Wednesday, October 31, 2007

Tidak Bersama Pun Kita Bisa


EFFENDI GAZALI

Kata-kata pamungkas (soundbite) pasangan SBY-JK "Bersama Kita Bisa", yang amat populer seputar Pemilu 2004, ternyata tak bertuah hingga tahun ketiga pemerintahan mereka! Sebelum 20 Oktober 2007, mereka sudah dihadapkan pada ujaran "Tidak Bersama Pun Kita Bisa!"

Di Indonesia memang belum jelas betul kerangka waktu dan tradisi pencalonan tokoh unggulan dari partai serta jenjang karier politiknya. Jika tiap partai memiliki semacam konvensi dari tingkat bawah, untuk kemudian diajukan ke konvensi nasional, dengan jadwal hitung mundur tertentu dari pemilu, kemungkinan besar kita tidak perlu sehiruk-pikuk sekarang. Bahkan mungkin SBY-JK pun tidak perlu memberikan komentar yang bisa diinterpretasi ke arah menguatnya peluang mereka berpisah pada 2009.

Namun, itulah yang terjadi, partai-partai politik yang diharapkan makin dewasa, melakukan koreksi internal yang memadai, dan berjalan menuju manajemen modern, terkesan masih terlalu sarat kepentingan sesaat elitenya. Beberapa parpol dengan enteng meniadakan mekanisme konvensi, sambil mengajukan aneka alasan sekenanya dan jauh dari upaya perbaikan sistem yang ajek. Lalu dibawalah hasil konvensi sebelumnya yang tak berhasil mengantar calon mereka menjadi pemenang pemilu presiden.

Atau kalau "rakyat" dan sebagian besar pengurus partai sudah mencalonkan suatu nama, untuk apa lagi konvensi? Seakan konvensi tak pernah dimaksudkan sebagai suatu kompetisi program dan identifikasi kandidat dengan substansi itu!

Padahal, inti manajemen parpol modern—sekaligus manajemen komunikasi politik—yang mendorong tradisi penahapan dan kerangka waktu pencalonan yang jelas, tidak hanya membawa manfaat bagi partai, tetapi juga bagi sistem kompetisi antarpartai, dan terutama bagi publik.

Tersulut lebih awal

Ketiadaan mekanisme dan tradisi pencalonan yang ajek dari parpol, yang merupakan basis demokrasi modern, membuat deklarasi calon perseorangan yang belum memiliki parpol, agar dilirik partai, ditanggapi berlebihan.

Di banyak negara yang sudah mengakui hak calon perseorangan dengan persyaratan—umumnya—dari puluhan ribu sampai tiga persen pendukung, tak perlu ada reaksi berlebihan oleh elite parpol apalagi pasangan yang sedang memerintah. Singkatnya, calon perseorangan sibuk mencari dukungan, mereka menyadari amat sulit untuk menang; elite parpol menyiapkan diri bertarung dalam konvensi; presiden-wakil presiden meningkatkan popularitas dengan penuntasan urgensi program-program yang lebih dirasakan makna dan manfaatnya oleh publik (karena itu juga berbau populis).

Jika presiden dan wakil presiden dari satu partai, lazimnya jarang didengar pernyataan kemungkinan berpisah untuk satu periode berikutnya. Kalaupun bukan dari satu partai, umumnya di sekitar konvensi partai tingkat nasional baru kita lihat kristalisasi gejala "pisah-ranjang" itu. Namun, di Indonesia atmosfer politik kini ikut mendorong persaingan yang tersulut lebih awal ini menjadi makin terbuka.

Menurut berbagai jajak pendapat, popularitas pemerintah terus menurun meski popularitas pribadi SBY tetap yang teratas, sementara popularitas pribadi JK masih jauh dari signifikan. Megawati memilih menerima usulan para pengurus (akar rumput) lebih awal dibandingkan dengan perkiraan pengamat, Maret 2008.

Sutiyoso lebih taktis, mendeklarasikan secepatnya. Selain nothing to lose, juga untuk jaga-jaga. Kalau saja dia diutak-atik untuk kasus penyimpangan selama menjadi Gubernur DKI, setelah deklarasi langsung bisa diinterpretasi bernuansa politis. Tambah lagi ada Wiranto, Sultan yang mulai sering tampil, juga nama-nama lain yang dielus-elus media karena potensinya ataupun biar makin ramai.

Pemusik dan saudagar

JK dan timnya terkesan lebih agresif membaca atmosfer ini. Alasannya, pertama, tentu karena hasil survei popularitasnya masih amat perlu dipompa menjelang pertengahan 2008. Namun, kedua, tetap harus ada sebuah interpretasi lain di balik fakta ini: mesin politiknya terasa makin solid untuk menggeliat.

Perjalanan panjang silaturahimnya sekitar Idul Fitri ke berbagai provinsi tertata hangat dengan suara-suara spontan mencalonkannya sebagai kandidat presiden. Awalan, kunjungan ke mantan pejabat dan tokoh kunci bisa dibaca sebagai niat memperoleh simpati seluas mungkin, sekaligus berfungsi sebagai pembuka yang halus untuk safarinya setelah itu.

Tampaknya JK akan terus diletakkan pada positioning tokoh yang GTD (get things done) dan banyak menekankan kemajuan ekonomi yang ringkas-praktis, mudah dilihat serta dirasakan rakyat. Sisi yang bisa menjadi kelemahannya (selain soal luar Jawa, yang nanti tergantung dari siapa pasangannya), antara lain gencarnya seruan untuk pemimpin lebih muda dan kenekatannya mendekatkan diri dengan pertemuan "saudagar".

Selain ke Dunia Fantasi, SBY meluncurkan album lagu-lagu ciptaannya. Sah-sah saja dalam kepresidenan modern (lihat Pfiffner, 2007). Siapa tahu album ini bisa mendongkrak popularitasnya yang sedang turun. Apalagi jika lagu itu bisa bersanding dengan karya Nidji, Peterpan, Matta, dan lainnya pada Top-10. Persaingan nyata ada pada mereka, meski bisa saja berdampak pada popularitas politik. Yang agak kurang pas mungkin alasan peluncuran album itu pada 28 Oktober 2007 saat ratusan aktivis sedang melakukan Ikrar Kaum Muda!

Mendorong rakyat mendaftarkan karya cipta tentu oke-oke saja, tetapi tak usah terlalu memaksa kaitannya dengan Sumpah Pemuda. Kalau saya penasihatnya, saya akan anjurkan hanya menyumbangkan dua lagu (yang lain simpan dulu) ditambah dari pencipta dan artis yang ramai malam itu. Satu berupa lagu populer perkasihan, apa pun interpretasi amelioratifnya, satu lagi yang benar terkait kebangkitan pemuda!

Namun, di atas semua rangkaian tebar pesona ini, pernahkah rakyat mendapat sesuatu yang nyata? Adakah yang pernah bilang, "Saya akan segera mewujudkan social-safety net, setidaknya layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua, semiskin apa pun Anda". Memang sementara ini, kita tidak pernah sungguh bersama!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

No comments:

A r s i p