Wednesday, October 31, 2007

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN (1)


Kemandirian Para Perempuan Tiga Kota

EVY RACHMAWATI/ PUTRI ROSALINA

Perjalanan tiga kota telah mempertemukan kami pada perempuan-perempuan perkasa. Ini kisah tentang para perempuan desa dan komunitasnya dengan daya hidup luar biasa. Nun jauh dari gegap gempita panggung perpolitikan, mereka berkarya demi mencapai kemandirian.

Mereka bukan sosok perempuan dari kalangan menengah atas berpenampilan mentereng. Dalam keseharian, mereka harus bergelut dengan berbagai masalah rumah tangga, mulai dari keuangan yang pas-pasan hingga suami yang pengangguran dan doyan judi.

Meski demikian, mereka adalah individu maupun kelompok yang gigih membangun semangat berswadaya demi perbaikan mutu hidup masyarakat di bidang ekonomi dan sosial. Manajemen hidup berlandaskan swakelola dan swadaya. Kisah sukses pemberdayaan masyarakat itu datang dari Boyolali, Klaten (keduanya di Jawa Tengah), dan Sleman (DI Yogyakarta).

Kegigihan memperjuangkan perbaikan taraf hidup perempuan miskin telah dipelopori Sri Suryatingsih, yang akrab dipanggil Bu Ning, di desanya, di Ampel, Boyolali. Perempuan lulusan D-3 Akuntansi ini telah mengawali karyanya dengan mengumpulkan lima perempuan pengusaha mikro di sekitarnya pada tahun 2001.

Setiap anggota pun menyetorkan modal awal Rp 10.000 untuk digunakan sebagai dana pinjaman bagi anggota dengan uang jasa dua persen per bulan untuk kas kelompok. Pinjaman itu dapat diangsur hingga sepuluh kali. Jika terlambat membayar cicilan utang, anggota bersangkutan harus membayar denda seratus persen dari pinjaman.

Gaungnya pun makin kuat dan membuat warga dari desa lain ingin mengembangkan aktivitas serupa. Akhirnya pada 3 November 2003, kaum perempuan pengusaha yang kebanyakan adalah penjual bubur, tempe dan usaha sektor informal lain mendeklarasikan kelompok bernama Forum Peduli Perempuan Pengusaha Kecil Ampel (FP3K-A).

Kegiatan FP3K-A ini pun direduplikasi di tempat lain sebagai strategi pemberdayaan perempuan pengusaha kecil. Hingga saat ini, FP3K sudah berkembang di tiga kecamatan di Boyolali dan memiliki lebih dari 90 anggota. "Setiap terkumpul 20 anggota baru, harus membuat kelompok sendiri. Biar enak kalau mau curhat masalah," ujar Ning.

Tanpa bantuan dana ataupun pendampingan dari pihak mana pun, kelompok itu makin berkembang jumlah anggota dan dana yang dimiliki. Agar anggota yang paling lemah berdaya dan tidak tertinggal dengan lainnya, kepengurusan di kelompok itu mensyaratkan pengurus harus diangkat berdasar rapat pengurus dan calon harus dari anggota dengan ekonomi paling lemah.

Menurut penuturan sejumlah anggota kelompok itu, pada praktiknya, dana simpan pinjam itu telah menjadi gantungan mereka di kala susah. Selain untuk mengembangkan usaha, para anggota juga meminjam uang untuk membayar uang sekolah anak maupun keperluan lain. "Jadi bisa bantu keluarga," ujar Ny Mariani.

Kisah sukses pemberdayaan perempuan itu pun datang dari Dusun Kebon Konang, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Sistem simpan pinjam bagi buruh batik di desa itu yang dipelopori Suminah berkembang hingga memiliki dana ratusan juta rupiah, memiliki mesin pencelup batik sendiri dan pemasaran batik ke masyarakat menengah atas.

Semula, Suminah berperan sebagai motivator, ketua, merangkap bendahara dan sekretaris kelompok. Setelah mendapat pelatihan manajemen dari Bina Swadaya dan pemberian kredit mikro, KSM Sidomukti itu berkembang dengan kepengurusan modern. Kegiatan kredit mikro itu pun bermanfaat bagi para anggotanya untuk usaha maupun memenuhi keperluan lain.

Pemberdayaan perempuan bukan hanya terbatas pada sektor ekonomi. Peran yang dilakukan Dalinem, warga Sumber Watu, Pegunungan Kapur Candi Boko, Sleman, DIY, dan para perempuan sekitarnya dalam membangun sarana desa turut memajukan desa mereka. Bersama warga lain, mereka membuat jalan agar desa mereka tidak terisolasi.

Berdaya

Kemandirian para perempuan itu ternyata dapat meningkatkan taraf hidup perempuan miskin di daerah itu. Para buruh batik yang tergabung dalam KSM Sidomukti, misalnya, telah memiliki modal sendiri, lepas dari para pengepul dan para rentenir. Sejumlah anggota juga mengembangkan usaha di luar batik, seperti peternakan.

Untuk menjaga kesinambungan kelompok itu, setiap bulan para anggota berkumpul untuk menghitung jumlah pinjaman, membayar cicilan utang, maupun sekadar bersilaturahim, dan berbagi masalah rumah tangga. "Seluruh uang kelompok yang jumlahnya ratusan juta rupiah itu jarang yang mengendap, terus berputar," kata Suminah.

Sementara itu, kegiatan FP3K-A di Boyolali tidak hanya berhenti pada kegiatan sosial ekonomi. "Peningkatan pendapatan pada perempuan harus seiring dengan peningkatan pengetahuan dan tingkat partisipasi perempuan. Ini memerlukan upaya penyadaran pada para anggota tentang kesetaraan jender," ujar Ning.

Rendahnya tingkat pendidikan anggota tak membuatnya menyerah mengenalkan kesetaraan jender dengan analogi sederhana yang dekat dengan kehidupan mereka. Sebagai contoh, jika suami memberi uang belanja minimal tetapi tetap membeli rokok, istri harus mengingatkan karena dalam uang belanja itu ada hak-hak anak mereka juga.

Pengembangan usaha kelompok itu disertai dengan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi dan penyadaran jender. Hal ini akhirnya membuat banyak anggota memiliki daya tawar terhadap sang suami dalam urusan ekonomi rumah tangga. Mereka juga ikut menentukan harga jual ternak kambing yang semula ditentukan sang suami.

Ada juga anggota yang memiliki masalah rumah tangga, seperti suami tidak punya pekerjaan tetap ataupun uang belanja dihabiskan untuk bermain judi. Hal ini membuat para anggota saling menguatkan diri untuk bisa mandiri dan memperbaiki kesejahteraan keluarga mereka.

Keberhasilan gerakan perempuan ini mencapai puncaknya dengan mendorong adanya dialog publik dalam pemilihan kepala desa yang selama ini tidak pernah dilakukan dalam politik desa. Usulan itu pun mendapat ganjalan dari aparat desa yang khawatir gerakan itu akan menentang kebijakan mereka.

Keberhasilan kelompok itu membuat banyak pihak mulai melirik komunitas perempuan pengusaha itu dengan menawari kredit. Akan tetapi, kredit ringan itu terpaksa ditolak lantaran harus ada jatah bagi oknum pejabat. "Banyak bank yang menawarkan pinjaman, tetapi harus pakai agunan. Ini sulit kami lakukan," kata Ning.

Pemberdayaan

Sejauh ini, fenomena maraknya pemberdayaan masyarakat itu sebagai jawaban atas pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari kebijakan terpusat sejak tahun 1970-an. Pemberdayaan perempuan itu juga jawaban atas tantangan konsep pertumbuhan yang melupakan kebutuhan rakyat pada level akar rumput.

Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007), ada tiga tahapan proses pemberdayaan. Proses pertama, penyadaran dengan target, yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka punya hak untuk mempunyai sesuatu. Prinsipnya, membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka.

Proses selanjutnya adalah diberikan daya kuasa yang bersangkutan agar mampu terlebih dahulu. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. Selanjutnya, target diberi daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang.

Sebagaimana dilakukan beberapa komunitas perempuan desa yang sukses memberdayakan diri sendiri, mereka aktif memanfaatkan peluang dan berdaya atas diri mereka sendiri tanpa bergantung pada pihak mana pun. Mereka berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan komunitas dan mempunyai perasaan bermasyarakat.

Sumodiningrat dalam bukunya menyebutkan, ada lima ciri khas dalam penerapan pemberdayaan masyarakat yakni stimulus modal, pendampingan, bantuan sarana dan prasarana, pengembangan kelembagaan dan pemantauan, serta pelaporan. Berkat kegigihan mereka, komunitas perempuan di tiga kota ini mampu berdaya meski miskin dukungan dari pihak lain.

Berita Pemilu di Media Massa Perlu Dibuat Aturan

Jakarta, Kompas - Aturan yang jelas tentang berita dan iklan di media massa yang terkait dengan pemilihan umum perlu dibuat secara jelas dan tegas. Sebab, dampak dari berita dan iklan tersebut diyakini amat besar. Sementara di sisi lain, banyak media yang cenderung tidak obyektif dalam pemilihan umum.

