Tuesday, October 9, 2007

ANALISIS POLITIK



Jalan Baru Pemimpin Baru

SUKARDI RINAKIT

Beberapa hari terakhir ini rasanya saya selalu ingin marah. Kejengkelan yang luar biasa menghantam perasaan karena melihat seorang ibu yang terus memarahi anaknya. Ini seperti seorang penguasa yang katanya sayang kepada rakyat dan merasa terpanggil untuk memimpin, tetapi ketika harus memimpin, dia gentar mengambil keputusan. Rakyat dibiarkan limbung.

Dengan perasaan gundah seperti itu, saya naik taksi meninggalkan rumah seorang pengusaha yang paham betul tentang belantara politik Indonesia. Sampai hampir tengah malam kami melakukan diskusi terbatas tentang masa depan republik. Sebagian isu yang dibahas pada 6 Oktober 2007 itu, dengan bahasa sederhana, penulis jadikan obrolan pembunuh waktu dengan sopir taksi.

Salah satu hal yang mengejutkan adalah, sama seperti pendapat para aktivis, sopir taksi itu pun memimpikan pemimpin baru. Seorang calon alternatif! Lebih hebat lagi, dia mengutip guyonan politik yang banyak beredar di pesan layanan singkat (SMS) seperti "kalau buka puasa hindari menu es beye, sup kalla, soto yoso,...". Sulit untuk tidak tertawa mendengarnya, apalagi semua itu diucapkan dalam logat Tegal yang kental.

Pemimpin baru

Ketika sopir itu disodori sejumlah nama tokoh yang belum memimpin partai, jawabannya di luar nama-nama itu. "Nyong suka Sopan Sopyan (maksudnya Sophan Sophiaan)." Saya tersenyum mendengarnya. Ini bukti ada jarak persepsi antara pengamat dan rakyat.

Jika secara common sense pengakuan sopir taksi itu dianggap sebagai sebuah sinyalemen, bisa jadi figur Sophan Sophiaan cocok menjadi muara bagi partai-partai nasionalis yang saat ini kering pemimpin. Tujuannya tentu bukan untuk memanggul dia menjadi kandidat presiden, tetapi untuk mempersiapkan orang lain yang kredibel untuk memimpin bangsa ini.

Peluang memainkan peran itu terbuka lebar karena mereka bisa menjadi kanal bagi sekitar 33 persen suara swing voters. Ini belum lagi kalau kecenderungan menurunnya suara-suara partai Islam, seperti yang ditunjukkan beberapa hasil survei, ikut diperhitungkan. Singkatnya, masih ada peluang bagi koalisi partai-partai nasionalis jika mereka mempunyai seorang pemimpin yang baik.

Ilustrasi itu memberi gambaran bahwa wacana pemimpin baru tampaknya sudah menelusup ke relung-relung hati rakyat. Dia menggedor-gedor kebuntuan perekrutan dan kaderisasi partai politik. Itu artinya, pada tingkat tertentu, bangsa ini telah melompati sungai kesadaran politik sehingga pencarian pemimpin alternatif menjadi sebuah keharusan sejarah ketika kondisi kehidupan tidak juga membaik.

Bagi para aktivis pada umumnya, pemimpin baru itu berarti harus kaum muda, sedangkan jargon yang mereka kibarkan adalah "saatnya kaum muda memimpin". Tetapi, setelah melalui pengamatan saksama, jargon itu dalam tataran praksis ternyata harus disesuaikan menjadi tiga alternatif.

Pertama, pasangan presiden dan wakil presiden adalah para senior, tetapi kabinet diisi oleh kaum muda. Kedua, presiden adalah tokoh senior, tetapi wakil presidennya orang muda, dan kabinet dipenuhi kaum muda. Ketiga, presiden, wakil presiden, dan para menteri adalah kaum muda.

Alternatif pertama dan kedua, tentu saja, untuk sementara ini lebih rasional karena kandungan konfliknya lebih kecil. Jika dipaksakan hanya kaum muda yang memimpin, oligarki partai dan kekecewaan para senior diperkirakan bisa menjadi penghambat efektivitas pemerintahan nantinya.

Jalan baru

Namun, para tokoh yang berkehendak memimpin republik tersebut tidak akan didengar suaranya oleh rakyat kalau mereka hanya omong manis. Untuk mendekati rakyat, berbeda dengan masa sebelumnya yang cenderung sarat janji, saat ini dibutuhkan gerakan politik konkret.

Tanpa itu, sulit membangun imajinasi bahwa kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Pidato politik, sehebat apa pun isinya, pasti akan dibuang ke tempat sampah oleh rakyat. Jadi, lupakan membuat pidato dengan segudang pilihan kata yang manis-manis.

Saat ini yang diperlukan adalah keberanian untuk menempuh jalan baru bagi republik. Dalam ranah politik, harus ada keberanian untuk menyatakan bahwa kita menganut sistem sosial demokrat. Dalam bidang ekonomi, bendera ekonomi pasar sosial (social market economy) harus dikibar-kibarkan.

Semua itu secara jelas harus mampu diterjemahkan dalam program aksi mewujudkan cita-cita nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (hukum, politik, hankam), meningkatkan kesejahteraan umum (ekonomi dan sosial), mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia.

Hanya dengan "jalan baru pemimpin baru" itu, ada peluang untuk membuat seluruh rakyat Indonesia bisa mesem (tersenyum), bahkan mungkin gemuyu (tertawa). Artinya, bukan saja kebutuhan hidup minimum mereka terpenuhi, tetapi juga menjadi lebih sejahtera.

Bung Anis Baswedan, Budiman Soedjatmiko, Chalid Muhammad, Denny Indrayana, Effendi Gazali, Fadjroel Rahman, Faisal Basri, Hilmar Farid, Rizal Ramli, Saldi Isra, Yudi Latif, dan bung-bung yang lain, apakah kita perlu membangun Kaukus Indonesia Raya dari Merauke sampai Sabang agar bangsa ini bangkit?

No comments:

A r s i p