Thursday, October 11, 2007

Kesehatan Mental yang Merana

K O R U P S I

Nalini Muhdi

Bagaimana dengan bom bunuh diri yang dilakukan para teroris? Sangat mungkin itu adalah perilaku bunuh diri murni yang dibungkus dalih agama. Banyak kaum radikal yang ternyata mengalami kehidupan depresif sebelumnya. Hal itu diungkap seorang pembicara dari Pakistan dalam kongres dunia tentang prevensi bunuh diri di Irlandia awal September lalu. Audiensi terenyak.

Pernyataan itu mengingatkan, masalah terorisme tidak bisa hanya diselesaikan lewat pendekatan keamanan dan keagamaan. Konyol rasanya bila kita masih menafikan pendekatan multifaktorial sebagai acuan aneka persoalan di negeri ini. Kesehatan mental, salah satunya, sering tak dilihat sebagai faktor yang mendesak diselesaikan. Padahal berbagai masalah yang menyiratkan menurunnya kualitas hidup sering mengalir dari pusaran ini.

Ambil contoh, angka kejadian bunuh diri yang meningkat di seluruh dunia, termasuk di Pakistan, yang 97 persen penduduknya beragama Islam dan dianggap "patuh" menjalankan ajaran agama. Kenyataannya, angka kejadian bunuh diri melonjak dari kisaran ratusan menjadi ribuan per tahun dan dalam satu dekade terakhir, lebih dari sepuluh kali. Padahal Islam sudah memberi aturan hukum yang jelas dan teruji sebagai alat penangkal (deterrent) yang potensial mencegah perilaku bunuh diri.

Sebuah studi panjang membeberkan rendahnya angka bunuh diri di kalangan penduduk Muslim dibandingkan dengan non-Muslim, dan ditengarai kuat, Islam merupakan faktor independen sebagai alat pencegah tindakan mengakhiri hidup ini (Sampson & Conklin, 1989). Namun, mengapa lantas berubah?

Apa daya, di tengah gemuruh globalisasi yang mengubah tatanan sosial-ekonomi dunia yang menuntut sikap proaktif, gerak cepat, dan kompetitif, mereka yang menggunakan agama sebatas ketaatan ritual dan superfisial (tidak meresap menjadi inner quality) akan tergilas zaman menjadi kaum marjinal. Mereka gamang dan takluk berhadapan dengan deterioriasi kehidupan sosioekonominya. Ada ketidakberdayaan, memilih menghindar, atau melarikan diri dari masalah, lalu terjerembab ke dalam kubangan depresi yang bisa jadi memunculkan ide kematian untuk diri sendiri atau orang lain.

Menghadapi kondisi ini, di tengah kemiskinan dan kebodohan, ditambah kondisi kesehatan mental yang buruk, Pakistan ternyata masih mempertahankan anggaran pertahanan keamanan jauh di atas anggaran kesehatan ataupun pendidikan.

Budaya tak antisipatif

Bagaimana di Indonesia? Rasanya tak jauh berbeda. Negeri ini mempunyai kemiripan dengan Pakistan, terutama kesamaan agama dan budaya yang menganggap bunuh diri sebagai perilaku amat negatif, apa pun alasannya. Namun, kita baru merasakan, belum bisa melihat angka pasti, karena kita selalu lemah dalam penelitian Sekali lagi, kita kurang mempunyai "budaya" antisipatif yang rasional.

Coba tengok, meski lebih unggul daripada Pakistan, pada tahun 2007, untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya memberi anggaran 2,26 persen dari APBN, kurang dari separuh jumlah anggaran Departemen Pertahanan dan Polri. Belum lagi dana yang dialirkan untuk kesehatan mental yang dapat diduga cuma mendapat porsi amat mungil. Padahal WHO dan Bank Dunia sudah wanti-wanti, beban utama penyakit (the global disease burden) di seluruh dunia pada tahun 2020 akan bergeser pada masalah kesehatan mental (terutama depresi) yang berlomba dengan penyakit jantung dan pembuluh darah. Dan Indonesia mendapat sorotan tajam karena kerentanannya. Kapan kita mulai bergerak nyata? Ini masalah bangsa ke depan yang sekarang pun mulai terasa gejalanya.

"Penyakit" korupsi, misalnya, jarang dilihat sebagai masalah kesehatan mental yang serius. Pelaku korupsi adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan meraih prestasi kemanusiaan dan memilih jalan pintas sebagai cara menyelesaikan masalah, mirip mekanisme perilaku bunuh diri. Dari perspektif lain, korupsi merupakan salah satu bentuk delinquency yang mengandung unsur kekerasan tersamar terhadap kemanusiaan.

Soal lain, pendekatan budaya kita yang cenderung melihat penyebab suatu masalah atau penderitaan selalu ada di luar dirinya. Pola pikir primitif model "menyalahkan hal di luar dirinya" sudah ada sejak dulu. Di Jawa, misalnya, mencari penyebab bencana atau pagebluk bersumber pada obyek lain yang bisa disalahkan. Bukannya mencari akar masalah "dari dalam" yang mungkin disebabkan perilaku hidup masyarakat yang tidak sehat. Banyaknya bencana akhir-akhir ini juga sering disikapi dengan menyalahkan keadaan atau sebaliknya menyalahkan diri berlebihan (self-blame). Sikap mengantisipasi keadaan pun terlambat.

Tentang kesurupan

Tak dapat dimungkiri, ketika sedang mengalami penderitaan, orang cenderung lebih lengket dengan budaya atau keyakinan dan nilai-nilai yang sudah akrab sebelumnya dibandingkan dengan saat dalam kondisi biasa. Misalnya, bagaimana menyikapi fenomena kesurupan yang melanda remaja dan menggejala di seluruh negeri, pendekatan mistik-agama lebih menonjol. Padahal dasarnya adalah masalah kesehatan mental yang tak sepele.

Hal ini diperparah tayangan media (terutama televisi) yang kerap tidak memberi pencerahan wawasan. Atau membanjirnya suguhan tayangan yang justru mempercepat pembodohan masyarakat dengan membangun persepsi keliru pada hal-hal yang seharusnya bisa dijabarkan dengan akal sehat.

Padahal peran media amat penting. Mengacu teori pembelajaran sosial, sebenarnya media mampu mengubah dan membentuk persepsi baru dengan menghadirkan model yang bisa diidentifikasi masyarakat (sebagai imitator) serta bisa memperkuat atau memperlemah perilaku tertentu di masyarakat. Dengan paparan informasi terus-menerus, media amat ampuh berfungsi sebagai kontrol sosial sekaligus mengenalkan perilaku baru yang lebih positif.

Kesehatan mental tak urung menjadi mitra yang semestinya ditengok bagi penyelesaian komprehensif masalah bangsa yang kian karut-marut, bukan menjadi anak tiri seperti sekarang ini. Inilah refleksi bagi Hari Kesehatan Jiwa Sedunia hari ini.

Nalini Muhdi Psikiater dan Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Pusat dan Surabaya

No comments:

A r s i p