Tuesday, April 1, 2008

ANALISIS POLITIK


Kemiskinan Versus Demokratisasi

J KRISTIADI
Selasa, 1 April 2008 | 01:41 WIB

Oleh J KRISTIADI

Poverty is the parent of revolution and crime. (Aristoteles, 384-332 SM)

Kemiskinan dan demokratisasi adalah dua gejala sosial yang secara bersama-sama telah membangun persepsi pada sebagian masyarakat bahwa proses demokratisasi tidak berjalan beriringan dengan kemiskinan. Akselerasi demokratisasi dinilai berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan.

Artinya, tingkat percepatan demokratisasi telah mengakibatkan derajat kemiskinan semakin tinggi. Laju proses demokratisasi dapat disimak antara lain melalui perubahan mendasar dalam ketatanegaraan, frekuensi kontestasi politik di tingkat lokal, pemekaran daerah yang eksesif, dan lainnya.

Sementara proses pemiskinan juga berlangsung dalam tingkat kecepatan yang sama. Diawali dengan tingkat pengangguran yang semakin tinggi, daya beli rakyat yang semakin merosot, kelangkaan bahan pangan, dan melambungnya harga kebutuhan pokok. Proses ini juga diperparah oleh faktor bencana alam dan perekonomian dunia yang kacau-balau.

Sedemikian miskinnya masyarakat sehingga pembagian beras bulukan tetap ditunggu, nasi aking menjadi santapan sehari-hari. Dalam menghadapi kegetiran hidup dan kenestapaan, banyak warga masyarakat yang frustrasi. Bahkan yang lebih tragis, seorang ibu kandung tega membunuh anak-anaknya.

Oleh sebab itu, meskipun persepsi demokratisasi meningkatkan kemiskinan dapat dimaklumi, hal itu tetaplah menyesatkan karena beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, demokrasi bukan penyebab dan bukan pula obat kemiskinan. Demokrasi hanya menyediakan mekanisme memilih pemimpin secara jujur dan adil, serta mempunyai sarana yang memaksa para pemegang kekuasaan bertanggung jawab kepada rakyat. Di dalam negara demokrasi terdapat berbagai institusi dan regulasi yang dapat mengurangi kesenjangan antara masyarakat kaya dan mereka yang miskin.

Kedua, proses demokratisasi sekarang ini baru berjalan pada tataran prosedural, di mana proses politik telah dianggap sebagai legitimasi yang absah. Pada level inilah kedaulatan rakyat dimanipulasi para elite, melalui lembaga-lembaga politik dan perwakilan, dijadikan ajang dan medan pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok.

Ketiga, betapapun hebatnya strategi ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, jika tidak mendapat dukungan politik, semua kebijakan tersebut hanya tetap menjadi dokumen yang tidak berarti.

Jalan pintas untuk menyelamatkan rakyat dari kemiskinan tidak mudah dilakukan. Salah satu terobosan yang mungkin bisa dilakukan adalah mengubah gaya kepemimpinan yang terlalu hati-hati menjadi kepemimpinan yang bernuansa lebih tegas, dan kalau perlu bersedia menanggung risiko.

Kalau boleh mengambil contoh, mungkin itu model kepemimpinan ala Franklin Delano Roosevelt, Presiden AS yang menghadapi krisis ekonomi global (great depression) tahun 1930-an. Pada kurun masa itu rakyat mulai ragu-ragu dengan sistem politik yang diterapkan di negaranya. Untuk itu, ia mengambil beberapa kebijakan ekonomi yang dapat mengembalikan kepercayaan rakyat. Namun, faktor yang sangat penting waktu itu, ia diberikan otoritas sama besarnya oleh Senat dan Kongres seperti kalau negara sedang mengalami invasi. Hal semacam itulah yang dewasa ini tidak mungkin diperoleh oleh Presiden Indonesia karena konteks politik yang berbeda.

Penyempurnaan UU Politik

Pilihan lain adalah memanfaatkan momentum penyempurnaan UU Politik yang sekarang sedang disusun pemerintah dan DPR. UU Partai Politik yang baru telah diundangkan, UU No 2/2008, sementara UU Pemilu hanya menunggu tanda tangan presiden. Sisanya, Rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden dan RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPD, DPR, dan DPRD sedang dalam proses pembicaraan di parlemen.

Kesempatan baik ini perlu dimanfaatkan untuk memperjelas sistem pemerintahan dan memperkuat institusi-institusi politik pendukung demokrasi. Paradigma yang sangat penting dalam melakukan revisi UU politik adalah demokratisasi berjalan terus, tetapi disertai mewujudkan pemerintahan yang efektif. Artinya, setiap kebijakan pemerintah memerlukan dukungan politik dan kontrol parlemen yang proporsional.

Caranya adalah menegaskan dalam UU Pilpres agar parpol atau gabungan parpol yang mencalonkan presiden harus mempunyai komitmen lima tahun untuk mendukungnya. Tanpa penegasan seperti itu, demokrasi hanya akan menghasilkan pertengkaran politik yang terus-menerus antara eksekutif dan legislatif.

Agar efektivitas juga terjadi pada tataran pemerintahan di daerah, ketentuan yang sama juga bagi partai politik yang mencalonkan kepala daerah. Urgensi ini menjadi lebih mendesak karena pengalaman selama ini menunjukkan, dukungan parpol kepada calon kepala daerah hanya terbatas pada saat pencalonan. Setelah kandidat mereka menang, yang terjadi justru pertengkaran politik antara kepala daerah dan DPRD karena kepentingan sempit lebih dominan daripada kepentingan umum.

Mudah-mudahan jeritan rakyat yang sudah kehabisan harapan didengar anggota DPR yang sedang menyempurnakan UU Politik.

Membiarkan suara hati kedap terhadap penderitaan rakyat hanya akan menghasilkan kemiskinan yang memicu suburnya tindakan kriminal, revolusi, atau bayi demokrasi tumbuh menjadi demokrasi kunthet (kerdil).

No comments:

A r s i p