Sunday, October 7, 2007

Tebal/Tipis Argumen Moral

BUDIARTO DANUJAYA

Urutan wahid Soeharto dalam daftar mantan pemimpin negara yang korup dari StAR Initiative menimbulkan wayuh rasa. Ada yang mensyukuri sebagai momentum baru membongkar kejahatan sublim ini lewat terbukanya akses jejaring keuangan internasional. Ada yang merutukinya sebagai ikut campur urusan rumah tangga orang lain, bahkan menyinggung "harga diri bangsa".

Persoalannya, masih perlukah dalam kedewasaan peradaban humanisme-demokratis dewasa ini kita bersikukuh mengambil posisi ekstrem dalam dikotomi diametral antara politik internasional versus nasional, budaya global versus lokal, atau nilai-nilai universal versus partikular.

Nasionalisme politik dengan limit kedaulatannya dan humanisme moralitas dengan universalisme nilainya bukan pilihan dikotomis saling meniadakan bak zero sum game. Kompleksitas demokrasi humanistik lebih menempatkan keduanya sebagai komplementaritas sebuah paradoks.

Nasionalisme memberi pijakan lewat sebuah kedaulatan agar utopia universalisme pada humanisme tak mengawang-awang. Adapun humanisme memberi transendensi agar lokalitas kedaulatan pada nasionalisme tidak menjadi tribalisme.

Ketegangan dimensional

Ketegangan "internasionalisasi" perkara keadilan, pun perkara berdimensi moral lain seperti kemanusiaan, bukan kabar baru. Belum lekang keberangan Soeharto atas Belanda yang "sok mengajari kita perkara kemanusiaan", bak lupa pernah menjajah kita. Peristiwa ini berbuntut pada pembubaran Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI).

Michael Walzer dalam Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad (1994) menyebutnya sebagai ketegangan antara "tebal" dan "tipis" dalam moralitas. Maksudnya, antara maksimalisme moral dan minimalisme moral.

Dimensi lokal moralitas bersifat maksimal. Kesamaan orientasi (sejarah, budaya, agama, dan politik) memudahkan "persamaan" perasaan moral. Kesamaan idiomatiknya mengandaikan baku appropriasi konseptual lebih meruang dan mewaktu sehingga lebih mendalam. Ketebalan titik singgung ini lebih memudahkan—dalam jargon Harmoko—"sambung rasa" antarpengembannya.

Sementara itu, dimensi global moralitas cenderung minimal. Betapapun gradual dan berbeda-beda, terjadi diskursivitas relatif orientasi sosiohistoris antarpengemban. Keragaman proses appropriasi dalam menghirup partikel-partikel sosiohistoris moralitas mengakibatkan titik singgungnya tipis, yakni pada konteks krisis personal, sosial atau politik "tertentu" saja.

Utopia Esperanto

Dari konteks praksis politik global, kegelisahan nasionalistik itu lebih mudah dipahami. Bersama berlalunya perang dingin dan demoralisasi sosialisme, tertib politik ekonomi dunia hanya menyisakan rel tunggal neoliberal. Para aktor utamanya, seperti AS, IMF, dan Bank Dunia, tidak cuma melakukan hegemoni makna, tetapi juga kerap berbuat seenak sendiri, seperti kita saksikan di Irak.

Maka, kegelisahan ini bisa dipahami sebagai ekspresi tak rela atas ketakberdayaan sebuah "politik perbedaan" berhadapan dengan sebuah ideologi yang hampir-hampir menjadi "universal".

Kalangan yang percaya perkara seperti ini bisa dilihat clear and distinct dalam kacamata "kebenaran" tunggal, seperti tercermin lewat jargon global justice, perlu mengingat betapa moralitas adalah perkara sosiohistoris juga. Keterlekatan (embeded) sosiokultural dan keterpaduan historisnya menyenantiasakan kontekstualitas sehingga tak pernah obyektif dan bebas artikulasi. Termasuk tiap bentuk minimalisme moral, karena keterikatannya pada moralitas maksimal tertentu sejak kelahirannya.

Dalam konteks inilah pengakuan akan generasi ketiga HAM, yakni atas hak-hak komunitas, atas multikulturalitas sebagai perwujudan politik perbedaan, harus dipahami. Sebuah kesadaran akan limit dari globalisme.

Sebutan "masyarakat manusia" menjelaskan ketegangan dimensional ini. Sebagai masyarakat kita partikular, sebagai manusia kita universal. Adalah utopia coba membuat kata sifat yang universal itu (manusia) menjadi dominan mengungguli kata benda (masyarakat). Bagi Walzer, bak utopia Esperanto—penciptaan bahasa persatuan bagi segenap manusia—upaya babilis ini akan gagal. Belum lagi biaya koersifnya.

Pengerucutan tribalistik

Sejak awal, moralitas cenderung tebal, terintegrasi secara sosiokultural, mengandaikan gema sosiohistoris sebuah masyarakat. Betapapun, dalam perspektif ini, kesadaran dimensional perlu dipelihara agar tak terperosok menjadi tribalisme.

Penolakan serba bukan nasional mudah memerosokkan pada lokalisme sempit. Penyangatnya bisa mengkhawatirkan. Terlepas skala demografisnya, dikotomi global versus nasional sejajar dengan nasional versus lokal/domestik. Inilah ketegangan derivatif di balik persoalan perda syariat atau penolakan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Politik perbedaan menyangat eksesif menjadi politik identitas, atas nama kedaulatan identitas, lokalitas, domestik.

Penerimaan atas moralitas minimal, misalnya deklarasi HAM, amat penting. Tidak saja atas nama solidaritas sesama manusia, tetapi juga atas nama kritisisme.

Moralitas minimal, seperti kemanusiaan dan keadilan, masih butuh kontekstualisasi sebuah kedaulatan agar, misalnya, menjadi kerangka kerja konsep kesetaraan yang operasional. Namun, utopia aksiologis semacam itu tetap dibutuhkan sebagai orientasi nilai tempat praksis artikulasi mengacu, karena setiap bentuk kedaulatan berkecenderungan eksklusif. Berkecenderungan menyingkirkan para pihak lain kalau kita tidak waspada.

Jadi, menjaga ketegangan dimensional tebal/tipis dalam argumen moral merupakan prinsip kehati-hatian dalam menimbang perkara semacam ini. Tanpa kesadaran akan kompleksitas ketegangan dimensional ini, jangan-jangan perkara tebal/tipis kita dalam persoalan hukum dan moral tetap sekadar: tebal muka, tipis kuping.

BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik, Departemen Filsafat FIB-UI

No comments:

A r s i p