Wednesday, October 17, 2007

Sultan HB X, Politikus atau Negarawan


Nabiel Makarim

Dalam kesempatan diskusi publik yang diadakan Fraksi PAN di DPR belum lama ini, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir mendorong Sultan Hamengku Buwono X untuk tampil di tingkat perpolitikan nasional.

Menurut Soetrisno, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah bangsa yang amat besar. Diharapkan Sultan HB keluar dan tidak terus di balik tembok (Kompas, 6/10/2007).

Soetrisno mempunyai dasar kuat untuk mendorong Sultan HB X keluar tembok, memberikan perhatian pada masalah bangsa yang masih menghadapi kemelut multidimensi. Bangsa ini mendambakan seorang pemimpin yang bukan saja mampu, tetapi juga bersih dan terpercaya. Sejauh ini Sultan HB X tampaknya memenuhi kriteria ini.

Masalahnya, saat Sultan HB X keluar dari tembok, berada di pusat dan menggeluti masalahmasalah bangsa, peran apa yang akan dilakukan? Dari pernyataannya bahwa "yang berhak mencalonkan adalah masyarakat melalui partai politik", tampak ada kecenderungan, peran yang dimaksud adalah sebagai politikus. Pertanyaan berikut, apakah perannya sebagai politikus akan menjadi yang terbaik bagi diri dan bangsanya?

Tiga macam tekanan

Politisi dari partai politik dalam sistem demokrasi di negara mana pun selalu mendapatkan tiga macam tekanan (Profiles in Courage, John F Kennedy).

Pertama, tekanan dari keinginan untuk diterima rekan-rekan politisi lain, yang berarti tekanan untuk mengikuti arus utama.

Kedua, tekanan untuk dipilih kembali pada kedudukannya.

Ketiga, tekanan untuk memperjuangkan kepentingan pendukungnya yang sudah "berkorban" untuknya.

Keadaan ini menyebabkan terjadinya kecenderungan para politisi untuk mengutamakan pertimbangan jangka pendek dan sering mengorbankan kepentingan jangka panjang. Bagi seorang politikus, ketiga tekanan ini sudah lumrah dan tergantung kualitas bersangkutan untuk mencari keseimbangan antara ketiga tekanan ini dengan visi dan misinya di lain pihak.

Sebagai seorang sultan, HB X adalah seorang pemimpin tradisional yang turun-temurun. Asalusul ini memisahkannya dari para politisi yang bergerak melalui sistem kepartaian.

Kekuatan seorang sultan sebagai pemimpin moral adalah kebebasan yang bersangkutan dari ketiga tekanan itu. Jika Sultan memasuki kancah politik, dia akan masuk perangkap ketiga tekanan itu dalam upaya mencari suara sebanyak-banyaknya. Akibatnya terjadi erosi kredibilitas dan sumber legitimasi utamanya sebagai pemimpin moral. Selanjutnya Sultan masih harus menghadapi risiko lain, yaitu kehilangan kredibilitas di mata pendukung tradisionalnya jika dia gagal mendapatkan suara terbanyak.

Memerlukan negarawan

Memang sudah saatnya Sultan HB X berkiprah di pusat, tetapi tentu tidak melalui negatif sum game bagi dirinya dan kepentingan umum. Bangsa ini lebih membutuhkan seorang negarawan (statesman) daripada tambahan seorang politikus lagi.

Negarawan adalah seseorang yang dalam karier panjangnya memiliki kredibilitas yang konsisten sehingga dapat diterima masyarakat sebagai "orang bijak". Legitimasi seorang negarawan berasal dari kepercayaan masyarakat sehingga yang bersangkutan bebas dari aneka tekanan politik yang bersifat sementara.

Sebagai negarawan, seseorang dapat leluasa dan konsisten memperjuangkan kepentingan umum jangka panjang. Seorang politikus berpikir dalam konteks pemilu berikut, sebaliknya negarawan berpikir dalam konteks generasi bangsa berikutnya.

Seorang negarawan bukan saja dapat menjaga kelestarian etika politik, tetapi juga mampu mencegah terjadinya bencana. Belasan tahun lalu, misalnya, Thailand mengalami kudeta disusul kudeta balasan. Dua jenderal berhadapan dan negara diancam perpecahan dan bencana. Raja Thailand dalam kapasitasnya sebagai negarawan memanggil dan mendamaikan kedua pihak, bencana pun dapat dihindari. Kita sadar, Sultan HB X tidak mempunyai kekuatan sebesar itu, tetapi sebagai negarawan dia mampu memberikan sumbangan besar bagi bangsa yang sedang menghadapi krisis moral ini.

Pandangan ini bukan hanya ditujukan bagi Sultan HB X. Sultan, raja, sunan, dan para pemimpin tradisional lainnya diharapkan tidak terjebak memasuki kancah politik praktis. Mereka sebaiknya menggunakan kekuatan moralnya, aktif berfungsi sebagai negarawan yang lebih dibutuhkan masyarakat.

Selain berfungsi sebagai negarawan di tingkat pusat, di daerah masing-masing pun mereka dibutuhkan. Pada akhirnya keputusan untuk memilih peran politik ini kembali pada nurani Sultan HB X sendiri dan para pemimpin tradisional lainnya.

Nabiel Makarim Fasilitator Nasional Environment Parliament Watch (EPW)

No comments:

A r s i p