Tuesday, April 1, 2008

UU Pemilu

Akal-akalan Daerah Pemilihan Jilid Kedua?
Senin, 31 Maret 2008 | 01:23 WIB

Oleh Sidik Pramono

Membagi daerah pemilihan bukan sekadar menggores garis memilah-milah wilayah dalam peta. Daerah pemilihan merupakan arena pertarungan, wilayah pencalonan, dan semestinya juga merupakan daerah pertanggungjawaban bagi anggota parlemen kepada rakyat yang diwakilinya.

Daerah pemilihan merupakan salah satu perangkat teknis yang penting dalam pemilu. Daerah pemilihan pula yang merupakan elemen teknis yang kerap dipersoalkan. Penetapan daerah pemilihan berpengaruh langsung terhadap satu sistem pemilihan, hubungan antara suara dan kursi atau berapa jumlah wakil rakyat yang pantas mewakili satu daerah pemilihan, dan juga peluang satu parpol untuk merebut kursi.

Prinsip umum: pembagian daerah pemilihan yang baik mestinya mempertimbangkan kesetaraan nilai setiap kursi yang diperebutkan dengan perimbangan jumlah penduduk yang wajar. Jika memungkinkan, pembagian daerah pemilihan juga harus menimbang latar belakang lain, seperti soal kondisi geografis, sejarah, budaya, bahkan soal kemudahan akses komunikasi-transportasi.

Penetapan daerah pemilihan idealnya dilakukan orang atau lembaga yang nonpartisan, independen, profesional, dan netral. Jika tidak, pilihannya adalah memperkenankan semua parpol di badan legislatif untuk berperan setara dalam proses penetapan batas. Selain itu, harus juga dibuka sebanyak mungkin masukan masyarakat dalam proses pembuatan daerah pemilihan.

Soal ”kesetaraan” juga menjadi soal. Aspek proporsionalitas berdasarkan jumlah penduduk belum terperhatikan sepenuhnya sehingga muncul kursi ”mahal” dan kursi ”murah”. Padahal, mestinya prinsip ”monoton” harus dijalankan dalam pemetaan daerah pemilihan, wilayah dengan penduduk lebih banyak semestinya harus memperoleh alokasi kursi tidak kurang dari wilayah yang sedikit penduduknya.

Harapan

Untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk Pemilu 2009, pemerintah mencatat: Undang- Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu belum sepenuhnya memerhatikan aspek proporsionalitas jumlah penduduk, antara daerah yang padat dan daerah yang jarang penduduknya, terkait dengan penentuan nilai kursi bagi anggota DPR. Hal itu menimbulkan ketimpangan nilai kursi karena dalam praktiknya ada ”kursi mahal” di daerah pemilihan di Jawa dan ”kursi murah” di daerah pemilihan luar Jawa. Kursi ”mahal” adalah jika perwakilan di daerah pemilihan bersangkutan harus mewakili penduduk yang besar.

Apabila dasar penentuan nilai kursi adalah jumlah penduduk, perlu dikembalikan pada prinsip atas dasar yang sama, one person one vote. Nilai kursi seminimal mungkin tidak terlalu lebar kesenjangannya antara wilayah padat dan jarang karena pada dasarnya DPR mewakili jumlah penduduk, bukan mewakili wilayah.

Dalam pokok-pokok pikiran untuk penyempurnaan UU bidang politik itu, pemerintah juga berpandangan bahwa penentuan besaran daerah pemilihan kurang mempertimbangkan luas wilayah dengan jumlah penduduk. Dampaknya, terjadi ketimpangan besaran daerah pemilihan antara Jawa dan luar Jawa. Basis penghitungan nilai kursi yang tidak mencerminkan keadilan antardaerah yang padat dan jarang penduduknya perlu dikembalikan pada prinsip yang semestinya.

