Tuesday, April 1, 2008

Siapa Membawa Dosa Orde Baru?


KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Buku Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia.
Senin, 31 Maret 2008 | 01:28 WIB

Oleh ROBERTUS ROBET

Setidaknya, ada tiga kecenderungan bersikap dan memahami otoriterisme serta pertautannya dengan keadaan politik sekarang; yang pertama adalah fatalis, yang kedua adalah nihilis-konservatif, dan yang ketiga realis.

Pandangan fatalis memutlakkan Orde Baru dan memperlakukan otoriterisme sebagai sistem yang bekerja secara berkesinambungan bahkan setelah bentuk-bentuk personifikasi kekuasaannya dijatuhkan. Dalam pandangan ini, realitas masa kini dianggap tidak lebih dari replika kekuasaan masa lalu, karena itu segala forma dan instalasi politik yang ada hanya dipandang semata-mata miniatur atau etalase yang merepresentasikan berlakunya kekuasaan lama.

Dalam sedikit variasi, pandangan fatalis juga bisa tampil dalam anggapan bahwa otoriterisme masih bertahan dan bekerja secara ”misterius” serta menjadi sebab, provokator dan inisiator semua persoalan yang kita hadapi sekarang. Ia dianggap masih ada selaku aktor dan sistem. Ia bersifat solid, namun tidak menampakkan diri secara langsung lagi. Di sini, Orde Baru dilihat masih sebagai pelaku utama yang berkemampuan mentranshistorisasikan dirinya hingga tidak hanya ada di belakang peristiwa-peristiwa di masa lampau, tetapi juga di masa kini.

Pandangan yang kedua sama sekali bertentangan dengan pandangan pertama. Ia secara radikal menihilkan otoriterisme sebagai sebuah sistem kekuasaan yang hidup sehingga menganggap masa kini benar-benar merupakan sebuah blok historis yang sama sekali baru, bahkan steril. Mengulas kembali otoriterisme Orde Baru akan dianggap buang-buang waktu, terbelakang, dan tidak tahu berterima kasih. Di sini otoriterisme diterima sebatas sebagai kenangan yang mendatangkan rasa senang yang nyaman. Di sini nihilisme terhadap otoriterisme bukan lain adalah konservatifisme itu sendiri.

Banyak orang terjebak pada dua dilema di atas. Mereka diminta memilih di antara kalau bukan tercekat kesinisan dan fatalisme karena menilai yang ada sekarang cuma kelanjutan Orde Baru saja, atau menerima dengan antusiasme dan optimisme berlebihan keadaan sekarang dan sama sekali melupakan sejarah serta akibat-akibat otoriterisme. Di titik ini, di antara dua pilihan itu buku berjudul Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia yang diterbitkan ELSAM ini menarik untuk diulas.

Buku hasil konferensi ini, secara tidak sengaja, memberikan kita pandangan yang ketiga dalam menafsirkan keadaan sekarang dalam pertautannya dengan otoriterisme. Ia menyajikan otoriterisme dan Orde Baru baik sebagai sejarah maupun sebagai sistem yang bekerja secara sekaligus. Dengan demikian, secara tidak langsung ia mengajak kita keluar dari dilema antara fatalisme dan konservatifisme.

Pada kesan awal, oleh karena judulnya menggunakan istilah ”akar otoritarianisme”, kita cenderung berharap bahwa buku ini akan memosisikan otoriterisme sekadar sebagai fenomen yang diakibatkan relasi antah-berantah yang lain. Dengan itu, buku ini akan lebih banyak mengulas berbagai masalah melalui sudut pandang ”sejarah ekonomi politik”.

Akan tetapi, rupanya istilah ”akar otoritarianisme” di sini ditafsirkan secara mendua, yaitu otoriterisme sebagai gejala yang diakibatkan oleh gejala yang lain misalnya kapitalisme, tetapi bisa juga otoriterisme sebagai akar segala persoalan yang ada sekarang. Akibatnya, setelah dibaca secara cermat, buku ini sebenarnya boleh dibilang hendak menyajikan dua hal sekaligus, yakni, pertama, bentuk-bentuk transformasi politik otoriter Orde Baru ke dalam matriks politik sekarang dan, kedua, penjelasan akar historis dan ekonomi politik kebudayaan otoriter di Indonesia.

Sajian mengenai bentuk-bentuk transformasi politik otoriter di masa kini disajikan secara variatif. Di sini Orde Baru itu diakui masih ada, kuat namun tidak lagi solid sebagai kesatuan monolitik. Ia terfragmentasi, lebih jauh lagi bahkan nyaris dilihat ”beremanasi”, terpancar ke dalam tubuh atau bentuk-bentuk politik yang lain. Ini tampak, misalnya, dalam esai Aloysius Gunadi Brata mengenai proses kehancuran ekonomi di pedesaan. Hal yang serupa juga dibuktikan oleh artikel yang ditulis Prof Soetandyo mengenai peradilan di Indonesia. Hal serupa juga jelas dalam esai Douglas Kammen mengenai masih bertahannya komando teritorial (koter) dalam doktrin politik keamanan Indonesia hingga kini.

