Tuesday, October 30, 2007

Pemuda Jangan Cuma Minta Jatah


Ikrar Harus Diikuti Langkah Konkret

Jakarta, Kompas - Ikrar para pemuda dan tokoh muda Indonesia untuk bangkit membangun Indonesia yang sejahtera harus diikuti dengan langkah konkret. Jika tidak, ikrar yang dinyatakan saat memperingati Hari Sumpah Pemuda pada Minggu malam itu hanya sekadar menjadi upacara.

"Kaum muda tidak dapat hanya bilang ’kini saatnya kami memimpin’ dan kemudian minta jatah kekuasaan atau berharap kekuasaan akan datang dengan sendirinya. Kekuasaan itu harus diperjuangkan," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, Senin (29/10).

Cara paling jelas dan efektif untuk mendapatkan kekuasaan pada saat ini, kata Arbi, adalah dengan terjun di partai politik. "Kepemimpinan memiliki dua unsur, yakni kapabilitas dan kekuatan politik. Seseorang yang punya semua kapabilitas untuk memimpin, seperti popularitas dan keahlian, tidak akan berarti apa-apa jika tidak punya kekuatan politik. Sekarang, sumber kekuatan politik itu terutama ada di parpol," paparnya.

Pendapat senada disampaikan Budiman Sudjatmiko, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik yang sekarang aktif di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Menurut dia, untuk mendapatkan kepemimpinan politik yang nyata dan efektif, harus lewat parpol.

Budiman khawatir jika yang digagas dalam ikrar Minggu lalu hanya sebatas pada ide. Sebab, jika hanya ide, sudah banyak kaum muda yang melakukannya.

Sudah beda

Berdasarkan pengamatan Kompas, perbedaan sudah muncul sejak aktivitas mahasiswa marak di tahun 1990. Saat itu bentuk aktivitas dibagi dua, yaitu kelompok studi dan gerakan. Mantan aktivis kelompok studi sekarang banyak yang berada di lembaga-lembaga penelitian.

Mantan aktivis gerakan itu sendiri dibagi dua lagi, yaitu yang percaya dan tidak percaya kepada parpol. Mereka yang percaya kepada parpol sekarang banyak yang menjadi aktivis parpol, seperti Budiman (PDI-P), Rama Pratama (PKS), dan Anas Urbaningrum (Partai Demokrat). Mereka yang tidak percaya kepada parpol umumnya memilih aktif di lembaga swadaya masyarakat.

Mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Andi Arief menuturkan, ikrar pada Minggu malam lalu hanya menjadi tindakan kritis semata karena cara dan alat politiknya tidak jelas.

"Sekarang hanya ada tiga cara untuk meraih kepemimpinan, yaitu ikut kekuasaan yang baik, bergabung dengan oposisi, atau membangun kekuatan sendiri seperti dengan membuat parpol baru. Sistem yang sekarang memberikan kesempatan kepada siapa pun, termasuk kaum muda, untuk bersaing," papar Andi yang saat ini berada di kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrat mengakui pentingnya memberikan ruang kepada generasi muda untuk mengambil peran di kepemimpinan partai.

Ahmad Yani, Ketua Lembaga Bantuan Hukum DPP PPP, mengatakan, contoh yang paling jelas adalah munculnya sosok Ketua Umum Suryadharma Ali dan Sekjen Irgan Chairul Mahfiz yang masing-masing berusia 51 tahun dan 44 tahun. Saat ini sebanyak 28 dari 37 pengurus DPP PPP berusia di bawah 50 tahun.

Peter Tji’din, Ketua Departemen Pemuda DPP Partai Demokrat, mengatakan, para tokoh muda di Partai Demokrat diberikan peluang sebesar-besarnya untuk berkiprah di kepemimpinan partai.

Kapasitas sosial

Ikrar dan gerakan kaum muda saat ini akan jauh berdampak jika diorientasikan pada ranah substansi, yaitu menegakkan konstitusi dalam konteks saat ini dan tidak semata-mata diarahkan untuk memunculkan tokoh pemimpin baru.

Setidaknya demikian pandangan yang muncul dari Direktur Eksekutif Elsam Agung Putri, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, dan Koordinator Kontras Usman Hamid.

Munculnya pemimpin baru hanyalah proses alamiah yang terjadi dalam dinamika gagasan itu. "Gerakan ini bukan gerakan yang menghadapkan kaum tua dan kaum muda, tetapi justru gerakan yang hendak menyerap pikiran-pikiran baru yang dapat dikonsolidasikan untuk menghadapi tantangan besar di depan," tutur Agung Putri.

Pilihan kembali pada konstitusi, kata Yudi Latif, merupakan langkah penting karena selama ini para pemimpin politik kesulitan menyusun platform nasional, sementara konstitusi telah memberi bingkai yang jelas. "Gerakan kaum muda diarahkan untuk itu, dan gerakan ini bukan tempat untuk mencari kekuasaan," tutur Yudi.

Gerakan kaum muda itu dibangun sebagai sarana penguatan konsep yang dapat berpengaruh pada kinerja tanpa harus menduduki jabatan formal.

Usman Hamid menambahkan, pilihannya untuk tetap ikut berjuang menegakkan hak asasi manusia di Indonesia adalah bagian dari refleksi sejarah dari peristiwa 1998. "Korban yang terjadi bukanlah sekadar ongkos politik dari sebuah perubahan, tetapi itu seharusnya dapat dipertanggungjawabkan," tuturnya.

Sikap itu yang kemudian menjadi pendorong baginya untuk terlibat dalam penguatan masyarakat. (NWO/A13/JOS)

No comments:

A r s i p