Friday, October 12, 2007

Strategi Pembangunan Budaya Nasional


Kiki Syahnakri

Bung Karno kerap mengatakan, pembangunan nasional bermakna pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character building). Demikian pula Wage Rudolf Supratman dalam lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya, "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya". Cuplikan lirik ini mengandung kearifan dan panduan bagi proses pembangunan nasional. Dua aspek yang berkaitan erat, tidak dapat dipisahkan, dan harus dibangun berkeseimbangan, yaitu jiwa dan badan.

Yang dimaksud dengan jiwa oleh WR Supratman dapat diinterpretasikan sebagai "budaya bangsa", sedangkan badan merupakan sistem dan struktur dari berbagai aspek, seperti politik, ekonomi, hukum, dan pertahanan. Juga pasti bukan sebuah kebetulan kalau pembangunan jiwa dinyatakan lebih dulu daripada pembangunan badan, bukan sebaliknya.

Dalam proses pembangunan atau transformasi, masalah akan muncul manakala pembangunan antara jiwa dan badan tak seimbang. Penekanan yang berlebihan pada jiwa tanpa memerhatikan badan berakibat pada mubazirnya hasil pembangunan, yaitu budaya bangsa yang sudah baik. Dalam arti, tidak dapat diimplementasikan dalam mekanisme kehidupan sosial bahkan bisa terkikis atau melorot kembali.

Sebaliknya, jika perhatian terlalu dipusatkan pada pembangunan badan dan kurang perhatian pada jiwa, akan menyuburkan materialisme, hedonisme, korupsi, fanatisme golongan yang mengedepankan kepentingan kelompok jangka pendek bahkan kepentingan perorangan, serta orientasi kekuasaan yang berlebihan. Akibatnya, akan banyak energi dihabiskan bagi perbedaan pendapat bahkan konflik.

Diskursus di atas menggambarkan pentingnya pembangunan jiwa atau budaya bangsa dalam proses pembangunan nasional. Diletakkannya kata jiwa mendahului badan mengandung arti bahwa pembangunan budaya bangsa harus diprioritaskan atau diletakkan di atas kepentingan pembangunan aspek lainnya.

Konsep strategi

Pembangunan budaya bangsa harus diarahkan pada satu tujuan yang menjadi cita-cita nasional, yaitu tatanan yang mengandung nilai, paradigma, dan perilaku kolektif unggul. Semua itu harus membudaya dalam kehidupan bangsa sedemikian rupa sehingga menjadi "jati diri bangsa". Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah jati diri yang harus dituju dalam proses pembangunan budaya bangsa, yaitu tatanan masyarakat/bangsa yang "religius, apresiatif terhadap nilai kemanusiaan, nasionalis, demokratis, adil dan makmur".

Untuk menentukan strategi yang tepat dalam pencapaian tujuan, terlebih dulu harus dipahami budaya yang berkembang di kalangan bangsa Indonesia, khususnya yang menjadi keunggulan dan kelemahannya. Dalam konteks ini, apabila kita mengacu pada nilai yang terkandung dalam mukadimah UUD 1945, maka dapat dipahami bahwa "kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi" merupakan keunggulan bangsa.

Para founding fathers menjadikannya sebagai nilai yang harus diacu dalam kehidupan bernegara-berbangsa dan bermasyarakat. Nilai tersebut digali dari kearifan lokal yang sudah lama berkembang di berbagai kalangan masyarakat di Nusantara. Toleransi, misalnya, dapat dikatakan semua kalangan masyarakat Nusantara memiliki toleransi tinggi. Oleh karena itu, ketika agama Buddha, Hindu, Islam, dan Kristen masuk ke Nusantara, sangat sedikit (kalau tidak dapat dikatakan nihil) terjadinya gejolak. Tidak seperti di Eropa atau Timur Tengah yang tiada henti dilanda konflik bahkan perang dengan latar belakang agama.

