Tuesday, October 23, 2007

Menimbang Rapor Yudhoyono


Syamsuddin Haris

Partai Demokrat memberi nilai delapan bagi pencapaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama tiga tahun masa pemerintahannya, sedangkan PDI-P selaku partai oposisi hanya memberi nilai lima alias angka "merah" (Kompas, 20/10). Sejauh mana tingkat keberhasilan pemerintahan hasil Pemilu 2004 ini?

Hasil survei terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang popularitas para calon presiden sebenarnya sudah memberi gambaran kasar persepsi publik tentang pencapaian pemerintahan Yudhoyono. Popularitas Yudhoyono dalam survei itu—jika pemilu presiden (pilpres) dilakukan sekarang—hanya mencapai 29 persen dari total responden. Meski menduduki popularitas tertinggi dibandingkan dengan, misalnya, Megawati (19 persen), popularitas Yudhoyono jelas merosot dibandingkan dengan tingkat dukungan sebesar 62 persen atas pasangan Yudhoyono-Kalla dalam Pilpres 2004.

Meski survei LSI tidak dimaksudkan untuk menilai pencapaian pemerintah selama tiga tahun terakhir, setidaknya memberi gambaran bahwa kinerja pemerintahan di bawah Yudhoyono relatif biasa-biasa saja. Secara makro-politik, ekonomi, hukum, dan keamanan mungkin relatif berhasil daripada periode pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan Megawati (2001-2004). Meski demikian, keberhasilan itu belum sepenuhnya memenuhi harapan rakyat akan perubahan yang signifikan dan mendasar sebagaimana janji-janji politik Yudhoyono sendiri.

Fenomena antre beras murah, minyak tanah, dan minyak goreng, serta merosotnya daya beli dan kualitas kesejahteraan rakyat di tingkat akar rumput adalah gambaran paling telanjang mengenai pencapaian pemerintahan Yudhoyono. Begitu pula, hampir tak tersentuhnya kasus korupsi Suharto, sejumlah jenderal, dan konglomerat pengemplang dana BLBI, harus diakui merupakan sisi gelap keberhasilan kepemimpinan Yudhoyono. Belum lagi kasus-kasus pelanggaran HAM berat, yang umumnya melibatkan elite militer, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan aktivis HAM Munir, tetap mengambang tanpa kemajuan signifikan.

Kontribusi rakyat

Harus diakui, sebagian catatan keberhasilan pemerintahan Yudhoyono turut dikontribusikan oleh terciptanya kondisi politik domestik yang relatif stabil selama tiga tahun terakhir. Meski berasal dari Partai Demokrat yang relatif kecil, Yudhoyono berhasil membangun koalisi longgar partai-partai pendukung pemerintahannya melalui pembagian kekuasaan di dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Itu berarti, kalaupun Partai Demokrat mengklaim keberhasilan pemerintahan Yudhoyono dengan nilai "delapan", pencapaian itu tak bisa dipisahkan dari dukungan partai-partai di DPR yang lebih banyak setuju saja atas program-program pemerintahan ketimbang mengkritisi dan menawarkan kebijakan alternatif.

Meski demikian, kontribusi terbesar atas klaim keberhasilan pemerintahan Presiden Yudhoyono sebenarnya diberikan oleh mayoritas rakyat yang masih menderita, terimpit kemiskinan, dan hampir tak pernah terangkat harkat hidupnya dari keterpurukan ekonomi. Mereka yang masih didera penderitaan itu rela mengorbankan hak-haknya akan keadilan, kesejahteraan, perlindungan dari negara, dan dipihaki nasibnya oleh kebijakan pemerintah. Ironisnya, rintihan suara mereka yang tak beruntung itu sering tenggelam oleh riuh rendah dan gegap gempita elite politik yang sibuk menjajaki koalisi dalam rangka merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Kepada mereka yang masih menderita dan rela mengorbankan hak-haknya itulah pemerintah hendaknya memberi penghargaan dan terima kasih. Bukan sebaliknya, rakyat berterima kasih kepada pemerintah. Tugas negara dan aparat pemerintah yang pertama—dan utama—adalah melindungi serta melayani rakyatnya.

Tak perlu terpancing

Oleh karena itu, dalam situasi dan posisi yang tidak cukup "aman" untuk terpilih kembali, Presiden seharusnya lebih fokus mewujudkan janji-janji politik kepada rakyat ketimbang terpancing safari dan silaturahim politik calon pesaing, seperti Megawati, Jusuf Kalla, dan Sutiyoso. Apalagi reli-reli politik, baik dalam menjajaki format baru koalisi maupun pencalonan presiden alternatif di luar Yudhoyono, akan kian ramai dalam periode akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Hal itu mulai tampak, misalnya, dari safari politik Wapres Jusuf Kalla pasca-Idul Fitri, silaturahim politik yang dilakukan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali ke Megawati, geliat Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir yang menjajaki pencalonan Sultan Hamengku Buwono X dalam Pilpres 2009, serta rencana safari Megawati ke daerah-daerah.

Masalahnya, masih terlalu banyak agenda bidang ekonomi dan hukum yang perlu serius ditangani oleh Kabinet Indonesia Bersatu sebelum menepuk dada sebagai pemerintahan yang berhasil. Agenda bidang ekonomi itu tidak hanya terkait dengan pengurangan angka absolut kemiskinan yang justru meningkat dua tahun terakhir, tetapi juga mendorong percepatan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja dalam skala relatif besar.

Di bidang hukum tantangan terberat Yudhoyono adalah menegakkan keadilan tanpa pandang bulu dan tebang pilih. Berbagai kasus megakorupsi dan pelanggaran HAM berat yang gagal diselesaikan akhirnya akan mencederai keberhasilan pencapaian pemerintahan di bidang-bidang lain. Fokus kerja pemerintahan selama dua tahun ke depan seharusnya menyelesaikan sekurangnya sebagian agenda ekonomi dan hukum itu. Biarlah elite politik lain sibuk bermanuver, safari, dan silaturahim politik karena penilaian akhir keberhasilan pemerintahan ada di tangan rakyat melalui pemilu mendatang.

Jika hasil survei LSI dipandang sebagai indikator kasar pencapaian Yudhoyono, rapor tiga tahun pemerintahannya jelas belum menggembirakan. Rapor itu akan membaik jika pemerintah tetap "hadir" di tengah rakyat, bukan sekadar melalui inspeksi mendadak (sidak) ke terminal dan pasar tradisional atau kunjungan formal pascabencana. Pemerintah terasa hadir jika berbagai kebijakan yang dibuatnya benar-benar berpihak kepada mayoritas rakyat yang masih menderita dan terimpit kemiskinan.

SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

No comments:

A r s i p