Thursday, October 11, 2007

Kebebasan Pers dan PPN


YOHANES USFUNAN

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diminta menerbitkan SK penghapusan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN atas penjualan surat kabar harian, majalah, tabloid, dan media cetak lain. Prinsip PPN adalah harus ada nilai tambah dari produk yang dijual.

Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Jakob Oetama dan Sekjen SPS Amir Effendi Siregar mengatakan hal itu dalam pertemuan dengan Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Depkeu di Jakarta (Kompas, 14/8).

Upaya mencerdaskan bangsa tak hanya tanggung jawab lembaga pendidikan, tetapi juga surat kabar. Selain mempunyai tanggung jawab itu, surat kabar juga mengawasi dan menyebarluaskan informasi.

Hak informasi

Pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat berasaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945 mewajibkan pemerintah bertanggung jawab melindungi, memajukan, dan memenuhi HAM. Aktualisasinya dijalankan pers dalam melindungi HAM sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pembangunan.

Maka, kebebasan pers amat signifikan memajukan pembangunan, termasuk memenuhi HAM rakyat untuk mendapat informasi dalam segala hal sesuai Pasal 28 F UUD 1945. Sebagai apresiasi kepada pers atas pengabdian kepada bangsa dan negara, pemerintah perlu mencabut ketentuan pengenaan PPN atas penjualan produk surat kabar.

Alasannya, pertama memajukan kehidupan dan kebebasan pers sebagai benteng demokrasi.

Kedua, PPN berpotensi menghambat dan mematikan kebebasan pers yang berfungsi strategis menyampaikan informasi pembangunan, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial sesuai Pasal 3 Ayat (1) UU Pers.

Ketiga, pengenaan PPN menghambat pemerataan informasi hingga pedesaan akibat biaya mahal sehingga menghambat HAM rakyat untuk mendapat informasi dan iptek yang merupakan bagian HAM sipil.

Keempat, fungsi kontrol sosial pers secara hakiki identik dengan pengawasan DPR/DPD/DPRD dan badan pengawasan pembangunan pusat dan daerah yang bertujuan menciptakan pemerintahan yang bersih. Perbedaannya, anggota legislatif dan anggota badan pengawas menerima gaji dan fasilitas dari pemerintah, sementara wartawan dibayar perusahaan pers kendati fungsi pengawasannya lebih efektif.

Kelima, surat kabar harian, majalah, surat kabar mingguan, tabloid, dan buletin di Indonesia, yang kini tercatat sebanyak 889, dipastikan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Keenam, surat kabar bertugas dan bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa dalam menyajikan iptek, sehingga PPN bertentangan dengan prinsip larangan pengenaan pajak atas produk penyebar ilmu pengetahuan (no tax on knowledge).

Ketujuh, demi keadilan sesuai prinsip persamaan dalam negara hukum, pemerintah yang sejauh ini memberi subsidi kepada parpol dan ormas seharusnya memberi hak serupa kepada lembaga pers. Namun, demi independensi pers, subsidi tak perlu berbentuk dana tetapi penghapusan PPN.

Kedelapan, kegiatan pemerintah dan penyelenggaraan pembangunan akan diketahui masyarakat manakala disosialisasikan pers. Menyadari pentingnya fungsi pers, Presiden Yudhoyono dalam kabinetnya mengangkat Menteri Komunikasi dan Informatika untuk bekerja sama dengan pengelola media, menyosialisasikan pelbagai kebijakan pemerintah yang bermanfaat bagi kepentingan umum.

Dari perspektif hukum pemerintahan, sesuai wewenang bebas (diskresi) Menkeu dapat menerbitkan peraturan menteri perihal pembebasan PPN dengan alasan fungsi, tugas, dan tanggung jawab pers untuk kepentingan umum. Selain itu, Presiden dan DPR diharap menghapus ketentuan pengenaan PPN kepada surat kabar dalam perubahan UU tentang Pajak Pertambahan Nilai.

Televisi

Tahun 1970-an, saat stasiun radio mulai ramai, banyak yang cemas, radio akan menggeser surat kabar. Hipotesis itu berdasar dalih masyarakat akan lebih gemar mendengar radio karena dominannya fungsi hiburannya ketimbang membaca surat kabar. Kecemasan serupa kian bertambah bersamaan pengoperasian stasiun-stasiun televisi dan kemajuan pesat internet yang menguasai masyarakat Indonesia. Bahkan, ada pengamat dan sejumlah kalangan memprediksi surat-surat kabar akan mati tahun 2000.

Namun, kini eksistensi surat kabar jelas karena pertama, fungsi pendidikan dan informasi lebih dominan dalam penyajian tulisan-tulisan berkualitas terkait ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik, dan sebagainya. Bahan- bahan itu bermanfaat sebagai acuan akademik, acuan pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan dokumentasi.

Kedua, dampak kemajuan pertelevisian memungkinkan pemirsa berjam-jam menonton acara TV sehingga berpengaruh terhadap kegemaran membaca. Seperti dibenarkan Ketua Umum SPS Jakob Oetama, "Ada kekhawatiran di tengah masyarakat, orang Indonesia cenderung gemar menonton siaran televisi dibanding membaca" (Kompas, 14/8).

Ketiga, penayangan stasiun TV tertentu yang mengedepankan hiburan sinetron perselingkuhan, tuyul-tuyulan, pacaran anak sekolah, putus cinta, bencong-bencongan, perdukunan, gosip, dan sebagainya yang merupakan informasi kurang mendidik cenderung ditinggalkan pemirsa. Konsekuensinya ke depan, surat kabar tetap digemari, sepanjang para pengelola mempertahankan kualitas dan proporsi informasi yang berfaedah.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Bali

No comments:

A r s i p