Namun, dampak dari berkembangnya liberalisme-individualisme, di Indonesia berkembang pula materialisme, hedonisme, dan pragmatisme sehingga toleransi pun terkikis bahkan di beberapa tempat hampir punah. Maka tak heran kalau dalam dekade terakhir berkembang anarkisme yang di beberapa daerah, seperti Ambon dan Sulteng, terjadi konflik yang menelan banyak korban.

Begitu juga dengan kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah-mufakat. Hal itu sudah berabad-abad hadir menjadi jati diri masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Karena itu, tercipta persaudaraan, keamanan, kedamaian, keadilan, dan kemakmuran.

Untuk memahami kelemahan bangsa, kita perlu mengacu pendapat Profesor Koentjaraningrat. Ia mengatakan, ciri negatif budaya bangsa kita antara lain feodal, rendah diri, malas, munafik, dan suka mencari "kambing hitam". Karena itu, berkembangnya liberalisme dan individualisme sangat memengaruhi aspek kelemahan bangsa.

Hanya, kalau yang terjadi pada aspek keunggulan adalah "erosi", sebaliknya pada aspek kelemahan justru terjadi "promosi". Sebagai contoh, feodalisme yang berujung pada "status sosial", yaitu diperolehnya kedudukan dan materi, justru terpromosi. Akibatnya, perkembangan budaya bangsa dari era ke era diwarnai oleh tumbuhnya KKN, nafsu berburu kedudukan, kekuasaan, dan materi. Terlebih pada era reformasi di mana kebebasan dan demokratisasi dipromosi tanpa rambu- rambu yang memadai dan tanpa melihat realita di masyarakat.

Berdasar pada pemikiran itu, maka konsep strategi pembangunan budaya nasional adalah "upaya mengangkat aspek keunggulan dan mengeliminasi aspek kelemahan bangsa". Caranya, membenahi dan membangun "sistem pendidikan, sistem informasi, dan sistem hukum".

Sasaran antara atau jangka pendek upaya ini adalah terbentuknya "nasionalisme, disiplin, etos kerja, dan meritokrasi" di kalangan masyarakat. Dengan disiplin, etos kerja dan meritokrasi yang baik akan diperoleh kelancaran dan percepatan dalam proses selanjutnya.

Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan pembangunan budaya bangsa. Karena itu diperlukan kepemimpinan yang kuat, bersih, berani mengambil keputusan dan risiko, serta teladan. Dengan kata lain, kepemimpinan yang berkarakter. Keberhasilan Amerika, China, Malaysia, dan Singapura dalam proses pembangunan nasionalnya adalah sebagian besar karena peran kepemimpinan yang berkarakter.

Oleh karena itu, dalam proses pembangunan budaya bangsa, para pemimpin pada setiap lini dituntut terlebih dulu memiliki karakter dan mampu menjadi teladan. "Leadership is influence and character is power" (Maxwell), karenanya tidak pernah ada keberhasilan tanpa kepemimpinan yang berkarakter.

Terlebih lagi menghadapi kondisi negara dan bangsa Indonesia kini yang ditandai oleh berkembangnya separatisme, konflik politik dan etnik. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan kualitas kepemimpinan yang berkarakter dan harus mampu menjadi perekat masyarakat/bangsa. Janganlah kita bermimpi dengan moto "bersama kita bisa", tetapi terlebih dulu harus mampu membuktikan (kembali) bahwa "kita bisa bersama" seperti yang pernah terjadi pada 1928 dan 1945.

Hanya dengan kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong bangsa ini akan berhasil sampai pada tujuan nasionalnya. Sebaliknya, liberalisme-individualisme tidak pas bagi Indonesia yang ekstra bhinneka. Oleh karena itu, kembali pada Pancasila dan platform kenegaraan seperti yang diamanahkan dalam mukadimah UUD 1945 merupakan bagian utama dari strategi pembangunan budaya bangsa.

KIKI SYAHNAKRI Ketua I Yayasan Jati Diri Bangsa

No comments:

A r s i p