Demikian pemikiran yang muncul dalam peluncuran buku Kampanye Media yang Demokratis di Jakarta, Selasa (30/10). Sebagai pembicara dalam acara ini, peneliti Centre for Strategic and International Studies Indra J Piliang serta Arief Suditomo dari Rajawali Citra Televisi Indonesia.

Besarnya dampak iklan dan pemberitaan di media terlihat jelas saat Pemilihan Umum 2004. "Kunci kemenangan pasangan Yudhoyono-Kalla saat itu amat ditentukan oleh citra yang dibuat dan ditampilkan di media. Sebab, mereka tidak memiliki mesin partai sekuat pasangan lain, seperti Megawati-Hasyim Muzadi," kata Arya Mahendra Sinulingga, salah satu penyusun buku itu.

Kesadaran terhadap peran media ini juga amat dipahami pasangan Yudhoyono-Kalla. Ini terlihat dari besarnya dana yang mereka alokasikan untuk belanja iklan di media. Dari total dana kampanye pasangan ini yang besarnya Rp 24,722 miliar, sebanyak 84,29 persen atau Rp 20,838 miliar di antaranya ternyata dipakai untuk biaya kampanye di media cetak, televisi, dan radio.

Persentase belanja media pasangan Yudhoyono-Kalla ini paling besar jika dibandingkan dengan pasangan lain, baik dari segi jumlah maupun persentase.

Menurut Indra J Piliang, penggunaan media seharusnya tidak hanya dilihat ketika kampanye. Sebab, titik puncak peran media justru terjadi sebelum kampanye. Pada tahun 2004, titik puncak ini misalnya terjadi ketika Partai Golkar mengadakan konvensi atau saat Yudhoyono mulai dicitrakan sebagai orang yang dizalimi pemerintahan Megawati.

"Dengan demikian, pengaturan seharusnya tidak hanya ketika kampanye. Pengaturan juga harus menyangkut bagaimana berita seharusnya disajikan dan bagaimana menyelesaikan sengketa yang terjadi. Sebab, banyak berita tentang pemilu yang tidak berimbang dan saat itu juga sering terjadi sengketa yang melibatkan media," ucap Indra.

Sementara itu, Arief Suditomo menuturkan, tidak semua media, terutama televisi, bersikap partisan pada saat pemilihan umum. (NWO)

Agama Harus Menoleransi Demokrasi


Jakarta, Kompas - Harus ada wilayah tempat agama menoleransi demokrasi untuk berkembang dan sebaliknya bagi demokrasi menghormati hak pemeluk agama untuk berorganisasi serta mengekspresikan diri.

Demikian diingatkan guru besar ilmu politik Universitas Columbia New York, Amerika Serikat, Alfred Stepan, dalam diskusi bertemakan "Democracy and Secularism in the Muslims World: Challenges and Opportunities" di Yayasan Paramadina, Jakarta, Selasa (30/10). Diskusi itu diprakarsai International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Yayasan Paramadina.

Stepan juga menolak definisi sekularisme klasik yang mengatakan agama harus dijauhkan dan tidak diberikan peran sama sekali dalam urusan politik-kenegaraan. Definisi itu tidak relevan lagi dengan kondisi zaman dan pada dasarnya semua agama besar di dunia memiliki komponen dalam ajarannya yang berguna bagi pengembangan demokrasi.

Stepan juga mengakui, terjadi miskonsepsi di dunia Barat, termasuk di kalangan intelektual, yang menilai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam itu tak demokratis. "Ini terjadi karena mereka mencampuradukkan antara Islam dan Arab. Padahal, Arab hanya mencakup 22 persen dari keseluruhan Muslim di dunia," ujar Stepan.

Stepan juga menilai Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk Muslim sejak reformasi 1998 secara konsisten, meski tak selalu mulus, menjalankan hubungan yang harmonis antara demokrasi dan agama. Ini tak lepas dari kehadiran aktor penting, seperti organisasi keagamaan Islam yang besar dan berpengaruh, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Namun, Stepan mengingatkan pula, demokratisasi di negara yang mayoritas warganya beragama Islam bisa menjadi jebakan bagi demokrasi. Kelompok fundamental yang cenderung kurang demokratis bisa memenangi pemilu yang demokratis dan menyebarkan ideologi mereka.

Jika kelompok fundamentalis ini menguasai pemerintahan, mereka dapat saja menghancurkan demokrasi. (a13/mzw)

Aturan Calon Perseorangan Harus Segera Selesai


Jakarta, Kompas - Aturan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan segera selesai agar tak ada kekosongan hukum dalam hal pencalonan kepala daerah. Saat ini proses perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk calon perseorangan masih di Badan Legislasi DPR.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Djafar Badjeber, Selasa (30/10), mengatakan, ketika berkunjung ke daerah-daerah, salah satu masalah yang diungkapkan masyarakat adalah kekosongan hukum Pasal 59 Ayat 1 UU No 32/2004 yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Saya mendesak pemerintah dan DPR agar segera menyelesaikan revisi aturan itu. Saya bukan membela calon perseorangan, tetapi ada kekosongan hukum di sini dan berpotensi untuk digugat oleh masyarakat. Jadi jangan sampai ada persoalan hukum yang menyusul," kata Djafar.

Secara terpisah, anggota Badan Legislatif (Baleg), Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V) mengungkapkan, proses pembahasan revisi UU No 32/2004 mengenai calon perseorangan di Baleg DPR sudah selesai. Selanjutnya, hasil dari Baleg DPR akan disampaikan ke Sidang Paripurna DPR.

"Sebenarnya akan dibawa ke sidang paripurna kemarin, tetapi belum jadi. Mudah-mudahan nanti sidang paripurna pertama kali, hasil dari baleg akan dibacakan," kata Saifullah.

Dalam draf revisi UU No 32/ 2004, Baleg DPR menyepakati besar dukungan untuk calon perseorangan adalah 3-15 persen dari jumlah penduduk. Angka itu dibagi dalam tujuh kategori, yaitu tiga persen, lima persen, tujuh persen, sembilan persen, 11 persen, 13 persen, dan 15 persen. Penentuan besar dukungan bergantung pada jumlah penduduk setiap daerah.

"Hasil dari Baleg DPR ini tidak mungkin ada perubahan lagi. Kemarin memang sempat melebar sampai ada usulan soal usia calon kepala daerah, tetapi ini akan melampaui masalah untuk revisi UU No 32/2004 karena kami kan hanya merevisi sesuai dengan keputusan MK," kata Saifullah.

Ia menjanjikan revisi UU No 32/2004 ini akan selesai akhir tahun ini. Dengan demikian aturan calon perseorangan ini bisa dipakai untuk daerah yang akan menyelenggarakan pilkada pada tahun 2008. "Saya kira tidak perlu peraturan pemerintah untuk itu," ujar Saifullah. (SIE)

Akomodasi Perempuan dalam Parpol Perlu Dipaksakan


Jakarta, Kompas - Keikutsertaan perempuan dalam politik sangat bergantung pada kemauan partai politik sendiri untuk membuka akses bagi mereka. Syarat sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol merupakan langkah awal untuk memenuhi target 30 persen anggota legislatif perempuan.

Ketua Umum Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa sekaligus anggota Komisi II DPR Ida Fauziyah di Jakarta, Selasa (30/10), mengatakan masih muncul kekhawatiran dari sejumlah parpol tentang syarat 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol seperti yang diusulkan dalam RUU Partai Politik.

Keterbatasan jumlah dan kurangnya kemampuan kader perempuan dalam parpol masih menjadi alasan pengurus parpol yang didominasi laki-laki.

Alasan serupa juga dikemukakan partai saat penyusunan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol untuk Pemilu 2004. Jika alasan tersebut masih digunakan untuk menghadapi Pemilu 2009, hal itu menunjukkan kurangnya komitmen partai untuk mengakomodasi perempuan.

"Seharusnya dari Pemilu 2004 hingga 2009 mendatang, parpol sudah mengonsolidasikan keterwakilan perempuan," katanya.

Karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat memaksa partai politik segera mengakomodasi perempuan. Kemauan parpol untuk membuka kesempatan bagi perempuan secara otomatis akan melahirkan sikap aktif perempuan dalam politik dan meningkatkan jumlah partisipasi mereka dalam lembaga legislatif.

"Perempuan sendiri tak boleh diam, harus proaktif (masuk parpol)," ujarnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik Titi Sumbung mengatakan, penolakan terhadap kepengurusan partai yang berisi 30 persen perempuan umumnya justru berasal dari partai politik besar yang sudah lama berdiri.

"Pengurus parpol lama enggan menempatkan perempuan dalam posisi strategis karena akan menggusur jabatan pihak-pihak yang sudah lama berkiprah dalam partai," kata Titi yang menyangkal alasan sejumlah partai yang menganggap jumlah perempuan berkualitas dalam politik sangat sedikit. (MZW/A14)

Reformasi Birokrasi (2)


Menanti Perlawanan Korupsi dari Dalam

Sidik Pramono

Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk menghimpun dana nonbudgeter?

Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja "perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.

Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.

Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."

Mentalitas birokrasi

Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa" meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.

Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang? Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material".

Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.

Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.

Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan, pengampu, dan pemelihara.

Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.

Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang bersangkutan.

Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas kedinasannya.

Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah. Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.

Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh penyanggahnya.

Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi. Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.

Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut menyanggah?

Wapres Kritik Pemuda


Emha: Jangan Menunggu Panutan

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritik hasil Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia yang dinilainya hanya meminta-minta. Ia membandingkan kaum muda masa Sumpah Pemuda 1928 yang tidak minta kemerdekaan kepada Belanda, tetapi menyatakan kemerdekaan.

"Saya minta Anda mengubah pola berpikir. Jangan seperti itu saja. Lihat para pemuda waktu Sumpah Pemuda. Mereka tidak minta kemerdekaan kepada Belanda, tetapi menyatakan sebuah kemerdekaan. ’Kami merdeka, mau apa Belanda?’ Harusnya begitu, bukan cuma meminta-minta ini dan itu," ungkap Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (30/10).

Pernyataan Wapres itu disampaikan saat menerima peserta Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia 2007 yang dipimpin Priyatno. Hadir Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault.

"Saya agak sedikit kurang sependapat jika hasil Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia itu isinya hanya meminta-minta saja. Sumpah Pemuda, 79 tahun lalu itu, justru tekad dan upaya. Kalau Anda meminta, itu artinya tangan di bawah. Sejak kapan kalian selalu meletakkan tangan di ba- wah?" tambah Wapres.

"Kepemimpinan itu tidak pernah diberikan. Akan tetapi harus diusahakan, dan pada waktunya, karena sudah memiliki kemampuan, baru mengambil alih kepemimpinan. Soal kepemimpinan juga terkait dengan kemampuan dan kesanggupan, dan bukan karena soal usia," ungkap Wapres.

Sementara itu, Taufik Basari dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menuturkan, untuk mempersiapkan diri mengikuti bursa kepemimpinan nasional, sejak sekarang pemuda harus mulai bekerja membuktikan kemampuannya kepada masyarakat. Hanya dengan cara ini masyarakat percaya dan kelak menyerahkan kepemimpinan kepada mereka.

Dalam seminar dan diskusi "Aktualisasi Nilai-nilai Sumpah Pemuda di Era Globalisasi" yang diadakan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika di Jakarta, kemarin, penulis Emha Ainun Nadjib menyarankan para generasi muda agar jangan menunggu panutan dari generasi sebelum mereka. "Kalau mau jadi nasionalis, jadilah nasionalis tanpa perlu mencontoh siapa pun karena sudah tidak ada lagi tokoh panutan. Kalian (generasi muda) harus punya ekstra-independensi sendiri," ungkapnya. (HAR/NWO/A07/JOS)

Tidak Bersama Pun Kita Bisa


EFFENDI GAZALI

Kata-kata pamungkas (soundbite) pasangan SBY-JK "Bersama Kita Bisa", yang amat populer seputar Pemilu 2004, ternyata tak bertuah hingga tahun ketiga pemerintahan mereka! Sebelum 20 Oktober 2007, mereka sudah dihadapkan pada ujaran "Tidak Bersama Pun Kita Bisa!"

Di Indonesia memang belum jelas betul kerangka waktu dan tradisi pencalonan tokoh unggulan dari partai serta jenjang karier politiknya. Jika tiap partai memiliki semacam konvensi dari tingkat bawah, untuk kemudian diajukan ke konvensi nasional, dengan jadwal hitung mundur tertentu dari pemilu, kemungkinan besar kita tidak perlu sehiruk-pikuk sekarang. Bahkan mungkin SBY-JK pun tidak perlu memberikan komentar yang bisa diinterpretasi ke arah menguatnya peluang mereka berpisah pada 2009.

Namun, itulah yang terjadi, partai-partai politik yang diharapkan makin dewasa, melakukan koreksi internal yang memadai, dan berjalan menuju manajemen modern, terkesan masih terlalu sarat kepentingan sesaat elitenya. Beberapa parpol dengan enteng meniadakan mekanisme konvensi, sambil mengajukan aneka alasan sekenanya dan jauh dari upaya perbaikan sistem yang ajek. Lalu dibawalah hasil konvensi sebelumnya yang tak berhasil mengantar calon mereka menjadi pemenang pemilu presiden.

Atau kalau "rakyat" dan sebagian besar pengurus partai sudah mencalonkan suatu nama, untuk apa lagi konvensi? Seakan konvensi tak pernah dimaksudkan sebagai suatu kompetisi program dan identifikasi kandidat dengan substansi itu!

Padahal, inti manajemen parpol modern—sekaligus manajemen komunikasi politik—yang mendorong tradisi penahapan dan kerangka waktu pencalonan yang jelas, tidak hanya membawa manfaat bagi partai, tetapi juga bagi sistem kompetisi antarpartai, dan terutama bagi publik.

Tersulut lebih awal

Ketiadaan mekanisme dan tradisi pencalonan yang ajek dari parpol, yang merupakan basis demokrasi modern, membuat deklarasi calon perseorangan yang belum memiliki parpol, agar dilirik partai, ditanggapi berlebihan.

Di banyak negara yang sudah mengakui hak calon perseorangan dengan persyaratan—umumnya—dari puluhan ribu sampai tiga persen pendukung, tak perlu ada reaksi berlebihan oleh elite parpol apalagi pasangan yang sedang memerintah. Singkatnya, calon perseorangan sibuk mencari dukungan, mereka menyadari amat sulit untuk menang; elite parpol menyiapkan diri bertarung dalam konvensi; presiden-wakil presiden meningkatkan popularitas dengan penuntasan urgensi program-program yang lebih dirasakan makna dan manfaatnya oleh publik (karena itu juga berbau populis).

Jika presiden dan wakil presiden dari satu partai, lazimnya jarang didengar pernyataan kemungkinan berpisah untuk satu periode berikutnya. Kalaupun bukan dari satu partai, umumnya di sekitar konvensi partai tingkat nasional baru kita lihat kristalisasi gejala "pisah-ranjang" itu. Namun, di Indonesia atmosfer politik kini ikut mendorong persaingan yang tersulut lebih awal ini menjadi makin terbuka.

Menurut berbagai jajak pendapat, popularitas pemerintah terus menurun meski popularitas pribadi SBY tetap yang teratas, sementara popularitas pribadi JK masih jauh dari signifikan. Megawati memilih menerima usulan para pengurus (akar rumput) lebih awal dibandingkan dengan perkiraan pengamat, Maret 2008.

Sutiyoso lebih taktis, mendeklarasikan secepatnya. Selain nothing to lose, juga untuk jaga-jaga. Kalau saja dia diutak-atik untuk kasus penyimpangan selama menjadi Gubernur DKI, setelah deklarasi langsung bisa diinterpretasi bernuansa politis. Tambah lagi ada Wiranto, Sultan yang mulai sering tampil, juga nama-nama lain yang dielus-elus media karena potensinya ataupun biar makin ramai.

Pemusik dan saudagar

JK dan timnya terkesan lebih agresif membaca atmosfer ini. Alasannya, pertama, tentu karena hasil survei popularitasnya masih amat perlu dipompa menjelang pertengahan 2008. Namun, kedua, tetap harus ada sebuah interpretasi lain di balik fakta ini: mesin politiknya terasa makin solid untuk menggeliat.

Perjalanan panjang silaturahimnya sekitar Idul Fitri ke berbagai provinsi tertata hangat dengan suara-suara spontan mencalonkannya sebagai kandidat presiden. Awalan, kunjungan ke mantan pejabat dan tokoh kunci bisa dibaca sebagai niat memperoleh simpati seluas mungkin, sekaligus berfungsi sebagai pembuka yang halus untuk safarinya setelah itu.

Tampaknya JK akan terus diletakkan pada positioning tokoh yang GTD (get things done) dan banyak menekankan kemajuan ekonomi yang ringkas-praktis, mudah dilihat serta dirasakan rakyat. Sisi yang bisa menjadi kelemahannya (selain soal luar Jawa, yang nanti tergantung dari siapa pasangannya), antara lain gencarnya seruan untuk pemimpin lebih muda dan kenekatannya mendekatkan diri dengan pertemuan "saudagar".

Selain ke Dunia Fantasi, SBY meluncurkan album lagu-lagu ciptaannya. Sah-sah saja dalam kepresidenan modern (lihat Pfiffner, 2007). Siapa tahu album ini bisa mendongkrak popularitasnya yang sedang turun. Apalagi jika lagu itu bisa bersanding dengan karya Nidji, Peterpan, Matta, dan lainnya pada Top-10. Persaingan nyata ada pada mereka, meski bisa saja berdampak pada popularitas politik. Yang agak kurang pas mungkin alasan peluncuran album itu pada 28 Oktober 2007 saat ratusan aktivis sedang melakukan Ikrar Kaum Muda!

Mendorong rakyat mendaftarkan karya cipta tentu oke-oke saja, tetapi tak usah terlalu memaksa kaitannya dengan Sumpah Pemuda. Kalau saya penasihatnya, saya akan anjurkan hanya menyumbangkan dua lagu (yang lain simpan dulu) ditambah dari pencipta dan artis yang ramai malam itu. Satu berupa lagu populer perkasihan, apa pun interpretasi amelioratifnya, satu lagi yang benar terkait kebangkitan pemuda!