Pada Pemilu 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi kewenangan menetapkan daerah pemilihan berkali-kali dibenturkan dengan ketentuan UU. Misalnya, ternyata ada 38 daerah pemilihan yang memperebutkan lebih dari 12 kursi. Sementara UU No 12/2003 menyatakan, besaran daerah pemilihan adalah 3-12 kursi. Belum lagi ketentuan soal perimbangan yang wajar dalam pembagian jumlah kursi DPR untuk setiap provinsi yang sulit diimplementasikan karena antarketentuan yang bertabrakan.

Tidak mengherankan jika saat rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dan KPU, 5 Maret 2007, KPU menyebutkan, pembuatan daerah pemilihan anggota DPR mengalami kendala yang cukup lama karena kriteria yang ditetapkan dalam UU untuk alokasi kursi DPR setiap provinsi mengandung multitafsir. Tidaklah tepat menugaskan KPU membuat peraturan yang bersifat politis/kebijakan karena KPU dengan mudah akan dituduh memihak daerah atau partai tertentu. Selain itu, KPU juga akan menghadapi hambatan hukum karena terdapat sejumlah kabupaten/kota dan kecamatan yang karena jumlah penduduknya besar mendapat alokasi kursi melebihi batas maksimal yang ditetapkan UU. Salah satu usul yang diajukan untuk mengatasi soal ini ialah membagi wilayah tersebut menjadi dua daerah pemilihan. Dengan demikian, surat suaranya cukup satu lembar.

Menurut KPU, ketentuan Pasal 48 UU No 12/2003 yang mengatur kriteria alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi beserta penjelasannya perlu ditinjau ulang karena menimbulkan penafsiran beragam. Bila suatu peraturan mempunyai tafsir lebih dari satu, KPU terpaksa bertindak sebagai pembuat keputusan politik (legislator) karena harus memilih salah satu tafsir yang niscaya akan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Kalau hal itu terjadi, KPU setidak-tidaknya akan dituduh berpihak alias tidak lagi independen. Karena itu, DPR dan pemerintah perlu melakukan simulasi alokasi kursi dengan data yang akurat dalam menentukan kriteria alokasi kursi DPR kepada provinsi, selain itu, untuk memudahkan alokasi kursi, jumlah kursi DPR seyogianya tidak ditetapkan secara definitif.

Dari 2004 ke 2009

Saat pembahasan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD lalu, perdebatan soal daerah pemilihan kembali mencuat. Variasi usul fraksi sangat beragam; ada Fraksi Partai Golkar yang ingin besaran daerah pemilihan 3-6 kursi; Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 3-7 kursi; dan fraksi lainnya yang ingin besaran 3-12 kursi sebagaimana saat Pemilu 2004 tetap dipertahankan.

Variatif usulan, variatif pula argumentasinya. Misalnya, jika daerah pemilihan diperkecil, kertas suara tidak panjang sehingga lebih memudahkan pemilih. Daerah pemilihan yang kecil juga akan semakin mendekati struktur organisasi parpol—yang penting, terutama untuk DPRD provinsi yang daerah pemilihannya gabungan kabupaten/kota. Daerah pemilihan kecil juga diyakini bakal memudahkan legislator melayani konstituennya. Keinginan besarnya, penetapan daerah pemilihan yang kecil akan menguntungkan pembentukan mayoritas di parlemen, mendorong koalisi parpol, dan relatif lebih memudahkan pembentukan pemerintahan yang kuat.

Namun, keinginan tersebut mendapat tentangan sama kuatnya. Yang paling mencolok, daerah pemilihan yang kecil hanya akan ”membunuh” parpol menengah dan parpol kecil. Yang jelas, kendala teknis terbesar, pembentukan daerah pemilihan kecil akan bertabrakan dengan batas wilayah administratif—karena penetapan daerah pemilihan di Indonesia mesti mengacu pada wilayah administrasi pemerintahan/negara level bawahnya. Karena penduduknya sangat besar, ada daerah yang alokasi kursinya lebih dari 7 kursi.

Lewat serangkaian lobi alot, akhirnya disepakati bahwa daerah pemilihan anggota DPR memperebutkan 3-10 kursi. Daerah pemilihan anggota DPR disepakati merupakan lampiran dari UU Pemilu. DPR dan pemerintah pun bersama-sama menjadi penentu daerah pemilihan anggota DPR.

