Saturday, October 27, 2007

Sumpah Pemuda dan Bonoisasi


Baskara T Wardaya

Sudah umum disadari, dalam sejarah bangsa ini kaum muda menduduki posisi penting pada setiap perubahan sosial yang besar.

Di tengah represifnya rezim kolonial, pada tahun 1928 kaum muda berkumpul untuk menyatakan tekad membangun Indonesia yang baru dan padu. Melalui apa yang disebut Sumpah Pemuda mereka menyatakan kehendak mewujudkan satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan: Indonesia.

Bangga

Ketika setelah Proklamasi Kemerdekaan pemerintah kolonial ingin kembali menjajah, kaum muda membentuk front-front perjuangan guna membela kemerdekaan sampai tetes darah penghabisan. Pada tahun 1966, saat sebagian masyarakat menuntut diadakannya perubahan kepemimpinan nasional, kaum muda tampil ke muka.

Kembali, tahun 1998 saat pekik reformasi berkumandang dan masyarakat menuntut mundurnya Orde Baru, kaum muda maju ke depan. Tak sedikit dari mereka rela gugur diterjang peluru demi apa yang mereka perjuangkan.

Tidak hanya dalam berhadapan dengan isu-isu dalam negeri, dalam menghadapi aneka masalah internasional pun kaum muda sering menjadi pelopor perjuangan. Berurusan dengan masalah globalisasi, banyak kaum muda kita turun ke jalan melakukan perlawanan. Juga dalam masalah-masalah lain. Kita merasa bangga dan berterima kasih atas pengorbanan kaum muda.

Ada apa?

Meski demikian, akhir-akhir ini semangat pengorbanan itu terasa meredup. Gegap gempita reformasi yang dulu kuat melengking di telinga, kini kian sayup terdengar. Bahkan ketika pelan-pelan sistem politik negeri ini sedang beringsut kembali ke situasi pra-reformasi, kaum muda tak lagi jelas strategi perlawanannya. Demo-demo perlawanan terhadap ketidakadilan internasional masih ada, tetapi cenderung mereda. Makin sedikit kaum muda aktivis politik yang masih mau turun ke jalan. Ada apa?

Tentu ada banyak sebab. Misalnya, efektifnya kerja intel dan aparat keamanan. Bisa jadi karena para mantan aktivis politik kini telah "terbeli", menduduki posisi-posisi empuk. Mungkin juga karena kaum muda sudah kehilangan "musuh bersama" yang bisa dilawan secara kolektif.

Menariknya, gejala ini tak hanya melanda kaum muda Indonesia, tetapi juga kaum muda di banyak negara. Kita ingat betapa gemuruhnya perjuangan kaum muda yang turun ke jalan melawan hegemoni ekonomi dunia, seperti di Seattle (1999), Davos (2000), Genoa (2001), Barcelona (2002), Cancun (2003), Santiago (2004), Hongkong (2005), dan Heiligendamm (2006).

Meski demikian, kini gereget gerakan macam itu tampaknya kian berkurang. Sesekali masih muncul aksi perlawanan, tetapi tampaknya makin reaktif, sporadis, dan insidental. Sekali lagi: ada apa?

Bonoisasi

Naomi Klein menyodorkan sebuah kemungkinan jawaban. Ia melihat, pada satu sisi demo-demo perlawanan kini telah dibuat lebih global oleh para selebriti rock and roll, dengan pelopornya penyanyi Bono dari kelompok musik U2. Bono dan kawan-kawan telah membuat banyak kaum muda sadar akan persoalan dunia. Berkat mereka kesadaran kaum muda akan adanya ketidakadilan global kian meningkat. Ratusan ribu kaum muda hadir dalam konser-konser amal yang mereka gelar dengan tema antikemiskinan, antipemanasan global, pembebasan dari utang, dan lain-lain.

Meski demikian, konon konser-konser itu membuat banyak penggemarnya kurang terdorong mencari solusi konkret. Mereka suka "terharu" akan berbagai penderitaan dunia, tetapi tidak berminat membongkar sistem dan struktur penyebabnya.

Muncul gejala menarik. Di satu sisi kian banyak kaum muda peduli penderitaan dunia, di sisi lain banyak yang sudah puas hanya dengan merasa tersentuh akan penderitaan itu. Oleh Klein gejala itu disebut sebagai Bonoisasi (Klein: 2007).

Menurutnya, berkat inisiatif mulia yang dipelopori Bono dan kawan-kawan, kini banyak kaum muda lebih suka pergi ke lokasi-lokasi konser untuk "melawan kemiskinan" atau ke mal dan membeli gelang warna-warni bertuliskan "Anti-Globalisasi" daripada turun ke jalan menuntut tata ekonomi dunia yang lebih adil. Klein mengamati, belakangan banyak kaum muda lebih suka melampiaskan semangat aktivisme politiknya melalui fasilitas blogspot di internet. Lokasi konser, mal, dan internet tentu lebih nyaman sebagai tempat "perlawanan", tetapi perlawanan macam itu apakah mampu mengubah struktur ketidakadilan? Perlu dipertanyakan.

Tenang saja

Apa yang dikatakan Klein belum tentu benar. Namun setidaknya dapat "menjadi" peringatan. Perlawanan terhadap ketidakadilan dunia dalam bentuk konser musik atau situs internet adalah luhur, tetapi jika tidak hati-hati, itu bisa mengendorkan semangat aktivisme politik nyata di masyarakat. Padahal aktivisme politik di masyarakat sering cukup efektif dalam mendesakkan perubahan, sebagaimana terjadi tahun 1928, 1966, atau 1998.

Dalam kaitan ini, patut direnungkan sebuah fenomena: saat terjadi kasus Waduk Kedung Ombo (1985) banyak kaum muda aktivis turun membela korban. Namun, dalam lumpur Lapindo, kesannya mereka tenang-tenang saja. Padahal korban lebih banyak. Adakah ini tanda semangat Sumpah Pemuda melemah? Atau, inikah tanda kaum muda aktivis politik sedang terkena dampak Bonoisasi? Semoga saja bukan.

Baskara T Wardaya Direktur PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

No comments:

A r s i p