Namun, di atas semua rangkaian tebar pesona ini, pernahkah rakyat mendapat sesuatu yang nyata? Adakah yang pernah bilang, "Saya akan segera mewujudkan social-safety net, setidaknya layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua, semiskin apa pun Anda". Memang sementara ini, kita tidak pernah sungguh bersama!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

"Realignment" Paket UU Politik


Rachmad Bahari

Realignment atau penyelarasan kembali terhadap paket revisi empat Undang-Undang Politik yang tengah dibahas di DPR perlu dilakukan. Alur perangkat hukum yang mengatur keberadaan lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah berada dalam posisi tidak sepadan.

Perangkat hukum yang mengatur keberadaan lembaga perwakilan rakyat memiliki alur linear terintegrasi dari pusat ke daerah. Sementara perangkat hukum yang mengatur keberadaan pemerintah dari pusat ke daerah terpencar dan memiliki alur zig zag.

Selain itu, adanya putusan MK No 5/PUU-V/2007 yang membolehkan calon perseorangan sebagai peserta pemilihan umum kepala daerah (pilkada) telah mendorong UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) juga perlu dimasukkan dalam realignment revisi paket UU Politik.

Keberadaan lembaga perwakilan rakyat yang memiliki alur perangkat hukum linier segaris dan terintegrasi ditunjukkan dengan keberadaan UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) dan UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk).

Keberadaan pemerintah (eksekutif) pusat dan daerah diatur melalui berbagai UU yang terpencar dalam alur yang zig zag. Untuk memilih presiden dan wakil presiden, kita memiliki UU No 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Sementara aturan tentang pilkada hanya merupakan bagian dari UU Pemda.

Sampai saat ini kita belum memiliki UU tentang Lembaga Kepresidenan sebagai imbangan dan padanan UU Susduk untuk lembaga legislatif. Keberadaan UU tentang Lembaga Kepresidenan diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum yang berkaitan dengan tugas, kewajiban, hak dan wewenang kepala eksekutif negara. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kementerian Negara yang merupakan inisiatif DPR kini juga mengalami kemacetan. Sementara itu, tugas pokok dan fungsi (tupoksi), wewenang, hak, dan kewajiban gubernur, bupati dan wali kota selaku kepala eksekutif daerah telah diatur secara jelas dalam UU Pemda.

Berkaitan dengan revisi UU Pemda, sebaiknya pemerintah dan DPR tidak hanya bersepakat untuk melakukannya secara terbatas, utamanya yang menyangkut persyaratan calon kepala daerah. Akan tetapi, perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya integrasi ketentuan tentang pilkada ke dalam UU Pilpres sehingga menjadi UU Pemilu Kepala Eksekutif dari pusat sampai daerah sebagaimana UU Pemilu Legislatif. Kemungkinan lain adalah membuat UU Pilkada yang terpisah dari UU Pemda.

Langkah awal realigment, misalnya, dapat dilakukan dengan mencabut ketentuan yang mengatur ihwal KPU pada UU Pemilu Legislatif, UU Pilpres, dan UU Pemda karena telah diatur dalam UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pencabutan tersebut perlu dilakukan supaya tidak terjadi duplikasi ketentuan hukum tentang penyelenggaraan pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada.

Selain itu, untuk menjamin terwujudnya mekanisme checks and balances antarlembaga dalam praktik penyelenggaraan negara, perlu dilakukan penyeimbangan dan penyepadanan UU yang mengaturnya. Artinya, UU yang mengatur keberadaan lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah harus sepadan dan setara. Padanan UU Pemilu, misalnya, adalah UU Pilpres dan UU Pilkada atau UU Pemilu Kepala Eksekutif yang terintegrasi. Sebagai padanan UU Susduk adalah UU Lembaga Kepresidenan dan UU Pemda, atau UU Pemerintah terintegrasi yang mengatur keberadaan pemerintah pusat dan daerah.

Realignment UU Politik memang bukan perkara mudah, utamanya yang menyangkut UU Lembaga Kepresidenan. Keberadaan UU Lembaga Kepresidenan sampai saat ini masih menjadi pro-kontra. Pihak yang setuju keberadaan UU Lembaga Kepresidenan menyatakan keberadaan kepala eksekutif perlu diatur dengan UU sebagaimana Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara angka VII yang menyatakan kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.

Sebaliknya, kalangan yang tidak setuju terhadap keberadaan UU tersebut beralasan tugas presiden telah diatur dalam konstitusi sehingga tidak perlu lagi diatur melalui UU. Keberadaan UU Lembaga Kepresidenan juga dinilai dapat menghambat tugas dan kinerja eksekutif yang memerlukan keleluasaan dalam pengambilan keputusan serta acapkali harus menggunakan diskresi untuk mengatasi masalah mendesak dan segera diselesaikan.

Terlepas dari itu semua, kita harus ingat bahwa ketidakseimbangan antarcabang pemerintahan telah membawa negara kita menuju situasi yang tidak kondusif bagi persemaian demokrasi. Situasi negara yang legislative heavy pada masa sebelum Dekrit Presiden 1959 dan pasca-Pemilu 1999 telah membawa negara dalam kondisi tidak stabil. Sementara situasi negara yang executive heavy pasca-Dekrit Presiden 1959 dan masa Orde Baru telah menghadirkan rezim represif otoritarian yang sama sekali tidak demokratis walau berslogan Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.

Kita perlu mengingatkan bahwa realignment UU Politik dan UU Pemda perlu dilakukan untuk menjamin terwujudnya mekanisme checks and balances dalam praktik penyelenggaraan negara. Terjaminnya mekanisme checks and balances dalam praktik penyelenggaraan negara akan mengurangi kecenderungan dominasi antarcabang pemerintahan.

Rachmad Bahari Peneliti pada Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS), Jakarta

Arus Bawah Reformasi Birokrasi


Robert Endi Jaweng

Memilih jalan pembaruan birokrasi dari atas dan berlangsung massal tampaknya bukan pilihan efektif dan realistis untuk negeri ini. Kita bukan Korea Selatan atau Filipina yang di masa transisi para pemimpinnya (Presiden Park Chung Hie dan Corazon Aquino) berhasil meletakkan dasar prioritas bagi reformasi birokrasi nasional. Di sini, menyitir Eko Prasojo dalam Politik Reformasi Birokrasi (Kompas, 17/10), tak cukup tersedia komitmen politik dan kompetensi untuk melakukan langkah besar semacam itu.

Maka, kita harus menekuni jalan setapak tetapi pas dan bisa membuktikan hasil: reformasi birokrasi lokal. Inilah ranah baru yang dirambah sejumlah organisasi pembangunan (LSM, konsultan, dan lembaga donor) bersama pemda sekitar dua tahun belakangan. Diaspora reformasi birokrasi itu sedang menggelinding di berbagai pelosok negeri. Dalam perkara satu ini, daerah jauh meninggalkan pusat.

Birokrasi

Reformasi birokrasi, dikenal pula dengan istilah inovasi kebijakan atau best practices pemerintahan, lebih tepat dikerjakan di level kabupaten/ kota.

Pertama, pilihan bentuk dan prioritas reformasi bisa fleksibel menurut variasi kondisi daerah. Kedua, skala perubahan yang lebih kecil membutuhkan biaya yang lebih bisa dikalkulasi. Ketiga, posisi kabupaten/kota sebagai unit pemerintahan dasar bisa menjadi fundamen bagi perubahan di level atas (birokrasi nasional). Keempat, dalam kerangka otonomi daerah, selain berfungsi sebagai unit langsung pelayanan publik, letak birokrasi itu juga berjarak lebih dekat dengan profil kebutuhan nyata masyarakat.

Dalam konteks demikian, maka pilihan reformasi yang umum terjadi adalah pada pelayanan publik. Kalau di pusat, seperti yang sekarang terjadi pada Depkeu, reformasi itu berarti perbaikan remunerasi aparatur dan dari situ diharapkan menjadi stimulasi peningkatan kinerja, titik vokal di daerah adalah pembaruan birokrasi perizinan usaha dan pelayanan umum. Contoh par excellence sebagai pelembagaan dari pilihan ini berupa pendirian sistem pelayanan terpadu (SIMPTAP) atau one stop service (OSS).

Alhasil, hari-hari ini masyarakat dan para pelaku usaha di Sragen (Jateng), Cimahi (Jabar), Banjarbaru (Kalsel), Jembrana (Bali), Parepare (Sulsel), dan di sekitar 150 kabupaten/kota lainnya bisa menikmati hasil pelayanan prima yang diberikan pemerintahnya. Dalam mengurus dokumen sipil atau lisensi usaha, misalnya, mereka terlayani secara cepat (waktu), mudah (prosedur), pasti (persyaratan), murah (biaya), disertai sikap kerja yang relatif profesional dan humanis aparatur.

Sejumlah survei indeks kepuasan masyarakat (IKM) mengonfirmasi pengakuan yang signifikan akan gerak maju tersebut. Jika kurun lima tahun pertama desentralisasi diisi dengan berbagai temuan yang syarat ketakpuasan, kini para pelaku usaha sudah mulai bangga memuji kinerja pemda mereka berkenaan mutu peraturan usaha dan layanan perizinannya.

