Monday, October 22, 2007

Kepercayaan Publik Semakin Pupus


Sultani

Apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono setahun terakhir ini kian jelas memperlihatkan tanda-tanda kejenuhan. Publik semakin apatis terhadap berbagai langkah pemerintah memperbaiki kondisi bangsa. Antusiasme terhadap kinerja pemerintahan mengalami stagnasi, naik tidak, turun juga tidak.

Memasuki usia pemerintahan Presiden Yudhoyono ke-36 bulan atau tiga tahun ini relatif tidak ada kebijakan konfrontatif yang dikeluarkan. Tidak ada penentangan terhadap pemerintah sehingga nyaris tidak ada gejolak yang berarti di masyarakat. Pemerintah berjalan dengan aman-aman saja karena hampir tidak ada terobosan yang benar-benar progresif untuk memperbaiki kondisi bangsa.

Gaya kepemimpinan seperti inilah yang membuat publik enggan untuk memberikan kepercayaan yang lebih tinggi lagi kepada pemerintahan ini. Keengganan ini tercermin dari miringnya penilaian publik terhadap gaya kepemimpinan Presiden Yudhoyono dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.

Fenomena ini terungkap dalam jajak pendapat Kompas yang secara khusus menyoroti perkembangan pemerintahan Yudhoyono-M Jusuf Kalla selama tiga tahun ini. Jajak pendapat berkala tiga bulanan ini mengevaluasi kinerja pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, penegakan hukum, dan kesejahteraan sosial.

Rupiah goyah

Isu-isu ekonomi yang menonjol selama tiga bulan terakhir ini masih berkisar soal inflasi dan kurs rupiah yang sempat goyah beberapa waktu lalu. Inflasi yang dirasakan publik ini terkait peningkatan harga sembako selama bulan puasa hingga Lebaran.

Hanya 22,9 persen responden yang merasa puas dengan kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga barang dan jasa. Sedangkan 76,2 persen responden lainnya tidak puas dengan kebijakan stabilitas harga itu.

Angka itu tidak berbeda jauh dengan sikap responden dalam jajak pendapat periode tiga hingga sembilan bulan yang lalu. Selama tiga kali penyelenggaraan jajak pendapat, terungkap hanya 20 persen responden yang puas terhadap kinerja pemerintahan Yudhoyono dalam mengendalikan harga barang dan jasa. Padahal, satu tahun lalu, mereka yang memberikan respons positif ini masih ada 30,7 persen dari seluruh responden.

Isu ekonomi lain yang masih rawan terhadap stabilitas ekonomi adalah soal kurs rupiah terhadap dollar AS. Semenjak krisis ekonomi melanda negara ini sepuluh tahun silam, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS selalu fluktuatif. Tiga presiden pendahulu Yudhoyono pun mengalami soal yang sama dalam stabilitas kurs rupiah ini.

Sekitar 37 persen responden sudah puas dengan kinerja pemerintah mempertahankan kondisi nilai kurs rupiah sekarang. Sedangkan 53,9 persen masih tidak puas. Kepuasan responden terhadap penguatan kurs rupiah pun mengalami stagnan selama setahun terakhir ini.

Dalam jajak pendapat periode tiga hingga sembilan bulan lalu tercatat hanya pada kisaran 30 persen responden yang puas terhadap kinerja pemerintah menguatkan kurs rupiah.

Secara umum, pandangan publik terhadap kinerja pemerintah dalam memperbaiki perekonomian bangsa saat ini tetap saja negatif. Hanya berkisar satu dari tiga (33,6 persen) responden yang memberikan apresiasi positif pada langkah pemerintah di bidang ekonomi. Lebih dari separuh yang lain (65,3 persen) mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah memperbaiki perekonomian selama tiga bulan terakhir.

Ketidakpuasan ini juga terekam dalam jajak pendapat sepanjang tahun ini. Tampaknya belum ada kebijakan pemerintah yang signifikan di bidang ekonomi yang mampu menggebrak sentimen positif publik.

Gerakan separatis

Dalam bidang politik, gejolak gerakan separatisme yang sempat kembali mencuat beberapa waktu lalu akhir-akhir ini mengalami penurunan. Tindakan hukum yang dikenakan pemerintah terhadap para pelaku aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan di Ambon pada Juni lalu diapresiasi positif oleh masyarakat.

Begitu juga sikap akomodatif terhadap isu partai lokal yang santer di Aceh yang dinilai mampu menekan tuntutan kemerdekaan dari daerah tersebut. Sekitar 40 persen responden menghargai upaya pemerintahan Yudhoyono dalam mengatasi ancaman perpecahan bangsa tersebut.

Sebuah peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan tiga bulan lalu ketika hanya 35,3 persen responden yang mengapresiasi kemampuan pemerintah mengatasi ancaman perpecahan bangsa.

Dalam hubungan luar negeri, pemerintahan Presiden Yudhoyono cukup mendapat kepercayaan publik. Langkah diplomasi pemerintah dalam rangka menyelesaikan kasus kekerasan yang menimpa warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia mendapat simpati yang cukup besar dari masyarakat. Simpati itu setidaknya terungkap dari 44,5 persen responden yang mengaku puas terhadap upaya diplomasi pemerintah. Meski persentase ini masih kurang dari separuh responden, ini sedikit meningkat jika dibandingkan dengan penilaian serupa tiga bulan lalu, yang anjlok hingga 39 persen.

Pemberantasan korupsi

Catatan hukum pemerintahan Yudhoyono selama tiga bulan terakhir tidaklah secemerlang prestasi yang dicapai dalam bidang politik. Kelambanan pemerintah menindaklanjuti temuan Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa soal kekayaan mantan Presiden Soeharto di luar negeri menandai ketidakseriusan pemerintah menangani perkara korupsi. Sikap Presiden Yudhoyono terhadap pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tampaknya hanya galak di awal masa pemerintahannya. Sebab, sebagian besar responden masih sinis memandang kinerja pemerintah menangani KKN. Hanya 30 persen responden yang masih memberikan apresiasi positif pada upaya pemerintah memberantas KKN.

Selain itu, masalah keamanan masyarakat masih menjadi isu yang dianggap penting oleh publik. Kendati kasus terorisme diakui jauh berkurang akhir-akhir ini, ancaman terhadap keamanan masyarakat masih belum bisa dijamin oleh pemerintah.

Sejumlah kasus penculikan anak-anak yang belakangan kerap terjadi membuat keamanan masyarakat semakin rawan karena bertambahnya ancaman kejahatan. Kendati 34,6 persen responden mengaku puas dengan kinerja pemerintah menangani kasus kriminal, 45,4 persen responden masih menganggap pemerintah belum maksimal dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Berbagai penilaian responden dalam jajak pendapat kali ini boleh jadi terkait dengan menurunnya kepercayaan publik terhadap kemampuan Presiden Yudhoyono memimpin pemerintahan. Sejak menjadi presiden tiga tahun lalu, kepercayaan publik terhadap Yudhoyono cenderung bergerak turun seiring dengan bertambahnya usia pemerintahannya. Apalagi janji selama masa kampanye kini tampaknya memang hanya tinggal janji.

Dua dari tiga responden mengakui pemerintahan Yudhoyono hingga saat ini belum bisa mewujudkan janji perbaikan di bidang ekonomi, politik, hukum, dan kesejahteraan sosial. Ironis, di kala janji itu tidak terpenuhi ada beberapa tokoh pemerintahan saat ini malah berambisi untuk mencalonkan diri menjadi presiden pada Pemilu 2009. (LITBANG KOMPAS)

No comments:

A r s i p