Monday, October 29, 2007

Menanti Kepemimpinan Tokoh Muda


SUWARDIMAN

Publik tidak puas dengan kiprah generasi muda dalam berbagai persoalan bangsa. Tokoh-tokoh muda saat ini dianggap belum cukup kritis menanggapi berbagai masalah negara. Meskipun demikian, mayoritas publik masih optimistis, tokoh muda akan mampu memimpin bangsa ini lebih baik daripada tokoh-tokoh lama yang saat ini mendominasi perpolitikan nasional.

Boleh jadi kegalauan masyarakat atas lemahnya gaung tokoh-tokoh muda baik di pentas nasional maupun di daerah, dipicu oleh kurang berhasilnya reformasi dalam melakukan regenerasi kepemimpinan politik di negeri ini.

Mayoritas responden (55,5 persen) memang menilai reformasi cukup berhasil melahirkan tokoh-tokoh muda di dunia politik. Namun, setelah terjadi dua kali pesta demokrasi yang menjadi ajang pendaulatan elite-elite yang akan menentukan arah bangsa, ternyata tidak terlalu banyak pemimpin dari kelompok muda yang berhasil menerobos jejaring struktur politik yang telah dikuasai tokoh-tokoh yang lebih mapan.

Memang ironis, reformasi yang dimotori oleh kelompok muda tahun 1998 ternyata kurang berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemimpin muda yang menonjol. Bahkan, sebagian masyarakat kembali mempertanyakan, ke mana tokoh-tokoh muda yang dahulu aktif bersuara nyaring menuntut reformasi. Sebagian yang lain juga mempertanyakan, di mana dan apa yang dilakukan oleh elite-elite yang berkuasa sekarang pada masa reformasi sembilan tahun lalu.

Menyambut Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober yang kerap disimbolkan sebagai kebangkitan pemuda Indonesia, menjadi momentum yang tepat untuk kembali mempertanyakan kiprah tokoh-tokoh muda di pentas nasional saat ini.

Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas terhadap 830 responden di 10 kota besar di Indonesia, mencatat bahwa mayoritas publik menaruh harapan besar tampilnya tokoh-tokoh muda di pentas nasional. Publik berharap lahirnya kepemimpinan muda akan memberi gagasan-gagasan segar dalam mencari solusi berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini.

Sebanyak 69,4 persen responden menyatakan setuju jika Indonesia dipimpin oleh tokoh muda. Salah seorang responden di Manado, Martin (51 tahun), misalnya, berpendapat bahwa para pemimpin-pemimpin bangsa yang dianggap telah mapan dan berpengalaman menduduki struktur politik selama ini, terbukti belum mampu memberi perubahan yang berarti dalam mengatasi masalah bangsa.

Sementara itu, sebanyak 35,5 responden menyatakan tidak setuju jika Indonesia dipimpin oleh tokoh muda. Mereka masih meragukan kemampuan tokoh-tokoh muda. Sebut saja misalnya pendapat salah seorang responden di Surabaya, Wilopo (55 tahun), yang menyatakan bahwa sejauh ini belum ada tokoh muda yang menonjol untuk menjadi pemimpin bangsa.

Rekrutmen politik

Partai politik secara teoretis menjadi lembaga rekrutmen politik yang paling ideal. Lembaga politik inilah yang dalam sistem demokrasi menjadi mesin yang secara efektif melahirkan elite- elite yang akan menduduki posisi-posisi strategis sebagai pembuat kebijakan.

Namun, sesungguhnya lembaga-lembaga lain seperti perguruan tinggi, birokrasi, lembaga swadaya masyarakat, hingga lembaga militer pun adalah saluran-saluran lain yang dapat melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Yang terpenting adalah bagaimana rekrutmen politik terjadi.

Moshe M Czudnowski (Political Recruitment, 1975) menyebutkan, rekrutmen politik adalah sebuah proses di mana individu atau kelompok individu terinduksi dalam peran politik aktif. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan pokok adalah transparansi faktor-faktor sepanjang proses rekrutmen yang mampu menjelaskan mengapa seorang individu dengan latar belakang tertentu terpilih untuk posisi tertentu atau untuk peranan politik tertentu.

Budaya politik, mengutip Gabrielle Almond, juga memiliki peranan dan pengaruh yang kuat dalam sebuah sistem politik. Di tengah modernisasi politik pascareformasi, budaya politik parokial dengan nilai-nilai tradisional yang kuat ternyata belum bisa diabaikan sebagai faktor yang masih berpengaruh.

Pola berpikir masyarakat masih belum terbuka dengan sentimen primordial yang kental. Boleh jadi, budaya politik ini pula yang masih kuat mewarnai proses kaderisasi dan rekrutmen dalam lembaga-lembaga politik.

Dalam percaturan politik pascareformasi sebenarnya kelompok muda sudah mampu membuktikan diri menerobos struktur yang sebelumnya lebih banyak dikuasai oleh kelompok usia yang lebih mapan.

Di luar masalah kapabilitas elite-elite terpilih, realita politik sebenarnya menunjukkan ruang bagi kelompok muda terbuka lebar untuk bersaing dengan mereka yang lebih mapan dan berpengalaman.

Hasil Pemilu Legislatif 1999, yang merupakan pemilu pertama pascareformasi, menunjukkan kelompok usia di bawah 40 tahun menduduki 11 persen kursi DPR.

Hasil pemilu periode berikutnya, DPR periode 2004-2009, kelompok usia di bawah 40 tahun tercatat menduduki 17 persen. Bahkan, anggota Dewan paling muda pada periode ini baru berusia 24 tahun saat terpilih, yaitu Ruth Nina M Kedang. Ia dipilih oleh 7.188 pemilih di daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur II.

Meningkatnya kelompok muda yang terpilih pada pemilu lalu boleh jadi mengilustrasikan harapan masyarakat yang cukup tinggi atas hadirnya tokoh-tokoh muda di pentas politik. Keyakinan publik pun cukup besar bahwa tokoh-tokoh muda ini dapat bersaing dengan elite-elite politik yang sudah mapan. ini tampak dari mayoritas responden (61,8 persen) yang menyuarakan hal tersebut.

Publik sebenarnya menaruh harapan hadirnya sosok muda yang memimpin bangsa ini. Ini terlihat dari suara 7 dari 10 responden yang berpendapat bahwa usia ideal seorang presiden adalah tokoh yang berusia di bawah 50 tahun.

Namun, saat ini tampaknya mayoritas publik masih belum melihat adanya tokoh muda yang memiliki kapabilitas untuk memimpin bangsa.

Sebanyak 45,7 persen responden menilai belum ada tokoh muda yang layak menjadi presiden Indonesia saat ini. Hanya 41,7 persen responden yang menyatakan sebaliknya. (Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p