Instansi pusat

Pilihan ke depan, sambil tidak menafikan langkah sejumlah instansi pusat yang baru memulai fase reformasi internal mereka, perhatian mesti kian dipusatkan ke aras lokal yang terbukti relatif sukses melakukan lompatan perubahan eksternal bagi pelayanan publik. Untuk itu, ikhtiar lanjutan harus lebih didorong menjadi kerja multipihak, guna menjamin sinerjitas, pelembagaan dan keberlanjutan yang hari- hari ini menjadi isu serius di daerah.

Pertama, reformasi kerangka kebijakan nasional yang lebih solid, sinkron, dan progresif. Pusat harus menyadari, alih-alih bisa mendukung, perannya sebagai faktor negatif justru menguat belakangan ini. Ihwal pembentukan sistem pelayanan terpadu satu pintu, misalnya, standar Permendagri No 24/2006 yang menjadi acuan daerah justru ditabrak—persisnya ditarik mundur—oleh UU No 25/2007 (Penanaman Modal), PP No 41/ 2007 (Perangkat Daerah), dan RUU Pelayanan Publik.

Kedua, depolitisasi birokrasi lokal. Fakta di lapangan menunjukkan, komitmen dan kepemimpinan seorang bupati/wali kota amat menentukan arah perubahan dan kinerja birokrasi. Tantangannya adalah mentransformasi warisan sejarah birokrasi kekuasaan menjadi birokrasi pelayanan. Kepala daerah harus bisa memutus alur intervensi politik atas birokrasi dan integrasi birokrasi ke dalam politik. Proses rekrutmen, promosi, penempatan, atau kinerja sejauh mungkin berbasis sistem meritokrasi dan steril politisasi.

Ketiga, linkage dan sinkronisasi dengan perubahan pada aspek lain. Sejauh ini, sebagian daerah relatif sukses mereformasi sistem pelayanan publik mereka—yang tentu perlu sebagai pintu masuk atau show case. Namun yang tak kalah penting pula adalah sambungan ke agenda perubahan lain, seperti masalah perencanaan pembangunan, penganggaran dan alokasi APBD, pelayanan dasar (pendidikan/kesehatan), dan lain-lain. Intinya, pola inkremental diperkuat menjadi pola integral.

Hemat penulis, dalam track perubahan birokrasi lokal yang relatif tepat dewasa ini, sesungguhnya yang tersisa tinggallah agenda penambah bobot dampak perubahan dan minimalisasi segala faktor negatif. Ketiga isu di atas adalah sebagian pekerjaan rumah ke depan. Ketika semua itu bisa digenapi, insya Allah kita menjadi role model baru dalam studi komparatif reformasi birokrasi di masa mendatang. Sebagai orang yang menekuni masalah ini di lapangan, saya menaruh harapan dan optimisme yang tinggi.

Robert Endi Jaweng Manajer Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta

Primordialisme Melayu Raya


RENÉ L PATTIRADJAWANE

Empat belas tahun lalu, Samuel Huntington mengajukan sebuah paradigma baru dalam hubungan internasional melalui artikelnya yang terkenal, "The Clash of Civilization?", yang dimuat pada jurnal bergengsi Foreign Affairs pada tahun 1993.

Huntington ketika itu menyebutkan, negara bangsa adalah, dan akan tetap, menjadi aktor yang paling penting dalam urusan dunia. Tapi, kepentingan, asosiasi, dan konfliknya secara cepat dipertajam oleh faktor-faktor kebudayaan dan peradaban.

Hubungan Indonesia-Malaysia akan sangat terpengaruh oleh faktor-faktor kebudayaan dan peradaban, tepat seperti paradigma Huntington, menghadirkan disharmoni soal lagu Rasa Sayange, pemukulan dan penangkapan, persoalan Pulau Ambalat, dan lainnya. Disharmoni ini sendiri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hubungan bertetangga.

Kalau boleh menggunakan ucapan Bung Karno, presiden pertama RI, hubungan Indonesia-Malaysia ini ibarat "...een rimpeltje in de ocean", sebuah riak di lautan. Sehingga tidak mengherankan, hubungan Indonesia-Malaysia menghadirkan kilas balik "Ganyang Malaysia" sebagai kekesalan Bung Karno karena sikap abstain Kuala Lumpur terhadap persoalan Irian Barat.

Benih perbedaan dan perselisihan RI-Malaysia dan stereotip yang menganggap Indonesia sebagai bangsa yang rendah disebabkan oleh berbagai faktor tidak hanya melulu persoalan ekonomi, sosial, dan politik di antara kedua negara. Konsep Melayu Raya dalam sistem Pan-Malaysianisme ternyata memiliki resonansi yang rendah tanpa semangat nasionalisme yang membentuk sejarah pengalaman Malaysia seperti yang diduga Ibrahim Yacoob, tokoh pergerakan Pan-Melayu pada pertengahan dekade 1930-an.

Malaysia modern yang mendorong kemajuan pembangunan, melebihi Indonesia yang luas dengan penduduk keempat terbesar di dunia, ternyata di sisi lain juga menghasilkan perilaku OKB (orang kaya baru) berasaskan primordialisme yang menganggap dinasti Malaka atau Selangor adalah bibit unggul ras Melayu, melebihi orang-orang Indonesia.

Kebesaran Indonesia dalam rukun Nusantara di bawah kerajaan terkenal, mulai dari Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai, dan lainnya, dianggap merupakan bagian dari kebesaran dinasti Selangor, Malaka, Kedah, dan lainnya yang hanya memiliki wilayah kekuasaan di Semenanjung Malaysia dan sebagian wilayah utara Kalimantan.

Ketika orang-orang Jawa datang bekerja sebagai TKI, ternyata konsep Melayu yang dianggap sebagai keturunan dinasti berbagai kesultanan Malaysia menghasilkan persepsi stereotip yang berbeda dengan orang-orang Melayu yang dicita-citakan. Celakanya, para TKI lebih memilih berdamai dan kompromi menghadapi berbagai persoalan dengan penguasa lokal Malaysia ketimbang menyelesaikan persoalan secara hukum seperti yang dilakukan para pekerja Filipina di Malaysia.

Di sisi lain, percaturan hubungan internasional memang tidak melulu terkait dengan masalah multilateralisme yang menghasilkan diplomat andal di Deplu, tapi hubungan bilateral ternyata merupakan persoalan yang tidak kalah pelik dan perlu perhatian agar hubungan RI-Malaysia tidak menjadi lebih buruk.

Kebudayaan dan peradaban Indonesia terbangun karena asas kebangsaan yang berbeda dengan Malaysia yang membangun nasionalismenya berdasarkan rasial-etnik yang dominan tercermin pada sentimen primordialisme UMNO yang berkuasa.

Mencari identitas kebudayaan dan peradaban dengan mengaitkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya dengan keturunan Kesultanan Malaka menjadi faktor pertikaian kita dengan Malaysia.

Tuesday, October 30, 2007

Reformasi Militer


TNI Tidak Akan Lakukan Kudeta

Jakarta, Kompas - Guru besar ilmu politik dan pemerintahan serta pakar demokrasi dari Columbia University Amerika Serikat, Alfred C Stepan, menilai, "tren" kudeta militer, seperti terjadi di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara macam Thailand dan Myanmar, tidak akan terjadi atau ditiru militer Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan Stepan, Senin (29/10), seusai berbicara dalam ceramah umum di Departemen Pertahanan. Turut berbicara dalam ceramah umum itu Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.

Menurut Stepan, Indonesia sangat beruntung punya banyak kelompok masyarakat sipil, seperti kelompok agama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. "Organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU dalam jarak tertentu merepresentasikan suatu kehadiran sosial. Pada banyak negara, seperti India, Pakistan, Brasil, Argentina, dan Cile, mereka tidak memiliki apa yang ada di Indonesia," ujarnya.

Menurut Stepan, banyak hal mengesankan telah dilakukan TNI pasca-gerakan reformasi tahun 1998. Mengesankan mengingat setidaknya ada sejumlah momen kesempatan yang dia nilai sebenarnya bisa saja dimanfaatkan militer untuk mengambil alih pemerintahan (kudeta).

"Ada momen tertentu yang sangat menggoda sebetulnya bagi TNI. Namun saya melihat mereka tidak akan melakukannya. Proses perjanjian damai Aceh menunjukkan fakta bahwa militer (TNI) telah membiarkan hal itu terjadi. Dalam konteks penyelesaian konflik seperti itu, hal serupa tidak dilakukan oleh militer di Sri Lanka," ujar Stepan.

Kemajuan terbaik

Sikap mencoba mencari solusi tidak terjadi dalam upaya penyelesaian konflik Kashmir oleh pihak militer India dan Pakistan, sementara korban jiwa terus berjatuhan setiap harinya.

"Kita tahu, militer di Indonesia sebelumnya sudah berkuasa lebih dari 30 tahun saat pemerintahan Orde Baru. Jika dalam masa sembilan tahun mereka telah mencapai sejauh ini, hal itu menurut saya suatu kemajuan terbaik yang pernah saya lihat," ujar Stepan.

