Sunday, June 3, 2007

Menyoal Gerakan Mahasiswa

Oleh : Azyumardi Azra

Quo vadis gerakan mahasiswa? Kenapa sekarang kian banyak kelompok mahasiswa terlibat tawuran dan kekerasan? Dalam pekan-pekan lalu kita saksikan anarkisme dan kekerasan terjadi di kampus UGM Yogyakarta, UISU Medan, Universitas 45 Makasar, dan STAIN/IAIN Ambon. Daftar kekerasan di antara para mahasiswa pastilah bisa sangat panjang.

Apa pun alasannya, sangat memalukan kelompok-kelompok mahasiswa melakukan kekerasan di antara mereka sendiri atau pihak lain di kampus; merusak fasilitas pendidikan yang dibangun dengan susah payah. Saya mendapat kritik dari beberapa peserta pada seminar Nasional 'Gerakan Mahasiswa Era Reformasi' yang diselenggarakan PPSDM UIN Jakarta dan Balitbang Depag RI pada pekan kedua Mei 2007 lalu, ketika menyesalkan polah dan perilaku kelompok mahasiswa seperti itu.

Saya menyarankan, supaya para mahasiswa lebih berkeadaban dalam aksi dan unjuk rasa; tidak anarkis, seperti sering kita saksikan di TV. Tetapi, seorang peserta menyatakan, jika aksi, demo, dan unjuk rasa dilakukan dengan damai, tidak ada TV yang meliput; begitu mereka memblok jalan, membakar ban, dan seterusnya, barulah mereka mendapat liputan TV. Sayang juga, media, khususnya TV gagal mengembangkan 'jurnalisme perdamaian'.

Pertanyaan saya adalah: apakah aksi-aksi mahasiswa lebih untuk mendapatkan liputan TV yang senang mengekspose kekerasan, dan karena itu harus anarkis dan brutal? Ataukah sebaliknya, murni memperjuangkan idealisme guna mewujudkan Indonesia yang lebih baik? Para aktivis gerakan mahasiswa agaknya merenung kembali, apa tujuan mereka; menjadi aktivis untuk menarik liputan TV atau menjadi insan terpelajar yang berkeadaban.

Masa menjadi mahasiswa adalah masa pengembangan dan penguatan ilmu dan keahlian agar menjadi terpelajar (intelejensia). Meski merupakan transisi, jelas masa kemahasiswaan sangat menentukan perjalanan karier dan kehidupan mahasiswa; jika gagal kuliah, mereka bukan hanya gagal dalam mendapatkan gelar akademis, tetapi juga bisa gagal dalam masa depan dan kehidupan lebih baik. Kegagalan menjalankan tugas pokok belajar dalam menuntut ilmu dapat mengantarkan ke dalam kegelapan masa depan.

Bagi para aktivis gerakan mahasiswa, tugas dan kewajiban untuk sukses dalam kuliah menjadi lebih berat lagi, karena harus membagi waktu dan perhatian antara kuliah dan aktivisme gerakan kemahasiswaan. Tetapi, menjadi kewajiban moral para aktivis untuk sukses kuliah; adalah anathema bagi aktivis kalau kuliahnya amburadul dan menjadi mahasiswa abadi.

Sebagai figur kepemimpinan mahasiswa, aktivis seyogianya menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) dan panutan moral bagi para mahasiswa lain, bahwa aktivisme kemahasiswaannya tidak mengganggu keberhasilan perkuliahannya; dan lebih jauh itu memiliki kesantunan dan keadaban atau akhlak mulia (akhlaq al-karimah).

Mahasiswa patut mengembangkan kepedulian sosialnya. Perguruan tinggi tempat mahasiswa menuntut ilmu memang seharusnya tidak menjadi ivory tower, menara gading, yang terpencil dari lingkungan sosialnya. Tetapi penting, dalam mengaktualisasikan kepedulian sosial (dan politik) atau aktivismenya, mahasiswa tetap berpegang pada prinsip akademis dan keilmuan perguruan tinggi. Mahasiswa harus berpijak pada sikap ilmiah, etik, moralitas, objektif, dan adil. Dalam mewujudkan aktivismenya, mahasiswa harus tidak berdasarkan prasangka dan emosi yang berujung pada tindakan tidak terkendali, untuk tidak mengatakan anarki. Inilah keadaban (civility), yang membuat mahasiswa punya hak disebut sebagai insan terpelajar.

Aktivisme mahasiswa --sebagai kekuatan moral-- mestilah tetap berpegang pada prinsip etis dan moral; jika keluar dari itu, gerakan mahasiswa kehilangan hak moralnya untuk mencoba memperbaiki berbagai keadaan yang tidak baik dalam masyarakat. Gerakan mahasiswa yang melanggar prinsip dan norma etik, moral, dan keadaban, hanya mendatangkan apatisme dari publik, bukan simpati dan empati.

Melihat perkembangan sekarang, gerakan mahasiswa tampaknya perlu melakukan restrospeksi dan introspeksi tentang pola, model, bentuk aktivisme. Perlu reorientasi gerakan dan aktivisme mahasiswa. Reorientasi itu tidak hanya mencakup pola, model, dan bentuk aktivisme yang lebih acceptable bagi publik, tetapi juga tentang pandangan dunia dan ideologi gerakan mahasiswa. Dengan begitu, aktivisme dan gerakan mahasiswa dapat kembali memiliki keabsahan filosofis, moral, dan etis.

Dalam aktivisme dan gerakan mahasiswa kini dan ke depan, peran-peran konvensional gerakan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan kontrol sosial dapat terus dijalankan. Tetapi, aktivisme dan gerakan mahasiswa semestinyalah juga diorientasikan ke arah pengembangan berbagai aspek sangat esensial bagi masa depan negara-bangsa Indonesia; di antaranya adalah penguatan demokrasi dan good governance; pengembangan civic culture, dan civility; pemberdayaan lembaga-lembaga sosial yang dapat memperkuat integrasi bangsa.

No comments:

A r s i p