Sunday, June 3, 2007

ASAL USUL

Elite

Ariel Heryanto

Entah, apakah Amien Rais suka menonton sinetron seperti masyarakat yang kini membicarakannya. Ketika ia mengaku telah menerima dana haram, dan siap dipenjara, berdebarlah berjuta dada penggemarnya. Mungkin cucuran air mata belum berderai. Tetapi, keplok tangan, decak kekaguman berhamburan untuknya. Demonstrasi marak di beberapa kota mendukung mantan Ketua MPR itu.

Ketua MPR Hidayat Nur Wahid berharap Amien Rais jangan dihukum, apalagi dipenjara. Mengapa? Menurut tokoh politik ini Amien adalah tokoh masyarakat. Jasanya banyak.

Apakah ini artinya kalau penerima dana haram itu seorang Aman atau Amon, yang kerjanya pedagang asong, satpam, wartawan, atau muncikari, maka mereka harus segera ditangkap dan diadili, sebelum diserbu pasukan milisi kota? Seandainya besok atau lusa ada tokoh lain yang terbukti menerima dana haram, dan membuat pengakuan yang mirip, maafkanlah beliau.

Sepintas lalu pembelaan untuk Amien itu luar biasa. Lebih santun ketimbang jurus Wakil Presiden yang punya kebiasaan mengadili dan memvonis "tidak bersalah" bila ada rekan politiknya yang disangka melakukan skandal politik atau tindak kejahatan lain. Tetapi, dalam lingkup lebih luas, dukungan untuk Amien biasa saja.

Tebang pilih dalam hukum Indonesia sudah menjadi "lagu wajib" sinetron politik Indonesia di luar televisi. Makanya Bapak dari semua Bapak Korupsi, dan Kolusi Nepotisme Indonesia sampai saat ini tidak pernah duduk di kursi terdakwa pengadilan. Bapak dari para Bapak Algojo Indonesia sampai sekarang tidak pernah diperiksa sehubungan dengan jagal massal dari tahun 1965 sampai 1998.

Tebang pilih bisa "lagu wajib" karena ada alasan lain yang lebih mendasar. Diskriminasi berdasarkan status sosial telanjur meresap dalam masyarakat. Masyarakat kita yang non-Hindu juga punya sistem kasta sendiri tanpa unsur agama. Bukan hanya masyarakat Jawa yang punya kelas priayi dengan hak istimewa.

Di zaman Orde Baru pemerintah membangun kasta istimewa terdiri dari kaum bersenjata. Tanpa mandat dan dipilih rakyat, mereka menguasai parlemen, kabinet, sampai kampung. Tetapi, di kalangan militer pun ada kasta-kasta. Sementara para jenderal menikmati langit-langit kemakmuran masa Orde Baru, prajurit mereka hidup pas-pasan di kolong sosial dan sering dijadikan tumbal, atau kambinghitam bila ada gugatan terhadap atasan mereka.

Tanpa landasan kuat, hak-hak istimewa kaum militer itu runtuh bersamaan dengan ambruknya dalang mereka. Orde Baru berkali-kali mencoba mengisi sejarah nasional dengan dongeng kehebatan jasa prajurit bersenjata. Tetapi kurang berhasil. Kelompok elite yang lebih berhasil menikmati hak-hak istimewa di Indonesia selama hampir satu abad ini adalah kaum bersekolah. Sejarah nasional jauh lebih dikuasai kisah hebat mereka yang pernah bersekolah dan kaum profesional.

Mungkin hanya di Indonesia ada usulan perlunya gelar kesarjanaan dalam persyaratan jabatan politik. Usulan itu telah digugurkan, tetapi semangatnya masih liar dalam kehidupan sehari-hari, seperti tampil dalam film berjudul Gie (2005).

Jumah warga negara yang beruntung bisa berkuliah di universitas kita sangat sedikit. Tetapi sejak berusia belasan tahun, mereka sudah belajar menuntut tambahan hak istimewa. Misalnya keringanan ongkos bus, tiket bioskop, utang di warung, atau beli buku dan komputer. Seakan-akan mereka perlu dikasihani atau lebih berhak dibantu ketimbang jutaan warga negara seusia mereka yang tidak bersekolah.

Dalam membicarakan minoritas Tionghoa, sering kali diucapkan mantra agar kaum minoritas ini berperilaku seperti mereka yang dianggap "contoh teladan". Siapa mereka? Siapa lagi jika bukan elite dari kaumnya. Misalnya juara dunia badminton, seniman atau ahli hukum berkaliber dunia, aktivis legendaris, atau pemenang lomba matematika Olimpiade. Seakan-akan warga Tionghoa tidak atau kurang berhak menjadi warga bangsa bila kerjanya hanya sebagai tukang pos, juru parkir, koki di sebuah warung, atau pedagang di pasar loak.

Belum sebulan seorang mantan Ketua MPR baru berdebat-kata dengan seorang Presiden, sudah cukup membuat gerah mahasiswa aktivis yang serentak maju membelanya dalam demonstrasi. Bayangkan seandainya kedua tokoh itu termasuk bagian dari jutaan penduduk Jawa Timur yang hidupnya diterjang lumpur Lapindo. Bayangkan seandainya keluarga mereka termasuk dari penduduk sipil yang tewas beberapa hari lalu diterjang peluru marinir di Alas Tlogo, Pasuruan.

Seorang warga kita yang pejabat gubernur dikabarkan mengalami pelecehan polisi Australia. Serentak demonstran melabrak Kedubes Australia. Pada minggu yang sama diberitakan dua warga kita yang TKW dianiaya bertahun-tahun di New York, dan 279 TKI di Malaysia antre hukuman mati. Siapa yang peduli dan berdemonstrasi?

No comments:

A r s i p