Dalam kesempatan sama, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengingatkan pencapaian-pencapaian yang telah dihasilkan selama ini, khususnya terkait dengan proses demokratisasi di masa transisi sekarang, masih tetap harus diikuti dengan perbaikan di sektor ekonomi.

"Apa yang dicapai Indonesia adalah prestasi yang melebihi harapan, terutama dengan surutnya tentara dari gelanggang politik formal. Akan tetapi, tantangan terbesar adalah mengisi pencapaian di bidang demokrasi politik itu dengan perbaikan di bidang ekonomi," ujar Juwono.

Juwono juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki karakteristik geografis yang khas sebagai negara kepulauan, yang menjadi persoalan tersendiri sekaligus sebagai faktor determinan dalam hal menghadirkan proses demokratisasi, baik secara politik maupun ekonomi. (DWA)

KPU Susun Jadwal Pemilu 2009


RUU Politik Selesai Akhir Tahun

Jakarta, Kompas - Meski paket RUU Bidang Politik belum diselesaikan oleh pemerintah dan DPR, Komisi Pemilihan Umum akan menyusun program jadwal dan tahapan Pemilu 2009. Penentuan hari H pencoblosan Pemilu 2009 juga akan disiapkan supaya KPU mempunyai patokan dalam bekerja.

Demikian disampaikan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di kantornya, Senin (29/10). Rapat pleno KPU untuk membicarakan penyelesaian pilkada Maluku Utara, menyusun visi misi KPU, serta menyusun program jadwal dan tahapan Pemilu 2009, kemarin, batal digelar. Hal itu karena hanya ada empat anggota KPU yang berada di Jakarta sehingga tidak memenuhi kuorum.

”Sambil menunggu selesainya pembahasan RUU Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta RUU Partai Politik, KPU akan menyusun jadwal tahapan Pemilu 2009. Dengan catatan kalau ada perubahan dalam undang-undang yang baru, maka jadwal akan disesuaikan. Jadi ini masih jadwal sementara,” kata Hafiz.

Beberapa jadwal tahapan pemilu yang akan ditentukan oleh KPU adalah pendaftaran pemilih, pendaftaran calon peserta pemilu, verifikasi calon peserta pemilu, dan hari H pemungutan suara. Menurut Hafiz, untuk hari H pencoblosan, KPU bisa berpatokan pada pemilu sebelumnya.

”Untuk pemilu mendatang, bisa saja direncanakan 5 April 2009, dan kita akan menarik mundur ke belakang, tahapan apa saja yang akan disiapkan,” ujar Hafiz.

Mengenai kapan selesainya RUU Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta RUU Partai Politik, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menjanjikan dua undang- undang itu akan diselesaikan akhir tahun ini, sesuai dengan jadwal.

”Insya Allah, kalau dilihat dari jadwal, akhir tahun ini dapat selesai. Sebentar lagi akan masuk ke panitia kerja, dan di panja saya kira akan lebih cepat kerjanya dibandingkan dengan di pansus kemarin,” kata Mardiyanto.

Pegangan awal

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay mengatakan, penyusunan jadwal dan tahapan pemilu bisa saja dilakukan sebagai pegangan awal untuk KPU dalam bekerja. ”Itu akan lebih baik, daripada belum sama sekali, karena kalau dilihat dari kerangka waktu menuju tahun 2009, KPU memang harus bersiap-siap mulai sekarang,” kata Hadar.

KPU bisa belajar dari pemilu sebelumnya, paket undang-undang bidang politik baru selesai Maret 2003, sementara pemilu harus digelar pada April 2004.

”Kalau nanti akan terjadi lagi, paling lambat undang-undang selesai bulan Maret 2008 maka KPU hanya punya waktu satu tahun lebih sedikit,” kata dia. (SIE)

"Elite" Narsistik


Limas Sutanto

Elite" Indonesia menampilkan keruwetan perilaku. Dengan kacamata psikodinamik, kita melihat corak-corak narsisme (cinta diri berlebih) pada mereka.

Corak narsisme itu antara lain berupa tindakan menyodorkan diri sebagai calon presiden, lewat deklarasi ataupun rangkaian aktivitas penonjolan diri berselubung keramahan dan tebar senyum, dengan pretensi mendapatkan simpati.

Demokrasi dipakai sebagai peranti rasionalisasi perilaku narsistik. Para "pakar" dan "pengamat" memperkuat rasionalisasi dengan mengatakan, semua itu "wajar, sah, bahkan baik".

Namun, kacamata psikodinamik tidak disilaukan aneka rasionalisasi itu dan tampilan "elite", yang merasa nyaman bersibuk diri dengan omong-omong tentang pemilihan presiden, tampak terang sebagai kesibukan tak henti meraih kekuasaan dari satu pemilu ke pemilu berikut.

Enam masalah besar

Narsisme "elite" perlu diguncang dengan pertanyaan terapeutik: Benarkah masalah bangsa Indonesia di sini dan kini adalah "memilih presiden baru"?

"Elite" menjawab iya, tetapi kita menegaskan, bangsa Indonesia di sini dan kini masih dibelit enam masalah besar, yaitu kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan (termasuk korupsi), dan rendahnya kualitas pendidikan.

Siapa pun yang menjadi Presiden RI memanggul tugas besar mengatasi enam masalah itu. Keenam masalah terbesar itu akan dapat diatasi hanya oleh kepemimpinan yang berkonsentrasi penuh dan menggelar upaya sistematik dalam kurun waktu bersinambung untuk mengatasinya.

Keenam masalah terbesar bangsa Indonesia bukan seperti penyakit flu yang akan sembuh dalam waktu singkat. Lalu apa yang terjadi jika pemegang kekuasaan terus sibuk dengan tetek bengek aktivitas meraih kembali kekuasaan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya? Tidak pelak lagi, bangsa Indonesia akan terus dibelit enam masalah terbesar, terus semrawut, dan kehidupannya kian tidak bermutu.

Sebenarnya di bahu elite Indonesia terbebankan tiga tugas terpenting, yaitu merancang upaya sistematik panjang bersinambung untuk mengatasi enam masalah besar itu, melaksanakan rancangan yang dihasilkan, dan mengawal pelaksanaan rancangan hingga mencapai tujuannya.

Ketiga tugas terpenting itu sekaligus merupakan tugas amat besar karena tidak akan pernah dapat dipikul hanya oleh segelintir insan Indonesia. Ketiga tugas itu harus dipikul semua pemimpin bangsa, elite, dan warga yang bersinergi dan berkonsentrasi penuh mengatasi kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan rendahnya kualitas pendidikan.

Inilah gerakan kontekstual pembebasan bangsa Indonesia. Gerakan itulah yang sebenarnya ada dalam khazanah pengharapan dan penantian bangsa Indonesia. Di lubuk hati rakyat Indonesia bergema ungkapan, "Kapan gerakan pembebasan bangsa Indonesia akan lahir dan bertumbuh kembang?" Ungkapan itulah yang sebenarnya tersuarakan mewakili makna aktual "pengalaman dunia dalam" (inner world experience) bangsa Indonesia di sini dan kini.

Sibuk sendiri

"Elite" yang narsistik tidak mampu menangkap makna aktual pengalaman dunia dalam bangsanya. Mengapa? Karena "elite" sibuk dengan suaranya sendiri, yang merangkum kepentingan, keinginan, dan tenaga narsistiknya sendiri yang begitu sentral dan dominan.

Masalah penting "elite" Indonesia adalah kesukaannya yang berlebih untuk menikmati suaranya sendiri sekaligus kekurangmampuan untuk mendengarkan suara keras makna aktual pengalaman dunia-dalam rakyat. "Elite" tidak mampu membiarkan diri ditembus suara keras yang berasal dari pihak lain (rakyat). Maka tidak heran jika sehari-hari "elite" mengisi ruang-ruang media dengan omong mereka sendiri yang terus dirasionalkan sebagai "pembelaan kepentingan rakyat". Salah satu contoh mutakhir adalah omong-omong "elite" soal pencalonan presiden.

Diharapkan, narsisme mulai rontok saat manusia narsistik mulai berani menderita karena membuka diri terhadap kepentingan dan realitas penderitaan pihak lain, memberi ruang bagi pihak lain dalam diri sendiri, dan menerima serta menjalani kehidupan sebagai kebersamaan dan pengalaman berbagi antara diri dan pihak lain.

"Elite; di negeri ini masih jauh dari itu. Mereka hidup sendiri dan untuk diri sendiri. Meski demikian, melalui tulisan ini, kita dapat berharap "elite" merontokkan narsismenya.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Tinggal di Malang

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN (1)


Kemandirian Para Perempuan Tiga Kota

EVY RACHMAWATI/ PUTRI ROSALINA

Perjalanan tiga kota telah mempertemukan kami pada perempuan-perempuan perkasa. Ini kisah tentang para perempuan desa dan komunitasnya dengan daya hidup luar biasa. Nun jauh dari gegap gempita panggung perpolitikan, mereka berkarya demi mencapai kemandirian.

Mereka bukan sosok perempuan dari kalangan menengah atas berpenampilan mentereng. Dalam keseharian, mereka harus bergelut dengan berbagai masalah rumah tangga, mulai dari keuangan yang pas-pasan hingga suami yang pengangguran dan doyan judi.

