Sunday, October 14, 2007

Menyoal Dana Kampanye Calon Legislatif


Dana kampanye akan menjadi kendala signifikan bagi calon legislatif, khususnya perempuan, dan mempersempit kesempatan masuknya caleg perempuan dari beragam kelompok dan kelas sosial.

Seorang anggota satu partai besar mengaku mengeluarkan sekitar Rp 350 juta dalam Pemilu 2004. Ia gagal menjadi anggota DPR karena berada di nomor urut empat walaupun meraih suara jauh di atas calon di nomor urut satu.

Nomor urut dalam sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang dipraktikkan di banyak negara sebenarnya tak jadi soal. Siapa pun di nomor berapa pun bila dipilih dengan suara terbanyak otomatis menjadi anggota legislatif.

Yang jadi masalah, menurut aktivis dan ilmuwan politik, Ani Soetjipto, di dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, yang diadopsi adalah sistem proporsional daftar terbuka tetapi bersyarat sehingga suara terbanyak saja belum tentu memenuhi persyaratan menjadi anggota legislatif kalau tak bisa melampaui angka kuota.

Angka kuota adalah bilangan pembagi pemilih, yakni jumlah suara yang sah di daerah pemilihan dibagi jumlah kursi yang diperebutkan. Misalnya di Jakarta, kuotanya sekitar 350.000 sampai 400.000. Bila seorang calon legislatif (caleg) mendapat suara banyak, tetapi gagal mencapai kuota, ia belum tentu menjadi anggota legislatif.

Undang-Undang Pemilu itu, kata Ani, juga mensyaratkan, bila tak dapat memenuhi kuota, suara akan diberikan kepada daftar urut di atasnya. Jadi, bisa saja caleg urutan pertama, yang sebagian besar laki-laki, terpilih menjadi wakil di legislatif meskipun perolehan suaranya kecil. Itu yang banyak terjadi pada caleg perempuan dalam Pemilu 2004.

Penempatan daftar calon merupakan salah satu perjuangan kelompok perempuan dalam revisi UU No 12 Tahun 2003 dan UU No 21 Tahun 2002 tentang Partai Politik serta UU No 22 tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD. Revisi UU itu akan dibicarakan di tingkat Panitia Kerja tanggal 1 Oktober 2007.

Harus punya modal

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Kalimantan Timur, Eka Komariah Kuncoro (60), mengatakan, ia harus mengeluarkan Rp 200 juta meskipun mempunyai jaringan luas di akar rumput. "Untuk macam-macam, terbanyak untuk biaya perjalanan," ujarnya. Biaya itu relatif rendah karena, katanya, ada yang keluar biaya sampai miliaran rupiah.

Komariah yang sebelumnya menjadi anggota DPRD tingkat I selama tiga periode dari Fraksi (Partai) Golkar itu mengatakan, "Kalau tak punya uang susah karena untuk persyaratan registrasi saja harus ada 2.000 tanda tangan dari pendukung di 25 persen jumlah kabupaten-kota."

Cakupan 25 persen di Kalimantan Timur itu berjumlah sekitar empat sampai lima kota yang letaknya berjauhan sehingga biaya transportasinya mahal.

Waktu di DPRD, Komariah mengaku relatif tidak mengeluarkan biaya karena semuanya diatur partai. "Tetapi, dengan UU sekarang tak bisa lagi. Malah kalau lewat partai mungkin lebih mahal karena ada ’ongkos kendaraan’," ungkapnya.

Ketua Fatayat NU Maria Ulfah dari F-PKB mengungkapkan, dalam Pemilu 2004 ia menerima bantuan Dana Perempuan sebesar Rp 10 juta kemudian ditambah Rp 7 juta, selain berbagai sumbangan teman-teman lain. "Saya sendiri keluar antara Rp 75 juta sampai Rp 100 juta," ujarnya.

Eva Sundari dari F-PDIP mengeluarkan sekitar Rp 200 juta, dibantu Rp 8,5 juta dari Dana Perempuan. Semuanya untuk operasional murni. "Tidak pakai setor ke partai," tuturnya.

Pada Pemilu 2004, kelompok perempuan mengumpulkan Dana Perempuan untuk membantu kampanye 10 kandidat. Dua di antaranya berhasil menjadi anggota legislatif di tingkat pusat dan satu di tingkat provinsi (Kalimantan Barat). Dari 50 caleg perempuan yang didorong Gerakan Perempuan Peduli Indonesia, kata Ani, 10 berhasil masuk.

Mengusik keadilan

Sistem pendanaan kampanye caleg seperti itu, menurut Hana Satriyo dari The Asia Foundation, tak hanya mempersempit kesempatan bakal caleg dari kalangan lebih beragam, tetapi juga mengusik rasa keadilan. "Di negara dengan situasi ekonomi sulit seperti Indonesia, penggunaan dana sangat besar untuk kampanye politik sungguh tidak sensitif," ujarnya.

Di Amerika Serikat saja ada peraturan yang mematok pagu biaya kampanye seorang calon dan pemberi sumbangan. Dan untuk itu, ada audit. "Kalau mau menyumbang, maksimum 2.300 dollar AS. Orang seperti Oprah Winfrey, kalau mau mendukung seorang calon, harus mengerahkan teman-temannya untuk menyumbang," kata Hana.

Kelompok yang memusatkan perhatian pada transparansi dan akuntabilitas berpendapat, masalah dana hanya dapat diatur di internal partai.

"Ada candidacy buying, beli kursi, termasuk untuk anggota DPR, DPRD, dan kepala daerah. Nomor urut bisa tiba-tiba berubah karena ada penyumbang yang lebih besar untuk calon lain," ujar Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW).

Fahmy Badoh dari ICW menambahkan, dalam UU yang lama, batasan sumbangan parpol Rp 150 juta untuk perorangan dan Rp 750 juta untuk badan hukum. Dalam revisi dari pemerintah, jumlah itu dinaikkan menjadi Rp 1 miliar untuk perorangan dan Rp 5 miliar untuk badan hukum.

Pihaknya cenderung menyetujui kenaikan itu karena pengalaman memperlihatkan pembatasan yang lama rentan manipulasi. "Yang menyumbang satu-dua orang, tetapi memakai nama banyak orang. Setelah di cross check, nama-nama itu mengaku tak pernah menyumbang," ungkap Fahmy. (Mh/nmp)

No comments:

A r s i p