Saturday, October 27, 2007

Mengelola Keindonesiaan


Yonky Karman

Sumpah Pemuda adalah lompatan besar dalam Indonesia modern. Sebelum itu, etnonasionalisme dan nasionalisme religius mengkristal dalam ragam organisasi kepemudaan.

Dialektika ragam nasionalisme menghasilkan kesadaran baru yang melampaui primordialisme.

Pemisahan suatu golongan dari golongan lain berdasar unsur primordial melemahkan persatuan. Maka, identitas kelompok lebur dalam kebangsaan. Kekitaan melampaui kekamian. Keragaman suku, agama, dan bahasa menyatu dalam keindonesiaan.

Dinamika keindonesiaan

Sumpah Pemuda pengejahwantahan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di situ diakui keragaman sebagai realitas, tetapi tidak demikian dengan kesatuan. Satu dan banyak adalah paradoks (contradictio in termini). Semboyan itu menggariskan Indonesia yang hidup dalam dinamika antara satu dan banyak.

Realitas keindonesiaan bukan ika. Maka, kesatuan tidak boleh mengorbankan keragaman. Bangsa bukan subordinat mayoritas atau tirani minoritas. Namun, realitas keindonesiaan bukan bhinneka. Maka, keragaman tidak boleh mengorbankan kesatuan. Penonjolan etnisitas mengerdilkan keindonesiaan. Sifat transnasional agama dapat mendekonstruksi bangsa dan mengaburkan keindonesiaan.

Sumpah Pemuda menggagas spirit keindonesiaan sekaligus membidani kelahiran bangsa. Sebagai bangsa, Indonesia sudah ada sebelum proklamasi. Realitas keindonesiaan bukan etnisitas, bukan kemelayuan, bukan agama tetapi bangsa.

Namun, bangsa sebuah konstruk sosio-historis yang unik. Keindonesiaan seperti ada dan tiada. Pendefinisian mereduksi dan mempersempitnya. Keindonesiaan adalah gagasan sekaligus karya yang belum selesai (a work in progress). Ia bukan realitas sudah jadi, tetapi proyek kekitaan. Indonesia in the making, bukan in waiting. Maka, masalah kebangsaan adalah menguatkan keindonesiaan lewat etika berbangsa.

Etika berbangsa

Operasional etika berbangsa pada tataran horizontal dan vertikal. Benedict Anderson berbicara tentang a deep horizontal membership, perasaan sebagai warga negara (Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, 7). Keindonesiaan melemah saat orang Jawa merasa lebih Indonesia atau saat orang Tionghoa merasa warga kelas dua saat menghadapi klaim kepribumian.

Negara paling bertanggung jawab dalam mengawal konsistensi etika berbangsa agar hak-hak warga tak terpinggirkan karena alasan primordial atau karena negara memihak pemodal. Negara bertanggung jawab atas rasa bangga warga menjadi Indonesia. Warga dapat menegakkan kepala ketika di luar negeri dan tidak dicurigai sebagai pekerja ilegal.

Kita emosional saat pelatih karate atau pejabat Indonesia dipermalukan di luar negeri, tetapi tidak tersentuh saat tenaga kerja wanita Indonesia jadi korban kesewenangan. Nasionalisme kita bias jender, berorientasi feodal. Nasionalisme kita juga bukan perasaan benar salah adalah negeriku, tetapi wujud patriotisme.

Dulu cinta bangsa dan Tanah Air tumbuh spontan. Negara bertanggung jawab menumbuhkembangkan. September lalu, Wapres Jusuf Kalla memerintahkan agar pejabat imigrasi Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, dipecat karena memeras turis Australia. Mengapa kemarahan seperti itu tidak muncul di Cengkareng saat pahlawan devisa diperas lewat berbagai pungutan? Mengapa kemarahan seperti itu tidak muncul di banyak kantor pemerintahan yang memberi layanan publik buruk?

Kita heboh pulau terluar hingga lagu daerah diserobot negeri serumpun. Pada saat sama, batik, songket, wayang kulit, dan Asam Jawa kehilangan asal-usul Indonesianya. Dalam sebuah promosi online sebuah perusahaan herbal luar negeri menyebut temulawak tanaman asli Indonesia yang hanya tersebar di Jawa, Bali, NTB, dan Maluku Selatan dikatakan dari India, China selatan, Afrika, dan Asia tenggara.

Yaya Rukayadi, penyandang S-3 dari IPB, menjadi peneliti senior dan pengajar di Universitas Yonsei, Seoul, Korea Selatan. Ginseng Indonesia itu ternyata bermanfaat sebagai antiketombe, pasta gigi, dan mungkin dapat mengatasi kanker.

Patriotisme

Negara-negara maju mengiklankan diri sebagai tujuan berimigrasi dengan tawaran status permanent resident dan karier. Namun, banyak pekerja sosial asing yang mengabdi bertahun-tahun di pedalaman Indonesia tetap mengurus izin bekerja dengan rantai birokrasi berbelit-belit dan biaya tinggi.

Patriotisme seharusnya terungkap dalam cinta produk dalam negeri. Kini kita tidak cuma dibanjiri produk impor, tetapi memburunya karena terobsesi merek. Dalam hal cinta produk dalam negeri, kita perlu meneladani bapak bangsa India dan para pemimpinnya. Para (mantan) pejabat kita memboroskan devisa dengan pergi ke Singapura hanya untuk cek kesehatan.

Etika berbangsa juga mencakup panggung politik agar bermartabat dan mendidik. Yang mengabdi untuk bangsa patut dihormati, tetapi yang merugikan harus dipinggirkan. Slogan "korupsi membunuh bangsa" bukan untuk pencitraan pemerintah, tetapi untuk menegakkan etika berbangsa. Proses pembunuhan itu harus dihentikan tanpa tebang pilih. Kerugian negara adalah kerugian bangsa. Koruptor mengisap darah rakyat.

Wacana Indonesia Baru mengasumsikan Indonesia yang ada sudah menua. Di tangan para abdi kekuasaan, harapan untuk perbaikan kualitas bangsa tak kunjung tiba. Mereka tidak muncul sebagai pemimpin berkarakter dan berkualitas, tetapi lebih karena kekurangan pemimpin lain. Mereka sering menjadi pemecah belah persatuan bangsa.

Harapan untuk perubahan bangsa akhirnya terpulang kepada diri sendiri. Apakah kita tetap membiarkan diri menjadi masyarakat yang mudah menaruh simpati sekaligus mudah kecewa (mellow society)? Apakah kita membiarkan negeri tetap salah urus? Apakah kita mau memperbaiki nasib sendiri? Dengan bersatu hati, kita akan terhindar dari menjadi bangsa pinggiran.

Yonky Karman Rohaniwan

No comments:

A r s i p