Namun, benarkah daerah pemilihan versi DPR dan pemerintah itu sudah bisa menutup kelemahan daerah pemilihan ala KPU yang dipergunakan untuk Pemilu 2004? Terlebih jika menyimak prosesnya yang ”kilat” dan lebih terkesan menggunakan ”geser-menggeser alokasi kursi” untuk mendistribusikan kenaikan 10 kursi.

Pada Pemilu 2004, 550 kursi DPR diperebutkan dalam 69 daerah pemilihan. Sebanyak 20 daerah pemilihan dengan total 129 kursi yang utuh merupakan satu wilayah provinsi. Sementara 421 kursi sisanya diperebutkan pada 49 daerah pemilihan di 12 provinsi. Sesuai dengan komposisi penduduk Indonesia yang memang timpang, wilayah Jawa-Madura paling dominan: 6 provinsi, 35 daerah pemilihan, 303 kursi. Jumlah yang ”wajar” karena jumlah penduduk di Jawa-Madura setara dengan 59,2 persen dari total penduduk Indonesia, namun jumlah kursi DPR-nya hanya 55 persen dari total kursi DPR yang diperebutkan.

Untuk Pemilu 2009, sebanyak 560 kursi DPR diperebutkan dalam 77 daerah pemilihan. Sebanyak 19 daerah pemilihan dengan total 111 kursi yang utuh merupakan satu wilayah provinsi. Proporsi kursi DPR yang diperebutkan di wilayah Jawa-Madura justru turun dibandingkan dengan Pemilu 2004. Dengan jumlah mencapai 58,5 persen dari total penduduk Indonesia, Jawa-Madura hanya memperebutkan 306 kursi atau 54,6 persen total kursi DPR.

Hitungan kasar, penetapan daerah pemilihan ala DPR dan pemerintah toh belum juga berhasil menutup ketimpangan antarwilayah—terutama karena masih dipertahankannya ”kesepakatan” bahwa alokasi kursi DPR setiap provinsi tidak boleh kurang dari pemilu sebelumnya. Lihatlah Sulawesi Selatan yang daerahnya sudah terkurangi oleh Sulawesi Barat, tetapi masih berhak memperoleh 24 kursi. Akibatnya, kuota kursi DPR yang diperebutkan di Provinsi Sulawesi Selatan sa- ngat ”murah”—hampir sama murahnya dengan Gorontalo yang hanya memperebutkan 3 kursi.

Di wilayah Sumatera, tetap saja kuota kursi DPR di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi yang paling murah—bahkan dibandingkan dengan Kepulauan Bangka Belitung yang hanya memperebutkan 3 kursi DPR. Sebaliknya, Kepulauan Riau dengan alokasi 3 kursi DPR melejit menjadi daerah dengan kursi paling mahal!

Ketimpangan kuota kursi antarprovinsi di suatu wilayah juga terjadi di Kalimantan. Lihat saja Kalimantan Barat yang padat dan pertumbuhan penduduknya signifikan tidak memperoleh tambahan kursi, akibatnya kuota kursinya setara dengan wilayah ”maju” lainnya di Jawa (kecuali DKI Jakarta).

Itu baru kuota antarprovinsi. Problem jumlah penduduk antarkabupaten/kota di suatu provinsi yang tidak berimbang juga menyebabkan proporsionalitas daerah pemilihan di satu provinsi pun sulit terjaga. Di Jawa Timur, dengan 11 daerah pemilihan anggota DPR, terdapat daerah pemilihan dengan kuota mencapai 481.000 penduduk, tetapi ada yang cukup 392.000 penduduk per kursi. Demikian halnya dengan Banten, yang kuota kursinya untuk 3 daerah pemilihan anggota DPR terentang dari 369.000 sampai 473.000 penduduk per kursi.

Problematika sudah mulai terkuak. Jika penetapan daerah pemilihan adalah penentuan awal ayunan bandul kemenangan, silakan menebak siapa yang akan menangguk keuntungan. Akal-akalan jilid kedua?

No comments:

A r s i p