia cuma satu, masuk ke negara. Masuk ke institusi pemerintahan, kalau tidak ada, mereka berkata: "mari kita buat". Itu memang pilihan rasional yang tersedia. Masalah berapa pun biaya yang diperlukan untuk pemekaran, banyak daerah yang sanggup, mereka bersemangat. Mengapa pembentukan provinsi Banyumas, pembentukan provinsi di kawasan Jember, Banyuwangi, dan seterusnya tidak muncul dan berlanjut, padahal mereka sudah memenuhi syarat teknokratis. Asalkan ada lima kabupaten bersepakat, mereka kuat dari segi PAD, mereka kuat dari pembangunan sosial dan ekonomi, toh semangat itu tidak begitu menonjol di Jawa. Ini karena mereka mempunyai banyak pilihan karena perkembangan ekonomi sangat pesat. Beda dengan luar Jawa dan Bali, pintu tertutup untuk nonnegara.

Berarti susah untuk mengerem gagasan pemekaran daerah?

Pertama-tama karena regulasi memang memberikan peluang untuk itu. Undang-Undang Susduk (Susunan dan Kedudukan) DPRD sudah memberikan lowongan minimal anggota DPRD 20 orang, artinya kalau terbentuk kabupaten baru minimal sudah tersedia 20 kursi baru. Insentif itu disediakan oleh undang-undang. Yang diributkan sekarang ini mengerem ketika proposal pemekaran sudah masuk. Problemnya apakah pemerintah mampu untuk mengerem. Ada energi dari daerah untuk mengusulkan pemekaran, walaupun itu sebenarnya tak sepenuhnya kesalahan dari daerah. Contohnya karena ada insentif yang disediakan undang-undang, antara lain mengatakan berapa pun jumlah penduduk kabupaten, misalnya satu kabupaten 9.000 orang, tetap saja ada 20 anggota DPRD, ada birokrasi, kepegawaian, kepala dinas, ada proses negaranisasi, dinegarakan. Seandainya terus terjadi pemekaran, Republik ini isinya pegawai negeri dan politisi, isinya hanya itu. Dari sisi masyarakat juga ada kepentingan: "kalau kami tidak menjadi ibu kota kabupaten desa kami tidak ada listrik, tak ada jalan, tak ada telepon". Bagaimana caranya menghadirkan listrik dan telepon, ya jadi ibu kota. Ini kan sebagian kesalahan pusat. Selama pemerintah pusat tidak memberikan akses pelayanan yang memadai dan merata, mereka yang di daerah akan terus berimajinasi, cara untuk menghadirkan listrik dan jalan adalah dengan pemekaran. Tak ada cara lain.

Ini akan membuat beban negara menjadi bertambah?

Tentu saja karena overhead cost-nya semakin besar. Saya pernah mengusulkan Februari tahun lalu, pemekaran itu bukannya tidak perlu, pemekaran itu perlu di beberapa daerah agar masyarakat mampu mengakses pelayanan, tetapi memang pemekaran tak selalu menjadi daerah otonom. Lebih dari itu, pemekaran itu menjadi penting dalam konteks nasional, contoh konkret problema kita di daerah perbatasan, misalnya dengan Singapura dan Malaysia. Daerah perbatasan berangkat dari teritori yang terdefinisikan secara administratif, tetapi tidak menjadi teritori yang aktif.

Dalam rangka kebijakan teritori ini perlu mengaktifkan wilayah dan salah satu caranya adalah dengan mengaktifkan negara di situ. Bagaimana orang bisa loyal kepada republik ketika republik terlalu abstrak, republik tak pernah hadir di depan mereka.

Apakah perlu strategi pembangunan harus diubah terlebih dahulu, supaya mereka yang sudah terdidik di daerah tidak kebingungan mencari kerja dan akhirnya ke ranah negara semua?

Artinya, pembangunan ekonomi berbasis ekonomi regional itu menjadi sesuatu penting dan ini yang harus segera dilakukan. Repotnya kita ini masuk dalam persaingan global, kita berusaha untuk menggaet investasi, kita harus pandai menawarkan bahwa kita efisien. Tetapi, ketika logika itu diterapkan, daerah yang seperti itu ya Jawa dan Bali.

Di luar itu, tidak efisien, transportasi mahal, tenaga terampil rendah, tak ada pelabuhan. Ini memang sebuah kesulitan yang luar biasa. Dan, menjadi terlalu mahal jika ditangani melalui proses negaranisasi tadi. Ke depan bahayanya kita hanya akan mengembangkan ekonomi berpatron ke negara.

Kalau untuk daerah dengan sumber daya alam besar proses negaranisasi ada gunanya?

Tetap akan ada problema. Pertama, ketika negara dan sumber daya itu menjadi satu-satunya, maka sekaligus dia menjadi perebutan satu-satunya dan itu artinya potensi konflik sangat besar. Kedua, akan muncul problema keberlimpahan, ada ledakan fiskal yang luar biasa yang terjadi secara tiba-tiba. Dan, itu bisa mengakibatkan kelumpuhan kapasitas kelembagaan ekonomi, karena orang kan tiba-tiba ada uang, ngapain bekerja. Ketiga, eksplorasi sumber daya alam pembangunan lebih menjadi mekanisme untuk membawa surplus ekonomi keluar daripada dari luar ke dalam.

No comments:

A r s i p