Tuesday, October 30, 2007

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN (1)


Kemandirian Para Perempuan Tiga Kota

EVY RACHMAWATI/ PUTRI ROSALINA

Perjalanan tiga kota telah mempertemukan kami pada perempuan-perempuan perkasa. Ini kisah tentang para perempuan desa dan komunitasnya dengan daya hidup luar biasa. Nun jauh dari gegap gempita panggung perpolitikan, mereka berkarya demi mencapai kemandirian.

Mereka bukan sosok perempuan dari kalangan menengah atas berpenampilan mentereng. Dalam keseharian, mereka harus bergelut dengan berbagai masalah rumah tangga, mulai dari keuangan yang pas-pasan hingga suami yang pengangguran dan doyan judi.

Meski demikian, mereka adalah individu maupun kelompok yang gigih membangun semangat berswadaya demi perbaikan mutu hidup masyarakat di bidang ekonomi dan sosial. Manajemen hidup berlandaskan swakelola dan swadaya. Kisah sukses pemberdayaan masyarakat itu datang dari Boyolali, Klaten (keduanya di Jawa Tengah), dan Sleman (DI Yogyakarta).

Kegigihan memperjuangkan perbaikan taraf hidup perempuan miskin telah dipelopori Sri Suryatingsih, yang akrab dipanggil Bu Ning, di desanya, di Ampel, Boyolali. Perempuan lulusan D-3 Akuntansi ini telah mengawali karyanya dengan mengumpulkan lima perempuan pengusaha mikro di sekitarnya pada tahun 2001.

Setiap anggota pun menyetorkan modal awal Rp 10.000 untuk digunakan sebagai dana pinjaman bagi anggota dengan uang jasa dua persen per bulan untuk kas kelompok. Pinjaman itu dapat diangsur hingga sepuluh kali. Jika terlambat membayar cicilan utang, anggota bersangkutan harus membayar denda seratus persen dari pinjaman.

Gaungnya pun makin kuat dan membuat warga dari desa lain ingin mengembangkan aktivitas serupa. Akhirnya pada 3 November 2003, kaum perempuan pengusaha yang kebanyakan adalah penjual bubur, tempe dan usaha sektor informal lain mendeklarasikan kelompok bernama Forum Peduli Perempuan Pengusaha Kecil Ampel (FP3K-A).

Kegiatan FP3K-A ini pun direduplikasi di tempat lain sebagai strategi pemberdayaan perempuan pengusaha kecil. Hingga saat ini, FP3K sudah berkembang di tiga kecamatan di Boyolali dan memiliki lebih dari 90 anggota. "Setiap terkumpul 20 anggota baru, harus membuat kelompok sendiri. Biar enak kalau mau curhat masalah," ujar Ning.

Tanpa bantuan dana ataupun pendampingan dari pihak mana pun, kelompok itu makin berkembang jumlah anggota dan dana yang dimiliki. Agar anggota yang paling lemah berdaya dan tidak tertinggal dengan lainnya, kepengurusan di kelompok itu mensyaratkan pengurus harus diangkat berdasar rapat pengurus dan calon harus dari anggota dengan ekonomi paling lemah.

Menurut penuturan sejumlah anggota kelompok itu, pada praktiknya, dana simpan pinjam itu telah menjadi gantungan mereka di kala susah. Selain untuk mengembangkan usaha, para anggota juga meminjam uang untuk membayar uang sekolah anak maupun keperluan lain. "Jadi bisa bantu keluarga," ujar Ny Mariani.

Kisah sukses pemberdayaan perempuan itu pun datang dari Dusun Kebon Konang, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Sistem simpan pinjam bagi buruh batik di desa itu yang dipelopori Suminah berkembang hingga memiliki dana ratusan juta rupiah, memiliki mesin pencelup batik sendiri dan pemasaran batik ke masyarakat menengah atas.

Semula, Suminah berperan sebagai motivator, ketua, merangkap bendahara dan sekretaris kelompok. Setelah mendapat pelatihan manajemen dari Bina Swadaya dan pemberian kredit mikro, KSM Sidomukti itu berkembang dengan kepengurusan modern. Kegiatan kredit mikro itu pun bermanfaat bagi para anggotanya untuk usaha maupun memenuhi keperluan lain.

Pemberdayaan perempuan bukan hanya terbatas pada sektor ekonomi. Peran yang dilakukan Dalinem, warga Sumber Watu, Pegunungan Kapur Candi Boko, Sleman, DIY, dan para perempuan sekitarnya dalam membangun sarana desa turut memajukan desa mereka. Bersama warga lain, mereka membuat jalan agar desa mereka tidak terisolasi.

