Sunday, October 7, 2007

Merentang Kembali Kekuasaan Soeharto

SULTANI

Reaksi bernada positif terhadap pengumuman Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia yang menempatkan Soeharto sebagai pencuri terbesar aset negara menunjukkan kegeraman masyarakat atas buntunya proses pengusutan korupsi mantan Presiden RI tersebut. Seharusnya, momentum ini dimanfaatkan pemerintah untuk lebih serius dalam menyelesaikan perkara korupsi mantan penguasa tersebut.

Peringatan tersebut tidak berlebihan, mengingat semenjak Soeharto lengser dari singgasananya, empat presiden penerusnya tidak satu pun yang berhasil memejahijaukan mantan Presiden Republik Indonesia ke-2 ini. Padahal, jejak kesalahan Soeharto sudah ditelisik oleh Kejaksaan Agung tiga bulan setelah ia mundur.

Bukti-bukti yang didapat kejaksaan waktu itu mengindikasikan, selama kurun waktu 32 tahun, Soeharto mengeruk kekayaan untuk diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya. Celakanya, uang yang masuk ke dalam kas tujuh yayasan tersebut diperoleh dari perusahaan-perusahaan swasta dan negara dengan menggunakan keputusan presiden. Kerugian negara dari tindakan Soeharto ini diperkirakan 571 juta dollar AS (George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, LkiS: Yogyakarta, 2006).

Temuan serupa diungkapkan majalah Time dalam edisi khusus dengan judul Soeharto Inc: How Indonesia’s Boss Built a Family Fortune. Edisi 24 Mei 1999 itu secara gamblang mengungkapkan kekayaan Soeharto berikut keluarga dan kroni-kroninya yang bertebaran di beberapa belahan dunia.

Menurut data Time, tahun 1999 kekayaan Soeharto mencapai 9 miliar dollar AS. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto juga membangun kerajaan bisnis bersama keluarga dan kolega-koleganya melalui praktik monopoli terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dari praktik bisnis tersebut, Soeharto bisa memupuk harta yang diperkirakan mencapai 73,24 miliar dollar AS (Rp 659 triliun). Jumlah yang sangat fantastis.

Soeharto sendiri pernah membantah bahwa dirinya memiliki kekayaan di luar negeri. "Saya tidak punya satu sen pun uang di luar negeri," katanya pada 6 September 1998, delapan bulan sebelum Time melansir beritanya. Tidak puas dengan pemberitaan Time, Soeharto mengajukan gugatan pencemaran nama baik terhadap majalah itu. Padahal, dalam waktu yang bersamaan Soeharto juga sedang menghadapi dakwaan Kejaksaan Agung atas korupsi yang diduga dilakukan melalui tujuh yayasannya.

Di satu sisi, Soeharto selalu menolak persidangan perkara korupsinya. Namun, dia proaktif menggugat majalah Time yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Meskipun pengadilan negeri maupun pengadilan tingkat banding menolak semua gugatan Soeharto atas Time, Soeharto tak lantas menyerah. Ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Tanggal 28 Agustus lalu MA mengeluarkan keputusan memenangkan gugatan Soeharto atas Time. Time harus membayar uang Rp 1 triliun kepada Soeharto dan meminta maaf melalui media massa.

Dalam jajak pendapat kali ini yang secara khusus menyoroti pengusutan kekayaan Soeharto, publik menyangsikan keseriusan pemerintah menyelesaikan perkara ini. Sebagian besar responden mengatakan, Kejaksaan Agung, MA, maupun Polri tidak serius menyelesaikan perkara korupsi yang melibatkan bekas orang kuat Indonesia itu.

Di dalam benak mayoritas responden, Soeharto diyakini memiliki kekayaan yang disimpan di luar negeri, sebagaimana yang diberitakan Time.

Karena itulah, keputusan hukum yang memenangkan Soeharto dianggap telah menyalahi prinsip keadilan. Setidaknya, 63,9 persen responden merasa keputusan MA dalam perkara Soeharo vs Time baru-baru ini tak adil. Dua dari tiga responden malah merasa hukuman yang diberikan MA kepada Time sebagai tindakan yang berlebihan.

Kemenangan Soeharto yang diberikan MA semakin menelanjangi kebobrokan aparat penegak hukum dan sistemnya dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum tampaknya tidak akan membaik. Setidaknya, 60 persen responden tak yakin penegak hukum Indonesia mampu mengusut dan mengembalikan kekayaan Soeharto di luar negeri.

Komitmen pemerintah untuk menuntaskan perkara Soeharto pun diragukan masyarakat. Sebanyak 61,9 persen responden merasa pemerintah, terutama Presiden Yudhoyono, tidak akan mampu mengusut dan mengembalikan harta Soeharto.

Padahal, melalui Prakarsa Pengembalian Aset Curian atau Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative yang dilansir PBB dan Bank Dunia pada 17 September lalu, kedua lembaga tersebut siap membantu negara berkembang memulangkan aset yang dicuri pemimpinnya yang korup dan mencegah secara internasional pelarian uang hasil kejahatan. "Tidak boleh ada surga yang aman bagi mereka yang mencuri dari masyarakat miskin," kata Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick.

Data yang dilansir dari temuan Transparency International (2004) itu menempatkan nama Soeharto di tempat teratas dari 10 nama kepala negara yang dianggap sebagai pencuri aset negara. Jumlah kekayaan yang dicuri 15-35 miliar dollar AS.

Publik Indonesia sudah lama menanti adanya terobosan lain dalam penyelesaian perkara korupsi Soeharto. Tidak mengherankan kalau 62,4 persen responden menyambut positif dan setuju terhadap pengumuman PBB tersebut. Mereka juga berpikir cukup rasional dengan menempatkan pengusutan korupsi sebagai hal yang lebih utama daripada menonjolkan jasa-jasa Soeharto pada masa lalu.

Meskipun demikian, keterlibatan asing dalam pengusutan kasus ini cukup menimbulkan kontroversi. Sekitar 45,5 persen responden setuju dengan pelibatan pihak asing dalam kasus ini, sementara 48,8 persen responden lainnya justru menolak keterlibatan asing.

(Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p