Pada esai yang lain juga disajikan kemungkinan bahwa otoriterisme tidak tersembunyi di belakang yang lain, melainkan terekspresi dalam miniatur kekuasaan yang ada sekarang. Pada proses ini ia lebih dilihat sebagai sifat residual, bukan lagi sebagai aktor ataupun sistem utuh. Akibatnya, ia juga lebih dilihat sebagai semacam kultur yang hidup di dalam alam demokrasi sekarang. Kultur yang memang berhasil selamat melewati sejarah, namun ia tidak di belakang dan menguasai kita diam-diam, melainkan ada bersama kita, minimum sebagai semacam sub- ideologi. Status politis semacam ini yang diulas juga di dalam esai provokatif mengenai ”ideologi koncowingking” yang ditulis oleh Ruth Indiah Rahayu.

Lebih jauh lagi, buku ini juga mau mengatakan bahwa karena reproduksi otoriterisme itu berjalan melalui mekanisme kultur, maka keberadaan bentuk-bentuk eksistensi Orde Baru di dalam matriks politik demokratis sekarang ini hanya mungkin terjadi melalui ”pewarisan” yang kompleks dan asimetris. Akibatnya, di sini Orde Baru atau otoriterisme tidak dapat dilihat lagi sebagai sistem, tetapi lebih sebagai sebuah kebudayaan politik ekses reformasi dan demokratisasi.

Akibatnya lagi, sebagai ekses, otoriterisme juga bisa dilihat dari sudut yang terbalik; bukan dari si bangunan pelakunya, melainkan dari bangunan yang menantang atau yang ada sesudahnya. Di sini otoriterisme hadir dalam ketakmampuan pemerintahan pasca-Soeharto menuntaskan transisi politik dalam membangun demarkasi untuk membedakan dirinya dengan rezim otoriter itu. Kenyataan semacam ini secara baik disajikan dalam esai mengenai akibat-akibat invasi Indonesia di Timor Leste oleh Nug Katjasungkana.

Dengan melihat berbagai bentuk konfigurasi otoriterisme itu, akibatnya buku ini memang tidak dapat menyimpulkan suatu ”akar” yang tunggal untuk menjelaskan otoriterisme di Indonesia. Atau, setidaknya, buku ini tidak menyebut apa yang merupakan faktor utama yang menjadi wadah dan landasan keseluruhan otoriterisme di Indonesia. Ini kelihatan dari penalaran yang berbeda-beda antara satu penulis dan penulis yang lain.

Esai pengantar yang ditulis oleh Agung Putri, misalnya, berupaya untuk menemukan, secara sedikit filosofis, akar otoriterisme dengan menggunakan istilah radical evil yang diambil dari filsafat agama Immanuel Kant. Apabila di Kant istilah ini merujuk pada pembalikan moral yang diakibatkan oleh godaan pikiran manusia (akal sebagai akar dosa), pada Agung Putri radical evil ditafsirkan sebagai momen historis tempat ”tragedi kemanusiaan besar terjadi di mana baik manusia dan seluruh bangunan sosialnya terlibat”. Momen tragedi ini yang agaknya dirujuknya sebagai akar otoriterisme.

Pandangan yang berbeda diajukan oleh esai menarik dari sejarawan Asvi Warman Adam. Melalui penceritaan hubungan segitiga Soekarno-Soeharto-Nasution, Asvi mengindikasikan periode yang lebih awal, tahun 1950-an, sebagai akar otoriterisme. Akibatnya, implisit dalam esai Asvi, penekanan pada aktor selaku akar utama. Dengan demikian, buku ini secara tidak langsung menemukan bahwa tidak ada akar tunggal otoriterisme. Meski demikian, lepas dari kemungkinan beragam dimensi dan fragmentasi, hampir kebanyakan penulis melihat peran yang sentral dari Angkatan Darat Indonesia, baik dalam terjadinya momen historis tragedi maupun dalam transformasi ke bentuk-bentuk otoriterisme itu hingga sekarang. Jadi, akar memang boleh berbeda-beda, tetapi ternyata aktornya itu-itu juga.

Singkatnya, yang penting dari buku ini ada dua hal, pertama, ia mengingatkan bahwa karena otoriterisme terbentuk dan terbina melalui jalinan kekuasaan yang luas, dalam, dan kompleks, maka ia masih bisa melekat, beroperasi, dan bereproduksi sebagai kultur politik, ekonomi, hukum, dan sosial dalam matriks politik demokratis sekarang.

Kedua, karena keadaan itu, ia masih fungsional untuk dijadikan sandaran setidaknya bagi pemeliharaan politik menghalalkan tragedi.

Dengan dua hal itu, buku ini pada akhirnya memperingatkan bahwa hawa segar yang kita hirup dalam demokrasi reformasi ini hanyalah hawa dalam sebidang gua sempit, sementara sang gua itu sendiri sebenarnya hanya bagian dari lekuk di padang pasir pembantaian yang kering dan busuk.

Robertus Robet Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

No comments:

A r s i p