Berdaya

Kemandirian para perempuan itu ternyata dapat meningkatkan taraf hidup perempuan miskin di daerah itu. Para buruh batik yang tergabung dalam KSM Sidomukti, misalnya, telah memiliki modal sendiri, lepas dari para pengepul dan para rentenir. Sejumlah anggota juga mengembangkan usaha di luar batik, seperti peternakan.

Untuk menjaga kesinambungan kelompok itu, setiap bulan para anggota berkumpul untuk menghitung jumlah pinjaman, membayar cicilan utang, maupun sekadar bersilaturahim, dan berbagi masalah rumah tangga. "Seluruh uang kelompok yang jumlahnya ratusan juta rupiah itu jarang yang mengendap, terus berputar," kata Suminah.

Sementara itu, kegiatan FP3K-A di Boyolali tidak hanya berhenti pada kegiatan sosial ekonomi. "Peningkatan pendapatan pada perempuan harus seiring dengan peningkatan pengetahuan dan tingkat partisipasi perempuan. Ini memerlukan upaya penyadaran pada para anggota tentang kesetaraan jender," ujar Ning.

Rendahnya tingkat pendidikan anggota tak membuatnya menyerah mengenalkan kesetaraan jender dengan analogi sederhana yang dekat dengan kehidupan mereka. Sebagai contoh, jika suami memberi uang belanja minimal tetapi tetap membeli rokok, istri harus mengingatkan karena dalam uang belanja itu ada hak-hak anak mereka juga.

Pengembangan usaha kelompok itu disertai dengan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi dan penyadaran jender. Hal ini akhirnya membuat banyak anggota memiliki daya tawar terhadap sang suami dalam urusan ekonomi rumah tangga. Mereka juga ikut menentukan harga jual ternak kambing yang semula ditentukan sang suami.

Ada juga anggota yang memiliki masalah rumah tangga, seperti suami tidak punya pekerjaan tetap ataupun uang belanja dihabiskan untuk bermain judi. Hal ini membuat para anggota saling menguatkan diri untuk bisa mandiri dan memperbaiki kesejahteraan keluarga mereka.

Keberhasilan gerakan perempuan ini mencapai puncaknya dengan mendorong adanya dialog publik dalam pemilihan kepala desa yang selama ini tidak pernah dilakukan dalam politik desa. Usulan itu pun mendapat ganjalan dari aparat desa yang khawatir gerakan itu akan menentang kebijakan mereka.

Keberhasilan kelompok itu membuat banyak pihak mulai melirik komunitas perempuan pengusaha itu dengan menawari kredit. Akan tetapi, kredit ringan itu terpaksa ditolak lantaran harus ada jatah bagi oknum pejabat. "Banyak bank yang menawarkan pinjaman, tetapi harus pakai agunan. Ini sulit kami lakukan," kata Ning.

Pemberdayaan

Sejauh ini, fenomena maraknya pemberdayaan masyarakat itu sebagai jawaban atas pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari kebijakan terpusat sejak tahun 1970-an. Pemberdayaan perempuan itu juga jawaban atas tantangan konsep pertumbuhan yang melupakan kebutuhan rakyat pada level akar rumput.

Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007), ada tiga tahapan proses pemberdayaan. Proses pertama, penyadaran dengan target, yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka punya hak untuk mempunyai sesuatu. Prinsipnya, membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka.

Proses selanjutnya adalah diberikan daya kuasa yang bersangkutan agar mampu terlebih dahulu. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. Selanjutnya, target diberi daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang.

Sebagaimana dilakukan beberapa komunitas perempuan desa yang sukses memberdayakan diri sendiri, mereka aktif memanfaatkan peluang dan berdaya atas diri mereka sendiri tanpa bergantung pada pihak mana pun. Mereka berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan komunitas dan mempunyai perasaan bermasyarakat.

Sumodiningrat dalam bukunya menyebutkan, ada lima ciri khas dalam penerapan pemberdayaan masyarakat yakni stimulus modal, pendampingan, bantuan sarana dan prasarana, pengembangan kelembagaan dan pemantauan, serta pelaporan. Berkat kegigihan mereka, komunitas perempuan di tiga kota ini mampu berdaya meski miskin dukungan dari pihak lain.

No comments:

A r s i p