Meski demikian, mereka adalah individu maupun kelompok yang gigih membangun semangat berswadaya demi perbaikan mutu hidup masyarakat di bidang ekonomi dan sosial. Manajemen hidup berlandaskan swakelola dan swadaya. Kisah sukses pemberdayaan masyarakat itu datang dari Boyolali, Klaten (keduanya di Jawa Tengah), dan Sleman (DI Yogyakarta).

Kegigihan memperjuangkan perbaikan taraf hidup perempuan miskin telah dipelopori Sri Suryatingsih, yang akrab dipanggil Bu Ning, di desanya, di Ampel, Boyolali. Perempuan lulusan D-3 Akuntansi ini telah mengawali karyanya dengan mengumpulkan lima perempuan pengusaha mikro di sekitarnya pada tahun 2001.

Setiap anggota pun menyetorkan modal awal Rp 10.000 untuk digunakan sebagai dana pinjaman bagi anggota dengan uang jasa dua persen per bulan untuk kas kelompok. Pinjaman itu dapat diangsur hingga sepuluh kali. Jika terlambat membayar cicilan utang, anggota bersangkutan harus membayar denda seratus persen dari pinjaman.

Gaungnya pun makin kuat dan membuat warga dari desa lain ingin mengembangkan aktivitas serupa. Akhirnya pada 3 November 2003, kaum perempuan pengusaha yang kebanyakan adalah penjual bubur, tempe dan usaha sektor informal lain mendeklarasikan kelompok bernama Forum Peduli Perempuan Pengusaha Kecil Ampel (FP3K-A).

Kegiatan FP3K-A ini pun direduplikasi di tempat lain sebagai strategi pemberdayaan perempuan pengusaha kecil. Hingga saat ini, FP3K sudah berkembang di tiga kecamatan di Boyolali dan memiliki lebih dari 90 anggota. "Setiap terkumpul 20 anggota baru, harus membuat kelompok sendiri. Biar enak kalau mau curhat masalah," ujar Ning.

Tanpa bantuan dana ataupun pendampingan dari pihak mana pun, kelompok itu makin berkembang jumlah anggota dan dana yang dimiliki. Agar anggota yang paling lemah berdaya dan tidak tertinggal dengan lainnya, kepengurusan di kelompok itu mensyaratkan pengurus harus diangkat berdasar rapat pengurus dan calon harus dari anggota dengan ekonomi paling lemah.

Menurut penuturan sejumlah anggota kelompok itu, pada praktiknya, dana simpan pinjam itu telah menjadi gantungan mereka di kala susah. Selain untuk mengembangkan usaha, para anggota juga meminjam uang untuk membayar uang sekolah anak maupun keperluan lain. "Jadi bisa bantu keluarga," ujar Ny Mariani.

Kisah sukses pemberdayaan perempuan itu pun datang dari Dusun Kebon Konang, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Sistem simpan pinjam bagi buruh batik di desa itu yang dipelopori Suminah berkembang hingga memiliki dana ratusan juta rupiah, memiliki mesin pencelup batik sendiri dan pemasaran batik ke masyarakat menengah atas.

Semula, Suminah berperan sebagai motivator, ketua, merangkap bendahara dan sekretaris kelompok. Setelah mendapat pelatihan manajemen dari Bina Swadaya dan pemberian kredit mikro, KSM Sidomukti itu berkembang dengan kepengurusan modern. Kegiatan kredit mikro itu pun bermanfaat bagi para anggotanya untuk usaha maupun memenuhi keperluan lain.

Pemberdayaan perempuan bukan hanya terbatas pada sektor ekonomi. Peran yang dilakukan Dalinem, warga Sumber Watu, Pegunungan Kapur Candi Boko, Sleman, DIY, dan para perempuan sekitarnya dalam membangun sarana desa turut memajukan desa mereka. Bersama warga lain, mereka membuat jalan agar desa mereka tidak terisolasi.

Berdaya

Kemandirian para perempuan itu ternyata dapat meningkatkan taraf hidup perempuan miskin di daerah itu. Para buruh batik yang tergabung dalam KSM Sidomukti, misalnya, telah memiliki modal sendiri, lepas dari para pengepul dan para rentenir. Sejumlah anggota juga mengembangkan usaha di luar batik, seperti peternakan.

Untuk menjaga kesinambungan kelompok itu, setiap bulan para anggota berkumpul untuk menghitung jumlah pinjaman, membayar cicilan utang, maupun sekadar bersilaturahim, dan berbagi masalah rumah tangga. "Seluruh uang kelompok yang jumlahnya ratusan juta rupiah itu jarang yang mengendap, terus berputar," kata Suminah.

Sementara itu, kegiatan FP3K-A di Boyolali tidak hanya berhenti pada kegiatan sosial ekonomi. "Peningkatan pendapatan pada perempuan harus seiring dengan peningkatan pengetahuan dan tingkat partisipasi perempuan. Ini memerlukan upaya penyadaran pada para anggota tentang kesetaraan jender," ujar Ning.

Rendahnya tingkat pendidikan anggota tak membuatnya menyerah mengenalkan kesetaraan jender dengan analogi sederhana yang dekat dengan kehidupan mereka. Sebagai contoh, jika suami memberi uang belanja minimal tetapi tetap membeli rokok, istri harus mengingatkan karena dalam uang belanja itu ada hak-hak anak mereka juga.

Pengembangan usaha kelompok itu disertai dengan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi dan penyadaran jender. Hal ini akhirnya membuat banyak anggota memiliki daya tawar terhadap sang suami dalam urusan ekonomi rumah tangga. Mereka juga ikut menentukan harga jual ternak kambing yang semula ditentukan sang suami.

Ada juga anggota yang memiliki masalah rumah tangga, seperti suami tidak punya pekerjaan tetap ataupun uang belanja dihabiskan untuk bermain judi. Hal ini membuat para anggota saling menguatkan diri untuk bisa mandiri dan memperbaiki kesejahteraan keluarga mereka.

Keberhasilan gerakan perempuan ini mencapai puncaknya dengan mendorong adanya dialog publik dalam pemilihan kepala desa yang selama ini tidak pernah dilakukan dalam politik desa. Usulan itu pun mendapat ganjalan dari aparat desa yang khawatir gerakan itu akan menentang kebijakan mereka.

Keberhasilan kelompok itu membuat banyak pihak mulai melirik komunitas perempuan pengusaha itu dengan menawari kredit. Akan tetapi, kredit ringan itu terpaksa ditolak lantaran harus ada jatah bagi oknum pejabat. "Banyak bank yang menawarkan pinjaman, tetapi harus pakai agunan. Ini sulit kami lakukan," kata Ning.

Pemberdayaan

Sejauh ini, fenomena maraknya pemberdayaan masyarakat itu sebagai jawaban atas pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari kebijakan terpusat sejak tahun 1970-an. Pemberdayaan perempuan itu juga jawaban atas tantangan konsep pertumbuhan yang melupakan kebutuhan rakyat pada level akar rumput.

Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007), ada tiga tahapan proses pemberdayaan. Proses pertama, penyadaran dengan target, yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka punya hak untuk mempunyai sesuatu. Prinsipnya, membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka.

Proses selanjutnya adalah diberikan daya kuasa yang bersangkutan agar mampu terlebih dahulu. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. Selanjutnya, target diberi daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang.

Sebagaimana dilakukan beberapa komunitas perempuan desa yang sukses memberdayakan diri sendiri, mereka aktif memanfaatkan peluang dan berdaya atas diri mereka sendiri tanpa bergantung pada pihak mana pun. Mereka berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan komunitas dan mempunyai perasaan bermasyarakat.

Sumodiningrat dalam bukunya menyebutkan, ada lima ciri khas dalam penerapan pemberdayaan masyarakat yakni stimulus modal, pendampingan, bantuan sarana dan prasarana, pengembangan kelembagaan dan pemantauan, serta pelaporan. Berkat kegigihan mereka, komunitas perempuan di tiga kota ini mampu berdaya meski miskin dukungan dari pihak lain.

Keswadayaan Perempuan


Mandiri dari Segala Sektor

EVY RACHMAWATI

Sejumlah perempuan mendatangi sebuah rumah di Dusun Kebon Konang, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Para perempuan berpenampilan sederhana itu membawa sejumlah buku besar kumal. Setelah berkumpul, mereka membahas pembukuan kas kelompok mereka.

Siapa sangka jika para ibu yang kebanyakan buruh batik itu tengah mengurus perputaran uang ratusan juta rupiah. Dengan hanya bermodal awal Rp 1 juta, kelompok perempuan buruh batik itu berhasil mengembangkan usaha simpan pinjam hingga ratusan juta rupiah. Dalam kurun waktu 15 tahun tanpa bantuan pemerintah, mereka pun berhasil keluar dari jerat utang kepada rentenir.

Keswadayaan yang dipelopori Suminah, perempuan desa setempat, ini ditunjukkan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sido Mukti Bayat, yang beranggotakan para perempuan buruh batik.

