Wednesday, October 31, 2007

Arus Bawah Reformasi Birokrasi


Robert Endi Jaweng

Memilih jalan pembaruan birokrasi dari atas dan berlangsung massal tampaknya bukan pilihan efektif dan realistis untuk negeri ini. Kita bukan Korea Selatan atau Filipina yang di masa transisi para pemimpinnya (Presiden Park Chung Hie dan Corazon Aquino) berhasil meletakkan dasar prioritas bagi reformasi birokrasi nasional. Di sini, menyitir Eko Prasojo dalam Politik Reformasi Birokrasi (Kompas, 17/10), tak cukup tersedia komitmen politik dan kompetensi untuk melakukan langkah besar semacam itu.

Maka, kita harus menekuni jalan setapak tetapi pas dan bisa membuktikan hasil: reformasi birokrasi lokal. Inilah ranah baru yang dirambah sejumlah organisasi pembangunan (LSM, konsultan, dan lembaga donor) bersama pemda sekitar dua tahun belakangan. Diaspora reformasi birokrasi itu sedang menggelinding di berbagai pelosok negeri. Dalam perkara satu ini, daerah jauh meninggalkan pusat.

Birokrasi

Reformasi birokrasi, dikenal pula dengan istilah inovasi kebijakan atau best practices pemerintahan, lebih tepat dikerjakan di level kabupaten/ kota.

Pertama, pilihan bentuk dan prioritas reformasi bisa fleksibel menurut variasi kondisi daerah. Kedua, skala perubahan yang lebih kecil membutuhkan biaya yang lebih bisa dikalkulasi. Ketiga, posisi kabupaten/kota sebagai unit pemerintahan dasar bisa menjadi fundamen bagi perubahan di level atas (birokrasi nasional). Keempat, dalam kerangka otonomi daerah, selain berfungsi sebagai unit langsung pelayanan publik, letak birokrasi itu juga berjarak lebih dekat dengan profil kebutuhan nyata masyarakat.

Dalam konteks demikian, maka pilihan reformasi yang umum terjadi adalah pada pelayanan publik. Kalau di pusat, seperti yang sekarang terjadi pada Depkeu, reformasi itu berarti perbaikan remunerasi aparatur dan dari situ diharapkan menjadi stimulasi peningkatan kinerja, titik vokal di daerah adalah pembaruan birokrasi perizinan usaha dan pelayanan umum. Contoh par excellence sebagai pelembagaan dari pilihan ini berupa pendirian sistem pelayanan terpadu (SIMPTAP) atau one stop service (OSS).

Alhasil, hari-hari ini masyarakat dan para pelaku usaha di Sragen (Jateng), Cimahi (Jabar), Banjarbaru (Kalsel), Jembrana (Bali), Parepare (Sulsel), dan di sekitar 150 kabupaten/kota lainnya bisa menikmati hasil pelayanan prima yang diberikan pemerintahnya. Dalam mengurus dokumen sipil atau lisensi usaha, misalnya, mereka terlayani secara cepat (waktu), mudah (prosedur), pasti (persyaratan), murah (biaya), disertai sikap kerja yang relatif profesional dan humanis aparatur.

Sejumlah survei indeks kepuasan masyarakat (IKM) mengonfirmasi pengakuan yang signifikan akan gerak maju tersebut. Jika kurun lima tahun pertama desentralisasi diisi dengan berbagai temuan yang syarat ketakpuasan, kini para pelaku usaha sudah mulai bangga memuji kinerja pemda mereka berkenaan mutu peraturan usaha dan layanan perizinannya.

Instansi pusat

Pilihan ke depan, sambil tidak menafikan langkah sejumlah instansi pusat yang baru memulai fase reformasi internal mereka, perhatian mesti kian dipusatkan ke aras lokal yang terbukti relatif sukses melakukan lompatan perubahan eksternal bagi pelayanan publik. Untuk itu, ikhtiar lanjutan harus lebih didorong menjadi kerja multipihak, guna menjamin sinerjitas, pelembagaan dan keberlanjutan yang hari- hari ini menjadi isu serius di daerah.

Pertama, reformasi kerangka kebijakan nasional yang lebih solid, sinkron, dan progresif. Pusat harus menyadari, alih-alih bisa mendukung, perannya sebagai faktor negatif justru menguat belakangan ini. Ihwal pembentukan sistem pelayanan terpadu satu pintu, misalnya, standar Permendagri No 24/2006 yang menjadi acuan daerah justru ditabrak—persisnya ditarik mundur—oleh UU No 25/2007 (Penanaman Modal), PP No 41/ 2007 (Perangkat Daerah), dan RUU Pelayanan Publik.

Kedua, depolitisasi birokrasi lokal. Fakta di lapangan menunjukkan, komitmen dan kepemimpinan seorang bupati/wali kota amat menentukan arah perubahan dan kinerja birokrasi. Tantangannya adalah mentransformasi warisan sejarah birokrasi kekuasaan menjadi birokrasi pelayanan. Kepala daerah harus bisa memutus alur intervensi politik atas birokrasi dan integrasi birokrasi ke dalam politik. Proses rekrutmen, promosi, penempatan, atau kinerja sejauh mungkin berbasis sistem meritokrasi dan steril politisasi.

Ketiga, linkage dan sinkronisasi dengan perubahan pada aspek lain. Sejauh ini, sebagian daerah relatif sukses mereformasi sistem pelayanan publik mereka—yang tentu perlu sebagai pintu masuk atau show case. Namun yang tak kalah penting pula adalah sambungan ke agenda perubahan lain, seperti masalah perencanaan pembangunan, penganggaran dan alokasi APBD, pelayanan dasar (pendidikan/kesehatan), dan lain-lain. Intinya, pola inkremental diperkuat menjadi pola integral.

Hemat penulis, dalam track perubahan birokrasi lokal yang relatif tepat dewasa ini, sesungguhnya yang tersisa tinggallah agenda penambah bobot dampak perubahan dan minimalisasi segala faktor negatif. Ketiga isu di atas adalah sebagian pekerjaan rumah ke depan. Ketika semua itu bisa digenapi, insya Allah kita menjadi role model baru dalam studi komparatif reformasi birokrasi di masa mendatang. Sebagai orang yang menekuni masalah ini di lapangan, saya menaruh harapan dan optimisme yang tinggi.

Robert Endi Jaweng Manajer Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta

No comments:

A r s i p