Monday, October 22, 2007

Sebelum Sirna


Agus Suwignyo

Pemerintah boleh saja terus menyerukan agar bangsa ini tidak pesimistis menghadapi problematika sehari-hari yang kian berat. Namun, pesimisme tidak datang tiba-tiba. Teringkarinya janji-janji perbaikan kualitas hidup telah memupus harapan demi harapan dan membuahkan kekecewaan.

Awalnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) menumbuhkan harapan guru atas jaminan peningkatan kesejahteraan, profesionalisme, dan kebebasan berserikat. Sepenggal waktu berlalu tanpa perubahan nyata, guru mulai kecewa. UUGD bermakna "ujung-ujungnya gitu doang".

Harapan guru kembali bersemi ketika (akhirnya) sertifikasi dimulai. Namun, pelaksanaan sertifikasi telah menebarkan gelagat kekecewaan baru.

Berita-berita Kompas dan media lain menggambarkan, menjelang pelaksanaan sertifikasi 2007, sejumlah guru mengeluhkan adanya diskriminasi dan sempitnya waktu persiapan sehingga beberapa (ditengarai) melakukan kecurangan administrasi. Setelah hasil evaluasi diumumkan, guru-guru yang tidak lulus resah akibat kesimpangsiuran informasi tentang nasib mereka selanjutnya. Namun, guru-guru yang lulus pun dipaksa bersabar mengingat pemerintah baru akan memberikan tunjangan profesi setelah selesai memverifikasi data-data kepegawaian mereka.

Apatisme

Berbagai persoalan itu menunjukkan dua hal. Pertama, kelancaran pelaksanaan sertifikasi guru 2007 tampaknya belum membawa guru kepada kepastian profesi dan kesejahteraan dalam waktu dekat.

Kedua, tarik-ulur dan kesenjangan yang terus terjadi antara harapan dan kenyataan tidak saja melemahkan moral profesi guru, tetapi juga berpotensi mengaburkan visi sertifikasi sebagai upaya pemberdayaan guru sebagaimana diamanatkan UUGD.

Karena itu, sebelum harapan para guru sirna dan berubah menjadi pesimisme kronis, yaitu apatisme, janji-janji perubahan seperti diamanatkan UUGD harus segera diwujudkan.

Program sertifikasi menjadi titik kritis kepercayaan para guru pada keseriusan pemerintah dalam melaksanakan amanat UUGD. Namun, gelagat kekecewaan memaksa guru-guru itu agar tidak lekas puas dengan janji-janji. Di sisi lain, berbagai masalah sertifikasi guru adalah peringatan agar pemerintah segera mencari penyelesaian tuntas.

Tanpa penyelesaian segera, kepercayaan para guru dapat berbalik menjadi apatisme akibat kekecewaan berulang-ulang. Apatisme adalah hilangnya harapan, sumber imajinasi kreatif dan kekritisan guru.

Guru apatis menjalankan tugasnya sebagai rutinitas tanpa visi. Bukan hanya tidak peduli, guru apatis juga tidak memiliki semangat dan ambisi apa pun atas tujuan hidup dan tindakannya. Ia takut berharap karena harapan hanya mengempaskannya kembali kepada kekecewaan.

Bila guru apatis, ia tidak mampu mencerdaskan dan menjadi inspirasi perubahan sosial bagi murid-muridnya. Apatisme menghalangi peran guru sebagai "kunci pembaruan pendidikan".

Melucuti

Dalam Public Pedagogy and the Politics of Resistance (2003:6), Henry Giroux mengingatkan, pengikisan peran guru sebagai agen perubahan berlangsung lewat upaya-upaya halus yang "melucuti keberdayaan" mereka sebagai sumber inspirasi murid-muridnya.

Berbagai upaya itu berbentuk prosedur dan standar evaluasi profesionalitas guru yang tolok ukurnya terlalu intangible, pengelolaan berdasar tujuan yang seragam tanpa memperhitungkan karakter keragaman, dan birokratisasi persyaratan berkedok prinsip akuntabilitas.

Dalam kerangka pemikiran Giroux, ketidakpastian agenda sertifikasi, penundaan pemberian tunjangan profesi, ketidakjelasan informasi, dan persyaratan pemenuhan komponen portofolio yang sama untuk guru-guru dengan kondisi beragam dari Sabang sampai Merauke dapat dibaca sebagai langkah melemahkan mental dan melucuti keberdayaan guru.

Dikembalikan

Uraian ini mau menegaskan, sertifikasi guru sebaiknya dikembalikan kepada esensi utama seperti diamanatkan UUGD, yakni pemberdayaan guru. Konkretnya, sederhanakan persyaratan dan prosedur sertifikasi pada angkatan-angkatan awal dan segera berikan tunjangan profesi demi mengangkat moral dan kebanggaan profesional guru!

Sertifikasi adalah bagian perwujudan jaminan UUGD tentang kesejahteraan, profesionalisme, dan kebebasan berserikat guru. Dengan jaminan-jaminan itu hendak dipastikan, kekritisan dan daya gebrak guru sebagai agen perubahan sosial dan sumber inspirasi murid tidak terhalangi perut lapar, kebekuan pikiran, dan kebuntuan berekspresi.

Jadi, sertifikasi guru, tunjangan profesi, dan kebebasan berpendapat bukanlah tujuan di dalam dirinya. Itu semua komponen keberdayaan guru sebagai agen perubahan sosial. Masalahnya sekarang, sejauh mana pemerintah (dan para guru) mampu menghidupi semangat di balik jaminan-jaminan UUGD itu?

Lepas dari semua itu, berbagai persoalan sertifikasi itu menguatkan wacana lama tentang urgensi akreditasi program sertifikasi dan pendidikan guru (Kompas, 3/2/2006).

Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam

No comments:

A r s i p