Wednesday, October 17, 2007

Calon Presiden


Ketika Popularitas Figur Menjadi Sangat Penting...

M Hernowo

Keresahan yang sekarang banyak dilontarkan dalam pembicaraan tentang siapa saja yang mungkin akan mengikuti Pemilihan Presiden 2009 adalah mengapa dari sejumlah calon yang telah disebut belum ada wajah baru? Mengapa kaderisasi dalam bidang ini terkesan seret?

Pertanyaan itu sebenarnya cukup serius. Sebab, dari calon yang kini banyak disebut, hampir semua muka lama dengan umur sekitar 60 tahun. Mereka, antara lain, adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Amien Rais, Wiranto, hingga Megawati Soekarnoputri dan KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, dua yang disebut terakhir merupakan mantan presiden.

Bukan tokoh baru

Belakangan ini memang muncul nama Sutiyoso. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga tidak dapat disebut tokoh baru. Bahkan, dalam karier militer dan usia, dia lebih senior dibandingkan dengan Presiden Yudhoyono. Ketika menjadi Pangdam Jaya pada tahun 1996-1997, Sutiyoso yang merupakan lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1968 ini bahkan pernah menjadi atasan Yudhoyono yang merupakan lulusan AMN tahun 1973.

Sultan Hamengku Buwono X yang mulai disebut juga tidak dapat sepenuhnya disebut tokoh baru karena kemunculannya sudah terlihat sejak hiruk pikuk reformasi tahun 1998.

Keresahan tentang belum adanya tokoh baru ini muncul karena untuk bidang lain, seperti bisnis dan pendidikan, sudah banyak muncul muka baru yang umumnya muda. Bahkan, mereka mulai menguasai rongga opini di sejumlah media.

Kerinduan terhadap munculnya tokoh baru makin menguat karena kehadiran mereka juga akan merepresentasikan harapan baru di masyarakat. "Harapan baru ini menjadi penting karena tokoh-tokoh lama yang sekarang masih muncul lagi itu ketika berkuasa ternyata kurang berhasil mewujudkan agenda reformasi. Ini terlihat dari perjalanan demokrasi yang masih tertatih-tatih dan ekonomi yang belum juga membaik," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.

Beberapa partai politik, lanjut Qodari, sekarang sebenarnya sudah memiliki tokoh-tokoh baru yang masih muda dan berpikiran ke depan. Mereka, misalnya, Budiman Soedjatmiko di PDI-P atau Dradjat Wibowo dari Partai Amanat Nasional. Tokoh yang berada di luar partai juga banyak, seperti Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan atau Direktur Eksekutif Reform Institut Yudi Latif.

Namun, lanjut Qodari, tokoh-tokoh muda itu masih belum memiliki jalan untuk tampil ke depan. Dengan demikian, dia mengangankan adanya koalisi baru dari berbagai kalangan dengan sebuah konsensus, yaitu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada berbagai anak muda untuk tampil.

Sementara itu, Indra Jaya Piliang dari Centre for Strategic and International Studies mensinyalir, belum munculnya nama baru dari kalangan anak muda ini juga dikarenakan kurang gigihnya mereka untuk merebut posisi yang ada. Bahkan, Indra menilai keaktifan gerakan orang muda sekarang jauh berkurang jika dibandingkan dengan tahun 1999-2004.

Akan tetapi, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA berpendapat, sulitnya memunculkan tokoh muda lebih disebabkan oleh sistem politik kita yang masih mementingkan popularitas dibandingkan dengan faktor lain, seperti kompetensi. "Dalam pemilihan langsung di Indonesia, mereka yang akan memenangi persaingan adalah yang dikenal, disukai, dan dianggap pantas oleh para pemilih," kata dia.

Keadaan itu, antara lain, karena sekitar 65 persen dari 150 juta lebih orang yang berhak memilih presiden berpendidikan SMP ke bawah. Faktor lain, seperti budaya patron client, membuat pilihan seseorang ditentukan oleh pendapat orang yang menjadi panutannya.

Pentingnya faktor popularitas ini, lanjut Denny, terlihat di berbagai pemilihan kepada daerah, yang sekitar 65 persen di antaranya dimenangkan calon incumbent. Ini terjadi karena mereka relatif lebih banyak dikenal masyarakat.

Mengemas penampilan

Sistem yang mementingkan popularitas ini yang membuat calon dari kalangan anak muda belum dapat tampil dalam bursa calon presiden belakangan ini. Sebab, mereka belum punya cukup waktu, momentum, dan mungkin juga biaya untuk mengemas penampilannya agar dapat dikenal masyarakat.

Popularitas juga tidak dapat diraih hanya dengan tampil di media massa karena belum semua warga Indonesia mengonsumsi media. Untuk populer, seseorang juga harus melakukan hal lain, seperti mengunjungi berbagai daerah, memberi bantuan, punya pengikut, dan sedikit visi.

Berbagai syarat untuk mendapatkan popularitas tersebut, terutama dalam bursa calon presiden, untuk saat ini terutama dimiliki oleh ketua umum partai politik, mereka yang pernah menduduki jabatan penting seperti menteri dan gubernur, atau bahkan selebriti terkenal.

Namun, menurut Qodari, popularitas dan kompetensi setiap calon dapat berjalan beriringan. Ini terlihat dari sikap masyarakat yang enggan memilih orang yang dinilai telah gagal dan selalu mencari calon yang kompeten meski mungkin mereka belum tahu siapa itu. Keadaan ini yang membuat umur pemerintahan setelah Orde Baru sampai sekarang belum ada yang lebih dari lima tahun.

"Jika sudah tiga atau empat kali pemilu, peran kompetensi ini akan makin kuat dan mengalahkan calon yang semata-mata mengandalkan popularitas," kata dia. Dalam kondisi seperti itu, wajah-wajah baru dengan visi yang lebih segar dan maju akan lebih mudah muncul.

Masalahnya, Pemilihan Presiden 2009 baru akan menjadi pemilihan langsung yang kedua kalinya. Dengan demikian, apakah dalam pilpres itu memang belum saatnya muncul tokoh baru?

No comments:

A r s i p