Sunday, June 3, 2007

Pembelajaran Demokrasi Cetak E-mail

Oleh: ISRAR ISKANDAR

Persoalan hukum berkaitan pengakuan Amien Rais menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk biaya kampanye Pemilihan Presiden 2004 ternyata merembet jauh ke wilayah politik. Selanjutnya, Amien juga menyatakan, ada calon presiden diduga menerima bantuan dari pihak asing, khususnya Amerika Serikat (AS). Suhu politik menjadi panas karena reaksi paling keras datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Presiden merasa dipojokkan. SBY menilai bahwa pernyataan Amien yang mengarah kepadanya sebagai fitnah. Sekalipun terkesan berlebihan, reaksi Presiden bisa dipahami karena pengakuan Amien tak hanya bakal menggerogoti legitimasi kepresidenannya, juga popularitasnya menjelang 2009. Bagaimanapun, kasus korupsi dana nonbujeter DKP dan sinyalemen adanya bantuan asing terhadap capres tertentu memberikan sejumlah pelajaran penting. Kasus ini tak boleh berhenti dengan pengakuan Amien dan bantahan dari SBY. Di samping menunggu klarifikasi dari sejumlah capres, parpol dan pihak-pihak yang ��terseret� kasus korupsi dana DKP dan dugaan bantuan asing, publik juga menunggu tindak lanjut proses hukum atas kasus yang telah menjadi ��aib� bangsa. Sinyalemen korupsi pemilu bukanlah hal baru. Di Indonesia, politik uang sudah menjadi rahasia umum. Di negara korup, yang pengawasan lemah dan masyarakat kurang memedulikannya, korupsi pemilu menjadi keniscayaan.

Sebenarnya, bukan hanya capres dan parpol yang terkait korupsi politik, juga institusi demokrasi lainnya. Selama ini sudah diungkap kasus korupsi di KPU, KPUD, DPRD, eksekutif lokal, serta lembaga yudikatif dari pusat hingga daerah. Pelbagai survei juga mengungkap perihal makin koruptifnya lembaga-lembaga demokrasi dan penegakan hukum sejak reformasi. Sekalipun di negara demokratis masih sering terjadi distorsi, hal itu tidak menjadi alasan menoleransi terjadinya politik uang dalam proses politik di negara kita. Toleransi atas penyimpangan yang terjadi dalam pemilu, seperti politik uang, bisa berdampak jauh. Kita bisa bayangkan seperti apa tipikal pemimpin dan kepemimpinan yang dihasilkan sebuah proses politik curang dan penuh aroma politik uang.

Di atas itu, ketika panggung kekuasaan dan oposisi didominasi lapisan elit korup, mentalitas masyarakat (politik) juga akan cenderung korup. Perilaku elite akan memengaruhi perilaku massa atau masyarakat. Dalam kasus penyimpangan dana Pemilu 2004, orang menuding aturan hukum memberikan peluang bagi parpol dan kandidat kepala eksekutif (presiden maupun kepala daerah) melakukan politik uang.

Di samping itu, undang-undang (UU) tidak tegas dan jelas memberi alas bagi upaya menindaklanjuti dugaan korupsi pemilu. Namun, juga mesti diingat, sebaik apa pun sistem dan aturan hukum, kalau aparat penegak hukum tidak committed dan jujur serta masyarakat sadar hukum tak kunjung terbangun,sistem hukum tadi tidak akan pernah mengungkap kebenaran menyantuni rasa keadilan. Kesadaran hukum warga negara juga sangat penting dalam demokrasi. Kenyataannya, tingkat kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah bahkan elite. Dalam kasus korupsi dana nonbujeter DKP (yang sudah dibeber media massa sebelum pengakuan Amien Rais), misalnya, kelihatan betapa banyak elite yang tidak mau secara gentlement mengakui pernah menerima dana ��haram�itu. Apalagi untuk banyak kasus korupsi lainnya.

Tanggung jawab elite atas distorsi politik yang terjadi rendah sekali. Pelajaran paling penting bisa dipetik dari kasus korupsi Pemilu 2004 berkaitan dengan tanggung jawab anak bangsa, terutama lapisan pemimpin, terhadap masa depan demokrasi. Semoga kasus di atas menjadi awal yang baik bagi proses penegakan hukum bagi semua kasus korupsi. Memang sudah banyak kasus korupsi diungkap ke permukaan, seperti setiap hari terekam dari pemberitaan media massa, tapi tidak banyak diusut tuntas. Kalaupun ada yang diungkap, baru kasus-kasus kecil, seperti kasus korupsi anggota eksekutif dan legislatif lokal. Itu pun banyak yang ��dipetieskan�, seperti kasus korupsi DPRD Sumbar. Namun, untuk kasus-kasus kakap seperti korupsi dana BLBI yang merugikan negara ratusan triliun rupiah, aparat mengaku sulit melakukannya. Belum lagi kesinambungan korupsi masif di birokrasi karena reformasi birokrasi belum berjalan sama sekali.

Begitulah realitas empiris yang terjadi ketika perbaikan politik yang substantif belum disentuh proses pembaruan. Demokrasi di negeri ini baru sekadar perubahan kulit, belum isi. Ketika esensi perubahan sistem tidak jalan, siapa pun yang melakoni sistem itu akan sulit sekali bagi dia untuk mengelak dari kemungkinan menyimpang. Dalam sistem korup, mereka yang tidak korupsi justru akan �tersingkir� atau dianggap �aneh�. Ada adagium, ketika sistem buruk, orang yang baik-baik pun dapat terjebak pada kesalahan. Adagium itu tentu bukan pembenar pelbagai penyimpangan elite, tetapi hendaknya menjadi sarana introspeksi untuk memacu perbaikan sistem yang menyeluruh.

Ketika sistem �pseudo-demokrasi� terus dipraktikkan, tanpa ada perbaikan signifikan, korupsi dan distorsi kekuasaan akan terus berjalan, bahkan mungkin dengan modus-modus baru dan canggih. Persoalan korupsi di negara kita sekarang sebenarnya tidak hanya menyangkut sistem yang buruk, tetapi juga mentalitas korup.

Celakanya, mentalitas korupsi sudah mengakar begitu dalam di pemerintahan dan masyarakat pada semua lapisan. Kalau pada 1950-an, Hatta pernah menengarai korupsi telah membudaya di pemerintahan dan masyarakat, kondisi sekarang tentu lebih parah. Periode panjang otoritarianisme, Demokrasi Terpimpin (1958�1966) dan Orde Baru (1966�1998), memungkinkan berkembangbiaknya mentalitas korup. Tak heran, ketika reformasi didendangkan, korupsi malah makin meningkat, karena ditopang mentalitas korup tadi. Korupsi (termasuk korupsi pemilu) bukanlah dilema demokrasi, tetapi distorsi atas nilai-nilai demokrasi, hukum, persamaan, dan keadilan sosial. Yang dituju ke depan adalah demokrasi minus korupsi. Walaupun korupsi tidak mungkin dihapuskan seratus persen, upaya yang dilakukan hendaknya menyentuh perbaikan sistem sekaligus mentalitas pemimpin, aparat penyelenggaraan negara dan masyarakat. (*)

ISRAR ISKANDAR
Peneliti CIRUS, Dosen Universitas Andalas Padang�

No comments:

A r s i p