Sunday, October 14, 2007

Keterwakilan Politik Perempuan di Parlemen


Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih

Dewan Perwakilan Rakyat tengah membahas revisi paket undang-undang politik. Kelompok perempuan menginginkan ada kepastian hasil revisi nanti memberi tempat secara pasti bagi keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD.

Fraksi-fraksi di DPR sudah menyerahkan daftar isian masalah (DIM) sebagai pendamping rancangan revisi yang disampaikan pemerintah. DIM tersebut sebagian besar tidak mengakomodasi aspirasi Koalisi Gerakan Perempuan yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus RUU Pemilu tanggal 18 Juli lalu.

Inti aspirasi yang disampaikan koalisi beranggotakan anggota Dewan Perwakilan Daerah, organisasi sayap perempuan parpol, Kaukus Perempuan Partai Politik, Kaukus Perempuan Parlemen, organisasi dan lembaga swadaya perempuan, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil adalah memperbaiki Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.

Ayat tersebut menyebutkan, setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan daftar calon tetap untuk anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang memuat paling sedikit 30 persen perempuan. Koalisi menginginkan kata dapat diubah menjadi wajib. Hal ini akan memastikan bahwa ada 30 persen perempuan dicalonkan sebagai anggota legislatif.

Hal lain adalah sanksi bagi parpol yang tidak memasukkan 30 persen calon perempuan. Sanksi yang diusulkan adalah penolakan daftar calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau KPU Daerah bila parpol tidak memenuhi ketentuan 30 persen calon perempuan.

Koalisi juga menginginkan sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka karena berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 sistem ini dianggap lebih menjamin keterwakilan perempuan di DPR/DPRD.

Sistem tertutup akan meminggirkan perempuan, sementara sistem daftar terbuka murni berdasarkan hasil penelitian Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia tidak menguntungkan perempuan karena tidak ada perempuan yang mendapat jatah kursi sesuai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP adalah angka yang menunjukkan harga satu kursi di satu daerah, dihitung dengan menghitung semua suara sah yang diperoleh semua parpol peserta pemilu dengan jumlah kursi DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota bersangkutan.

Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004, usulan Koalisi adalah menggunakan sistem seperti Pemilu 2004, tetapi menurunkan persentase angka BPP, yaitu bila memenuhi angka 5 persen BPP dapat terpilih sebagai anggota dewan.

DIM

Dari DIM yang sudah disampaikan fraksi-fraksi terlihat beragamnya sikap parpol terhadap keterwakilan perempuan.

Dalam diskusi DIM yang diadakan kelompok perempuan di Jakarta pekan lalu dengan narasumber Ani Soetjipto dan Sri Budi Eko Wardani dari Puskapol FISIP UI yang dihadiri organisasi dan lembaga nonpemerintah perempuan serta pengurus parpol dan anggota DPR, terlihat tidak ada parpol yang bersedia menetapkan keharusan keterwakilan 30 persen perempuan di dalam daftar calon.

Rumusan yang digunakan "harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh paling sedikit 35 persen" (F-PAN), "memerhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30 persen" (F-Kebangkitan Bangsa), dan "harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada akumulasi daftar calon di setiap provinsi" (F-Partai Golkar). Parpol lainnya mengikuti rumusan revisi RUU versi pemerintah, yaitu "harus memerhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30 persen".

Mengenai sistem pemilihan, sistem proporsional dengan daftar calon terbuka terbatas diusulkan FPG, F-PDIP, dan F-Partai Bintang Reformasi, sementara parpol lain menginginkan sistem terbuka murni.

Sistem proporsional terbuka terbatas berdasarkan kajian Puskapol FISIP UI paling akomodatif terhadap keterwakilan perempuan sebab caleg perempuan pada Pemilu 2004 terpilihan bukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi berdasarkan nomor urut.

Sedangkan pada sistem daftar terbuka murni, nomor urut atau penempatan caleg perempuan secara berselang-seling dengan caleg laki-laki (sistem zig-zag) menjadi tidak relevan karena yang akan lolos adalah caleg yang mendapat suara terbanyak dan memenuhi kuota BPP.

FPG sementara ini mengusulkan calon terpilih adalah yang memperoleh sekurang-kurangnya 25% sampai 50% BPP, sementara F-PDIP mengusulkan angka 25% dari BPP untuk DPR, 50% untuk DPRD provinsi, dan 75% untuk DPRD kabupaten/kota. Sedangkan kebanyakan parpol lain menyetujui usulan pemerintah, yaitu anggota terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Dilematis

Upaya mendorong keterwakilan perempuan di DPR melalui partai politik, menurut Ani Soetjipto, saat ini juga menghadapi dilema karena kekecewaan masyarakat pada kinerja partai politik. Hasil penelitian Saiful Mujani dari Lembaga Survei Indonesia, misalnya, memperlihatkan 65 persen publik merasa partai politik tidak mewakili aspirasi mereka untuk berbagai isu publik.

Di sisi lain, kehadiran perempuan di DPR telah memberikan beberapa hasil menggembirakan untuk kepentingan perempuan, antara lain lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Kewarganegaraan, dan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kajian di berbagai negara memperlihatkan, keterwakilan perempuan dalam jumlah 30 persen dapat menghasilkan keputusan yang lebih memerhatikan kepentingan dan pengalaman perempuan yang selama ini kurang terwakili. Persoalannya adalah meyakinkan parpol bahwa memberikan tempat kepada perempuan akan baik untuk parpol, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat.

No comments:

A r s i p