Pengembangan sistem simpan pinjam itu lalu dikembangkan menjadi dana sehat. Dengan hanya menyisihkan Rp 200 per bulan, anggota yang sakit dapat berobat gratis ke puskesmas. KSM itu juga berhasil memiliki mesin pencelup batik sendiri, Bahkan, tahun 2006, kelompok beranggotakan 45 orang itu membagi sisa hasil usaha Rp 21 juta.

Kisah perjuangan Suminah dan kelompoknya ini pun bergema hingga Thailand dalam Konferensi Pekerja Rumah Tangga. Bahkan, ide itu direkomendasikan untuk direduplikasi ke beberapa negara. "Saya tidak menyangka apa yang kami lakukan ternyata dijadikan contoh negara lain," kata Suminah.

Keswadayaan masyarakat desa juga dipelopori oleh Dalinem. Ia dan warga desanya membabat alas membuka jalan di Dusun Sumber Watu, di Pegunungan Kapur Candi Boko, Sleman, DI Yogyakarta. Pihak kecamatan dan program ABRI Masuk Desa pun mendukung, dengan membuat penampungan air hujan.

Selama puluhan tahun, daerah itu sebelumnya terisolasi dari desa lain. Untuk menjangkau desa lain, warga harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak beberapa kilometer. Kondisi itu membuat desa itu jauh tertinggal dibandingkan dengan desa tetangga yang ada di bawah pegunungan itu dalam bidang ekonomi dan sosial.

Semangat para perempuan dalam membangun keswadayaan masyarakat sering harus berbenturan dengan berbagai pihak.

Suminah sendiri kala itu harus berjuang keras untuk mengumpulkan ibu-ibu dan mengembangkan embrio kelompok yang jadi basis pemberdayaan perempuan pengusaha kecil. Tantangan terutama datang dari para suami yang menganggap istri-istri mereka lebih banyak berkumpul dan bergosip daripada bekerja.

Kecurigaan lain juga muncul dari aparat pemerintah desa yang merasa jabatannya terancam ketika para ibu digerakkan dalam sebuah kelompok.

Para anggota kelompok pun diintimidasi agar tidak menjadi pengurus. Ini membuat Suminah harus berperan sebagai motivator, ketua, bendahara sekaligus sekretaris kelompok.

Ganjalan dari aparatur desa juga dihadapi Forum Peduli Perempuan Pengusaha Kecil Ampel (FP3K-A), Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang digagas Sri Suryatingsih tahun 2001. Kelompok usaha yang mayoritas anggotanya pengusaha kecil seperti penjual bubur dan tempe ini telah berkembang jadi gerakan perempuan.

Komunitas perempuan "melek politik" itu lalu mendorong adanya dialog publik dalam pemilihan kepala desa yang tidak sesuai pakem politik desa konvensional. Aparat pemerintah setempat pun ketakutan jika gerakan perempuan itu menentang aparat desa. "Aparat mengintimidasi dan meminta kegiatan kelompok harus ada izin," ujar Sri menjelaskan,

Berkat kegigihan para perempuan desa itu, segala rintangan yang dihadapi akhirnya bisa diatasi.

Dari analisis statistik terhadap data tahun 2002 diperoleh kesimpulan, lima variabel pemberdayaan perempuan, yaitu jumlah penduduk perempuan, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, kontribusi dalam pendapatan, dan wanita dalam parlemen, berpengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini makin mempertegas peran penting pemberdayaan perempuan dalam pembangunan.

Salah satu kunci keberhasilan pemberdayaan perempuan adalah sektor pendidikan.

Sebenarnya banyak kisah sukses pemberdayaan masyarakat yang dapat menginspirasi bangsa ini.

Sayangnya, menurut Ketua Yayasan Bina Swadaya Bambang Ismawan, perjuangan rakyat kecil di tingkat akar rumput itu kerap luput dari perhatian pemerintah, dan dianggap sepele oleh banyak pihak.

Pemuda Jangan Cuma Minta Jatah


Ikrar Harus Diikuti Langkah Konkret

Jakarta, Kompas - Ikrar para pemuda dan tokoh muda Indonesia untuk bangkit membangun Indonesia yang sejahtera harus diikuti dengan langkah konkret. Jika tidak, ikrar yang dinyatakan saat memperingati Hari Sumpah Pemuda pada Minggu malam itu hanya sekadar menjadi upacara.

"Kaum muda tidak dapat hanya bilang ’kini saatnya kami memimpin’ dan kemudian minta jatah kekuasaan atau berharap kekuasaan akan datang dengan sendirinya. Kekuasaan itu harus diperjuangkan," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, Senin (29/10).

Cara paling jelas dan efektif untuk mendapatkan kekuasaan pada saat ini, kata Arbi, adalah dengan terjun di partai politik. "Kepemimpinan memiliki dua unsur, yakni kapabilitas dan kekuatan politik. Seseorang yang punya semua kapabilitas untuk memimpin, seperti popularitas dan keahlian, tidak akan berarti apa-apa jika tidak punya kekuatan politik. Sekarang, sumber kekuatan politik itu terutama ada di parpol," paparnya.

Pendapat senada disampaikan Budiman Sudjatmiko, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik yang sekarang aktif di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Menurut dia, untuk mendapatkan kepemimpinan politik yang nyata dan efektif, harus lewat parpol.

Budiman khawatir jika yang digagas dalam ikrar Minggu lalu hanya sebatas pada ide. Sebab, jika hanya ide, sudah banyak kaum muda yang melakukannya.

Sudah beda

Berdasarkan pengamatan Kompas, perbedaan sudah muncul sejak aktivitas mahasiswa marak di tahun 1990. Saat itu bentuk aktivitas dibagi dua, yaitu kelompok studi dan gerakan. Mantan aktivis kelompok studi sekarang banyak yang berada di lembaga-lembaga penelitian.

Mantan aktivis gerakan itu sendiri dibagi dua lagi, yaitu yang percaya dan tidak percaya kepada parpol. Mereka yang percaya kepada parpol sekarang banyak yang menjadi aktivis parpol, seperti Budiman (PDI-P), Rama Pratama (PKS), dan Anas Urbaningrum (Partai Demokrat). Mereka yang tidak percaya kepada parpol umumnya memilih aktif di lembaga swadaya masyarakat.

Mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Andi Arief menuturkan, ikrar pada Minggu malam lalu hanya menjadi tindakan kritis semata karena cara dan alat politiknya tidak jelas.

"Sekarang hanya ada tiga cara untuk meraih kepemimpinan, yaitu ikut kekuasaan yang baik, bergabung dengan oposisi, atau membangun kekuatan sendiri seperti dengan membuat parpol baru. Sistem yang sekarang memberikan kesempatan kepada siapa pun, termasuk kaum muda, untuk bersaing," papar Andi yang saat ini berada di kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrat mengakui pentingnya memberikan ruang kepada generasi muda untuk mengambil peran di kepemimpinan partai.

Ahmad Yani, Ketua Lembaga Bantuan Hukum DPP PPP, mengatakan, contoh yang paling jelas adalah munculnya sosok Ketua Umum Suryadharma Ali dan Sekjen Irgan Chairul Mahfiz yang masing-masing berusia 51 tahun dan 44 tahun. Saat ini sebanyak 28 dari 37 pengurus DPP PPP berusia di bawah 50 tahun.

Peter Tji’din, Ketua Departemen Pemuda DPP Partai Demokrat, mengatakan, para tokoh muda di Partai Demokrat diberikan peluang sebesar-besarnya untuk berkiprah di kepemimpinan partai.

Kapasitas sosial

Ikrar dan gerakan kaum muda saat ini akan jauh berdampak jika diorientasikan pada ranah substansi, yaitu menegakkan konstitusi dalam konteks saat ini dan tidak semata-mata diarahkan untuk memunculkan tokoh pemimpin baru.

Setidaknya demikian pandangan yang muncul dari Direktur Eksekutif Elsam Agung Putri, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, dan Koordinator Kontras Usman Hamid.

Munculnya pemimpin baru hanyalah proses alamiah yang terjadi dalam dinamika gagasan itu. "Gerakan ini bukan gerakan yang menghadapkan kaum tua dan kaum muda, tetapi justru gerakan yang hendak menyerap pikiran-pikiran baru yang dapat dikonsolidasikan untuk menghadapi tantangan besar di depan," tutur Agung Putri.

Pilihan kembali pada konstitusi, kata Yudi Latif, merupakan langkah penting karena selama ini para pemimpin politik kesulitan menyusun platform nasional, sementara konstitusi telah memberi bingkai yang jelas. "Gerakan kaum muda diarahkan untuk itu, dan gerakan ini bukan tempat untuk mencari kekuasaan," tutur Yudi.

Gerakan kaum muda itu dibangun sebagai sarana penguatan konsep yang dapat berpengaruh pada kinerja tanpa harus menduduki jabatan formal.

Usman Hamid menambahkan, pilihannya untuk tetap ikut berjuang menegakkan hak asasi manusia di Indonesia adalah bagian dari refleksi sejarah dari peristiwa 1998. "Korban yang terjadi bukanlah sekadar ongkos politik dari sebuah perubahan, tetapi itu seharusnya dapat dipertanggungjawabkan," tuturnya.

Sikap itu yang kemudian menjadi pendorong baginya untuk terlibat dalam penguatan masyarakat. (NWO/A13/JOS)

A r s i p