Saturday, October 20, 2007

Keadilan


Pemberantasan Korupsi di Sumbar yang Tersandung

Tahun 2002, tayangan televisi maupun berita media cetak diramaikan dengan berita "revolusi" dari tanah Sumatera Barat (Sumbar).

Pada saat pemerintah pusat terkesan enggan memberantas korupsi, justru aparat kejaksaan dan rakyat Sumbar, yang jengah dengan perilaku anggota DPRD-nya, dengan gigih mengungkap dugaan korupsi dari anggota DPRD itu.

Akhirnya, 43 anggota DPRD Sumbar diseret ke pengadilan dengan perkara dugaan korupsi APBD tahun 2002 sebesar Rp 5,9 miliar.

Virus menjalar

Publik kala itu terperangah atas kejadian di Sumbar itu. Virus keberanian itu menjalar ke berbagai daerah di Indonesia. Rakyat di daerah yang sudah jengkel dengan kelakuan wakil rakyat yang secara terang-terangan menguras dana APBD untuk kepentingan mereka mulai bergerak. Setelah itu, bisa disaksikan dalam berita, anggota DPRD pun mulai diperiksa dan diadili.

Namun, berita teranyar dari "revolusi" Sumbar ini justru mengalami antiklimaks. Aksi pemberantasan korupsi di Sumbar itu, yang tentu saja dirintis dengan matang oleh kelompok masyarakat sipil di Sumbar, ternyata justru berujung tragis.

Mahkamah Agung (MA) memutus pada 10 Oktober 2007, 10 mantan anggota DPRD Sumbar itu bebas. Dalam putusannya di tingkat kasasi, MA menilai 10 anggota DPRD periode 1999-2004 itu terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, yaitu korupsi dana APBD Sumbar tahun 2002, tetapi itu bukan kejahatan atau pelanggaran.

Dalam pertimbangan hukum MA, majelis hakim yang dipimpin Bagir Manan berargumen, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000 sudah dicabut. Putusan ini kontras dengan putusan majelis hakim agung atas 33 mantan anggota DPRD Sumbar.

Kalau majelis hakim agung yang dipimpin Bagir Manan— beranggota Djoko Sarwoko dan Iskandar Kamil—membebaskan para tersangka, justru majelis hakim yang dipimpin Parman Suparman dengan anggota Arbijoto dan Abbas Said malah menghukum 33 anggota DPRD Sumbar. Putusan dikeluarkan 2 Agustus 2005.

Disparitas putusan MA ini menjadi menarik dikaji, bukan semata karena satu menghukum dan yang lain membebaskan, tetapi karena pertimbangan hukumnya yang juga berbeda. Padahal, perkara ini sama dengan dakwaan melakukan korupsi APBD Sumbar 2002 dengan cara melanggar PP No 110/2000.

Saldi Isra, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas yang juga anggota dari Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) yang berhasil membongkar korupsi para anggota DPRD Sumbar, mengatakan, "Putusan bebas ini adalah buah dari tekanan politik selama dua tahun yang dialami MA."

Argumen Saldi bisa jadi benar. "Gerilya politik" dari anggota DPRD dan DPR terhadap aparat penegak hukum, baik Jaksa Agung maupun MA, cukup gencar. Bahkan, para anggota DPR secara terang-terangan "berjuang" agar aparat penegak hukum tidak menggunakan PP ini untuk menjerat "kader" partai mereka di daerah.

Belum lagi "kecerdikan" para anggota DPRD Sumbar saat mereka mengajukan judicial review atas PP No 110/2000 ini. Majelis hakim agung yang terdiri dari Ny Asma Samik Ibrahim, Benjamin Mangkoedilaga, dan Laica Marzuki pada 9 September 2002 meminta Presiden untuk mencabut PP No 110/2000. Mendagri pun lambat membuat aturan baru sebagai pengganti.

Problem lain dari penegakan hukum pun muncul pada tahun 2006, yaitu keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan penyidik tidak dapat hanya mendasarkan pada pelanggaran asas kepatutan, keadilan, atau norma keadilan masyarakat dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, tetapi harus membuktikan ada tidaknya pelanggaran peraturan perundang-undangan.

Akan mempelajari

Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan akan mempelajari dulu putusan MA. "Jiwa dan roh PP 110 pada saat itu masih hidup karena perbuatan melawan hukum yang dirumuskan dalam UU Pemberantasan Tipikor bukan hanya perbuatan hukum dalam arti formal saja, tetapi perbuatan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat juga bisa dijerat," ujarnya.

Inilah wajah dunia hukum Indonesia. Keadilan itu jauh dari jantung rakyat, malah sulit dijangkau! (VIN/ANA/INU)

No comments:

A r s i p