Monday, October 15, 2007

Suara Terbanyak, Suara Khalayak


Indra J Piliang

Dalam perdebatan seputar metode penempatan calon anggota legislatif terpilih pada setiap partai politik, sudah muncul dua arus besar.

Pertama, berdasarkan "metode campuran", yakni tetap menggunakan nomor urut. Namun, jika ada yang mendapat angka 25 persen dari bilangan pembagi pemilih, sang calon anggota legislatif (caleg) akan langsung duduk di parlemen.

Kedua, berdasarkan metode suara terbanyak, tanpa nomor urut. Pilihan pertama sepertinya masih dianut Partai Golkar dan PDI-P, meski PDI-P berulang kali menyatakan siap dengan metode perhitungan mana pun.

Adapun Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir dan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sudah mengajukan pilihan akan menggunakan metode suara terbanyak bagi calegnya. Jika tidak tercapai kesepakatan di tingkat Pansus RUU bidang Pemilu Legislatif, ada usulan agar pemilihan anggota legislatif diserahkan kepada setiap partai politik yang berhak mendapatkan kursi. Jika ketentuan ini berhasil, keterwakilan anggota parlemen akan bervariasi berdasarkan pilihan metode partai-partai politik.

Bagi anggota partai politik yang terbiasa bergulat dengan arus bawah, termasuk nama-nama populer yang digandrungi masyarakat, pemakaian metode perhitungan kursi berdasarkan suara terbanyak sangat diminati.

Selama ini ada sejumlah masalah terkait dengan nomor urut. Nama-nama yang didukung pemilih tidak otomatis duduk jika menempati urutan bawah dalam daftar caleg. Untuk mencegah konflik, biasanya terjadi "perjanjian di bawah tangan", yaitu sang anggota legislatif nomor urut atas akan dengan sadar mengundurkan diri di tengah masa jabatan. Bisa dengan pola masing-masing dua setengah tahun atau ada juga dengan pola 1-4 (satu tahun dan empat tahun) dan 2-3 (dua tahun dan tiga tahun). Ini sama dengan kawin siri dalam ranah politik.

Dukungan ke arah penggunaan suara terbanyak terutama muncul dari anggota DPRD. Selama ini mereka merasa lebih banyak pekerjaannya ketimbang anggota DPR. Karena wilayah politiknya terbatas—dan dekat masyarakat karena tinggal di daerah masyarakat pemilih berada—tidak ada ruang jeda untuk berpolitik. Hal ini berlainan dengan anggota DPR yang hanya sesekali berlebaran atau reses di daerah pemilihannya. Ibaratnya, jika anggota DPR hanya berpolitik secara triwulanan, anggota DPRD berpolitik secara harian. Pertimbangan itulah yang menyebabkan anggota DPRD ingin diakui sebagai pejabat negara yang berhak memiliki privilese.

Kontrol publik

Dengan metode suara terbanyak, tiap suara mempunyai makna. Pemilih akan kembali mendapatkan mandatnya, tanpa harus mengurangi peran partai politik dalam melakukan kontrol dan kandidasi. Daulat partai akan bersinergi dengan daulat rakyat. Suara terbanyak juga menempatkan anggota legislatif terpilih untuk terus berjibaku dengan kepentingan konstituen yang diwakili di daerah pemilihannya. Jika mereka lalai memelihara dukungan publik, bisa saja muncul mosi tidak percaya dari publik atau mereka disingkirkan dalam pemilu berikut.

Nyaris hilangnya isu-isu publik dalam perdebatan di parlemen lokal dan nasional selama ini berakar dari metode pemilihan berdasarkan nomor urut dan hak recall yang menciutkan nyali legislator mana pun. Figur pimpinan partai politik lebih ditakuti ketimbang suara rakyat atau arus bawah. Politik yang berlangsung secara elitis dengan isu-isu nasional, tanpa uraian kemanfaatan bagi masyarakat, adalah implikasi pemakaian metode perhitungan berdasarkan nomor urut. Kesetiaan dinilai bukan kepada rakyat atau khalayak, tetapi kepada figur pimpinan partai politik.

Peta kesetiaan akan berubah saat terjadi pergantian pimpinan partai-partai politik. Bagi faksi yang kalah, silakan bersiap menyerahkan kedudukan di parlemen, seperti pimpinan fraksi dan komisi. Bahkan, masih ada ancaman lain, digeser dari keanggotaan di parlemen dengan beragam isu. Panasnya kursi anggota parlemen ini membawa implikasi terhadap buruknya kinerja parlemen, pasca-Pemilu 2004. Setiap kali anggota parlemen bersuara saat itu juga terbayang wajah dan keinginan ketua umum partai politik masing-masing.

Tentu publik menjadi terabaikan. Tidak heran jika setiap kali terjadi penggusuran atau kenaikan harga, pihak yang paling bersuara keras adalah warga. Kalaupun ada pembelaan, biasanya datang dari kelompok masyarakat sipil. Agenda yang bergerak di lingkaran kekuasaan juga banyak dimajukan kalangan masyarakat sipil. Fungsi keterwakilan politik bisa berpindah ke kalangan masyarakat sipil, termasuk dalam setting agenda media massa. Publik yang ringkih dan tirus juga kian mudah marah.

Rumusan keterwakilan

Maka, rumusan keterwakilan publik berhadapan dengan keterikatan antara anggota parlemen dan pimpinan partai politik. Hegemoni politik menampakkan wujud aslinya. Politik oligarki tumbuh subur, bahkan di dalam partai politik kecil yang hanya memiliki segelintir anggota parlemen terpilih. Anggota legislator tidak lagi menjadi agen pemberdayaan masyarakat, bahkan berubah menjadi agen pembudidayaan masyarakat. Mereka menjalankan politik ala rente, menjajakan setiap jumlah suara yang diraih demi keuntungan kelompok oligarkis masing-masing.

Tentu tidak mudah memutus rantai kepalsuan ala demokrasi perwakilan. Masalahnya, bagaimana memberi senjata yang lebih manjur kepada publik untuk menentukan hitam dan putihnya politik. Salah satunya dengan metode pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Popularitas menjadi ukuran, tetapi penilaian sejumlah parpol betapa rakyat belum cerdas menentukan pilihan juga bersumber dari ketakutan psikis atas rasionalitas publik yang kian baik. Terkesan betapa anggota partai politik mengecilkan atau melecehkan faktor pemilih sebagai pemilik kedaulatan.

Dengan suara terbanyak, ruang sempit hubungan antara legislator dan partai politiknya bisa diperlebar. Khalayak bisa masuk ke dalam beragam proses pengambilan keputusan. Berbagai survei pendapat publik atas isu-isu krusial akan menemukan pijakannya. Pilihannya, jika anggota legislatif lebih memilih aneka kebijakan yang tidak populis di mata publik, potensi ke arah pembangkangan sudah terbentuk. Jadi, mari hargai publik dengan menggunakan metode penempatan caleg berdasarkan suara terbanyak.

Indra J Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

No comments:

A r s i p