Sunday, October 7, 2007

Optimalkan Momentum Melawan Korupsi

J KRISTIADI

Corruptio Optimi Pesima
(Terjemahan bebas: Pembusukan moral dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah perbuatan yang paling jelek)

Komisi Yudisial memang sial. Salah satu anggotanya, Irawady Joenoes, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia adalah Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim.

Sungguh ironis, tugas mulia itu ternyata disalahgunakan melalui perbuatan yang seharusnya tabu dia lakukan. Oleh sebab itu, masyarakat, selain tersentak, juga sangat kecewa mengingat publik mempunyai ekspektasi terhadap peran Komisi Yudisial dalam memperbaiki kinerja lembaga peradilan, yang di mata masyarakat sudah semakin jatuh martabatnya.

Jatuhnya martabat lembaga peradilan itu antara lain oleh perilaku aparat peradilan yang tidak pantas dan bertentangan dengan rasa keadilan, seperti merebaknya isu mafia peradilan, merajalelanya jual beli perkara, dan kasus suap di Mahkamah Agung.

Padahal, alam bawah sadar masyarakat masih belum siuman benar karena beberapa hari sebelumnya terperangah oleh laporan Bank Dunia melalui Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative atau Prakarsa Pengambilan Aset Curian yang menyebutkan mantan Presiden Soeharto, selama berkuasa, telah mencuri kekayaan negara sebesar 15 miliar-35 miliar dollar AS.

Kasus korupsi lain yang tidak kalah tragisnya adalah dugaan pencurian uang para prajurit yang dikumpulkan melalui PT Asabri (Asuransi ABRI) oleh perwira tinggi yang seharusnya bertugas mengurus kesejahteraan prajurit.

Bisnis militer semacam itu masih dilakukan mengingat anggara belanja negara belum mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajuritnya, yang dalam melaksanakan tugasnya kadang berisiko kematian.

Gaji prajurit yang sudah sangat terbatas itu, dan masih dikurangi untuk disetorkan sebagai jaminan kesejahteraan, justru disalahgunakan komandannya. Harga yang harus dibayar bukan hanya kerugian materi sekitar Rp 400 miliar, tetapi juga kemerosotan moral prajurit menyaksikan perwira tingginya sudah mati hati nuraninya.

Pucuk gunung es

Beberapa kasus itu sebenarnya merupakan pucuk gunung es dari masalah korupsi yang ibaratnya telah berakar dalam pada sistem kehidupan sosial dan negara. Hampir tak ada institusi negara yang tidak dihinggapi penyakit perusak masyarakat bernama korupsi tersebut.

Oleh karena itu, membicarakan korupsi di Indonesia seperti sudah kehabisan kata-kata. Air mata pun sudah kering. Korupsi dilakukan mulai dari kelas teri, seperti absensi pada rapat-rapat di departemen pemerintah, sampai dengan deal politik di lembaga perwakilan rakyat pusat dan daerah yang berbau politik uang.

Yang paling mengenaskan, korupsi dilakukan di tengah keputusasaan masyarakat menghadapi kesulitan hidup. Setiap hari kita menyaksikan antrean panjang warga untuk sekadar mendapatkan 0,5 liter minyak tanah, 1 liter minyak goreng, ataupun sekaleng air.

Namun, hal itu tidak berarti bahwa tidak terdapat kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi. Beberapa tahun terakhir ini, meskipun masih terdengar tuduhan tebang pilih, pengungkapan kasus-kasus korupsi para pejabat pemerintahan di tingkat daerah maupun di pusat telah menciptakan suasana positif bagi peningkatan upaya melawan korupsi.

Momentum seperti ini harus dimanfaatkan secara maksimal agar korupsi benar-benar menjadi musuh bersama yang harus dibasmi.

Mengingat kompleksnya upaya memerangi korupsi, strategi jangka panjang yang sangat penting adalah mengendalikan daya rusak kekuasaan, sebab sumber korupsi adalah kekuasaan.

Kekuasaan mempunyai dua wajah: memesona dan menakutkan—fascinatum et tremendum— (memesona karena kekuasaan itu nikmat luar biasa, tetapi sekaligus juga menakutkan karena kekuasaan mempunyai daya rusak yang sangat dahsyat). Oleh karena itu, para pemburu kekuasaan kadang-kadang menghalalkan cara untuk memperoleh kekuasaan.

Akibatnya, hampir tidak mungkin penguasa tidak memiliki kecenderungan korupsi kalau mereka tidak dikontrol atau diatur lembaga pengawas yang sama kuatnya dengan pemilik kekuasaan tersebut.

Dengan demikian, membangun struktur kekuasaan yang memungkinkan lembaga kekuasaan saling mengawasi mutlak perlu dilakukan.

Sejalan dengan itu pula, agenda yang sangat mendesak dewasa ini adalah membentuk Lembaga Perlindungan Saksi yang akan sangat membantu pengungkapan kasus-kasus korupsi yang rumit.

Berawal dari parpol

Pemberantasan korupsi harus dilakukan lebih dulu pada partai politik, lembaga yang berfungsi memproduksi calon-calon penguasa negara. Upaya tersebut antara lain melalui penanaman nilai-nilai dan budaya kekuasaan, agar para kader partai secara intrinsik mempunyai kemampuan mengendalikan diri terhadap godaan kekuasaan.

Agenda berikutnya adalah reformasi birokrasi, termasuk pendidikan yang baik, gaji yang baik, dan pembinaan yang baik. Namun, mengingat agenda tersebut memerlukan waktu yang cukup lama, sebelum semua agenda tersebut dapat dilakukan, keteladanan para pemimpin sangat diperlukan, terutama dalam hal pengendalian diri terhadap nafsu memburu harta kekayaan.

Bukankah orang yang sesungguhnya kaya adalah mereka yang dapat membatasi kebutuhannya?

No comments:

A r s i p